Tata Cara Pelaksanaan Uang Paksa dan Sanksi Administratif di PTUN (Sumbangan Pemikiran)
Oleh: Bambang Heriyanto *)

Tata Cara Pelaksanaan Uang Paksa dan Sanksi Administratif di PTUN (Sumbangan Pemikiran)

Regulasi tentang uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif dalam proses peradilan tata usaha negara sudah lama dinantikan.

Bacaan 2 Menit
Tata Cara Pelaksanaan Uang Paksa dan Sanksi Administratif di PTUN (Sumbangan Pemikiran)
Hukumonline

Tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran untuk naskah akademik (academic drafting) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Uang Paksa (dwangsom) dan Sanksi Administratif Pada Peradilan Tata Usaha Negara.

 

Landasan Yuridis:

  • Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  • Pasal 1 ayat (1) Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970: Masing-masing departemen atau lembaga dapat mengambil prakarsa untuk mempersiapkan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan pemerintah sepanjang yang menyangkut bidang tugasnya.

 

Urgensi:

Dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka eksekusi yang diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tidak berlaku lagi. Sebagai pengganti dari lembaga eksekusi yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, berdasarkan Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dibentuk dua lembaga eksekusi yakni: (i) uang paksa (dwangsom), dan (ii) sanksi administratif.

 

Disamping itu masih dapat pula diterapkan sanksi berupa pengumuman dalam media cetak terhadap  pejabat yang enggan mematuhi  putusan.

 

Dalam tataran implementasi ternyata kedua lembaga tersebut banyak permasalahannya yakni menyangkut hal-hal sebagai berikut:

  • belum adanya produk hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme cara pembayaran uang paksa maupun sanksi administratif;
  • terhadap siapa uang paksa tersebut dibebankan, apakah pada keuangan pribadi pejabat yang enggan melaksanakan putusan atau pada keuangan instansi pejabat tata usaha negara;
  • sanksi administratif apa yang dapat dijatuhkan kepada tergugat yang enggan melaksanakan  putusan.

 

Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dibuat aturan tentang hal-hal tersebut, karena praktis dengan  tidak berlakunya tata cara eksekusi dengan penegoran berjenjang secara hierarkhis sebagaimana diatur Pasal 116 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Ternyata lembaga eksekusi yang baru belum dapat diterapkan, sehingga berdampak pada seluruh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap. Banyak putusan yang tidak dipatuhi oleh badan atau pejabat tata usaha negara, dalam arti tidak dapat dieksekusi.

 

Keadaan ini tentunya akan sangat merugikan para pencari keadilan (yustisiabellen) yang telah dinyatakan sebagai pemenang atau gugatannya dikabulkan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

 

Bentuk Produk Hukum yang Tepat:

Hadirnya produk hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pembayaran uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena diproyeksikan materi muatan yang diatur dalam peraturan pelaksanaan kedua  lembaga paksa tersebut akan menyangkut dan melibatkan instansi/lembaga lain di luar jajaran Mahkamah Agung RI maka akan tepat apabila bentuk produk hukum dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Jadi, bukan PERMA atau SEMA.

 

Pasal  116 Undang-Undang  No. 9 Tahun 2004 sendiri ternyata tidak secara eksplisit menyatakan bahwa pelaksanaan lebih lanjut kedua lembaga eksekusi tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi hal tersebut jangan lantas menjadi penghalang bagi Mahkamah Agung RI untuk mengusulkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan dua lembaga paksa tadi kepada Presiden. Argumentasi yuridis yang dapat dipakai untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Prof. A. Hamid S. Attamimi mengemukakan beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah antara lain:

  • Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada undang-undang yang menjadi ‘induknya'.
  • Untuk menjalankan, menjabarkan atau merinci ketentuan undang-undang, peraturan pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan undang-undang tersebut tidak memintanya secara tegas-tegas. (A. Hamid S. Attamimi, Pembentukan Undang-undang Indonesia: Beberapa Catatan yang Memerlukan Perhatian, Makalah disampaikan pada seminar Keuangan Negara di Bepeka, Jakarta, 18 Maret 1989).

 

2. Peraturan Pemerintah merupakan aturan-aturan yang membuat ketentuan-ketentuan dalam suatu undang-undang bisa berjalan dan diberlakukan. Suatu Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada undang-undangnya, namun suatu peraturan pemerintah dapat dibentuk meskipun dalam undang-undangnya tidak ditentukan secara tegas supaya diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (Maria Farida Indrati S., S.H., M.H., Ilmu Perundang Undanagan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jakarta, 2002).

 

Lebih lanjut Maria Farida Indrati S. juga menyatakan bahwa ditinjau dari  perspektif fungsi, maka Peraturan Pemerintah adalah berfungsi menyelenggarakan dua hal. Pertama, pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya (dalam hal ini peraturan pemerintah harus melaksanakan semua ketentuan dari suatu undang-undang yang secara tegas meminta untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah). Kedua, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya (maksudnya apabila suatu masalah di dalam suatu undang-undang memerlukan pengaturan lebih lanjut sedang di dalam ketentuannya tidak menyebutkan secara tegas-tegas untuk diatur dengan peraturan pemerintah, maka pemerintah pemerintah dapat mengaturnya lebih lanjut sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari undang-undang tersebut).

 

Berdasarkan argumentasi tersebut, maka seharusnya sudah tidak ada lagi penghalang bagi Mahkamah Agung R.I. untuk mencari bentuk produk hukum apa yang paling tepat untuk menuangkan peraturan pelaksanaan dua lembaga paksa tersebut.

 

 Materi Muatan Peraturan:

 

A. Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) di Peratun

Penerapannya lembaga paksa dwangsom di Peradilan Tata Usaha Negara menurut penulis adalah menyangkut permasalahan penting  sebagai berikut:

1. Jenis putusan apa saja yang dapat dikenai hukuman uang paksa.

2. Kepada siapa  uang paksa dibebankan.

3. Berapa besaran uang paksa yang dapat dijatuhkan dalam amar putusan.

4. Sejak kapan uang paksa tersebut diberlakukan.

 

Ad. 1. Jenis Putusan yang dapat dikenakan Uang Paksa

Seperti halnya penerapan dwangsom dalam putusan Hakim Peradilan Umum, maka tidak semua putusan Hakim Peratun dapat diterapkan dwangsom. Hanya putusan yang berisi penghukuman atau kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah (putusan condemnatoir), yang dapat dikenai atau diterapkan dwangsom. Jadi untuk putusan yang sifatnya declaratoir (yang bersifat menerangkan) dan constitutief (putusan yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru), tidak dapat dikenai atau diterapkan dwangsom.

 

Dalam konteks Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, putusan yang bersifat condemnatoir adalah berupa:

a. kewajiban mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal atau tidak sah

b. kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti atau baru

c. kewajiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru, dan

d. kewajiban melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.

 

Jadi, untuk putusan hakim yang hanya berisi: menyatakan batal atau tidak sah suatu keputusan TUN (vide pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986), karena ini bukan merupakan jenis putusan yang bersifat condemnatoir, maka tidak dapat dikenakan upaya paksa. Sedangkan mengenai amar tentang kewajiban membayar ganti rugi, eksekusinya sudah dapat dilakukan dengan pemberlakuan  Peraturan Pemerintah  No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya di PTUN.

 

Ad. 2. Subjek yang Dibebani Uang Paksa

Ada 2 (dua) pendapat mengenai kepada siapa pembayaran uang paksa harus dibebankan, yakni:

a. dibebankan kepada keuangan negara.

b. dibebankan pada keuangan pribadi dari tergugat atau pejabat yang sedang menjabat pada saat putusan pengadilan tersebut harus dilaksanakan.

 

Penulis sendiri berpendapat bahwa, pembayaran uang paksa harus dibebankan kepada keuangan pribadi pejabat yang sedang menjabat pada saat putusan Peradilan TUN harus dilaksanakan. Jadi, tidak dibebankan kepada keuangan negara. Pendapat tersebut didasarkan pada argumentasi lebih ke pendekatan  praktis berikut.

 

Maksud dasar dari pemberlakuan  uang paksa (dwangsom) dalam proses eksekusi, baik di peradilan perdata maupun peradilan TUN adalah sangat jelas, yakni sebagai alat eksekusi yang berfungsi untuk memberikan tekanan psikis (dwaang middelen) kepada si-terkalah dalam sebuah proses perkara di  peradilan, agar si-terkalah bersedia mematuhi atau melaksanakan putusan peradilan.

 

Berpijak dari maksud dasar diadakannya lembaga paksa dwangsom tersebut, maka yang diancam secara psikis agar suatu putusan badan peradilan dilaksanakan harus tergugat pribadi atau orang yang sedang menjabat pada saat putusan tersebut harus dilaksanakan. Dan sesuai dengan karakteristik dwangsom, maka ancaman pembayaran uang paksa tersebut terus diberlakukan sampai putusan tersebut dilaksanakan atau dipatuhi tergugat.

 

Ad. 3. Besaran Uang Paksa

 

Menurut hemat penulis, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan Peratun adalah selalu badan atau pejabat TUN yang masih aktif, tentunya secara rutin ia mendapatkan gaji setiap bulannya.  Oleh karenanya apabila pejabat tersebut tidak melaksanakan amar putusan, maka adalah lebih efektif dan efisien apabila pengenaan dwangsom diambil atau dipotong dari gaji/tunjangan jabatan pejabat yang bersangkutan setiap bulannya yang besarannya sejumlah tunjangan jabatan dari tergugat atau pejabat yang sedang menjabat pada saat  putusan harus dilaksanakan. Dan perintah pemotongan gaji, dalam amar putusan Hakim ditujukan kepada pejabat yang berwenang melaksanakan pemotongan gaji, (misalnya Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) untuk pejabat TUN yang penggajiannya melalui proses di Kantor Perbendaharaan dan Kas  Negara,  Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah (KPKD) bagi pejabat TUN yang penggajiannya diproses melewati KPKD (termasuk Bupati atau Walikota), atau  pejabat lain yang berwenang semacam itu untuk jabatan TUN lainnya, selanjutnya uang dwangsom tersebut diserahkan kepada penggugat dan pemotongan ini terus berlanjut sampai dengan dipatuhinya amar putusan.

 

Ad. 4. Momentum Diberlakukannya  Uang Paksa

 

Untuk menentukan saat kapan seharusnya pembebanan uang paksa tadi diberlakukan, maka menurut penulis hal tersebut harus bertolak dari ketentuan Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 sebagai berikut:

(1) .....dst.

(2) .....dst.

(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.

(5).....dst.

 

Berpedoman pada ketentuan pasal tersebut, maka menurut hemat penulis, pemberlakuan uang paksa adalah sejak saat berakhirnya masa penegoran atau perintah Ketua Pengadilan  sebagaimana dimaksud oleh Pasal 116 ayat (3) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 -untuk itu dalam surat perintah atau penetapan Ketua harus disebutkan limit waktu-

 

Jadi karena menurut gagasan ini, uang paksa tersebut dipotongkan dari gaji tergugat setiap bulannya, maka pada hari berikutnya sejak berakhirnya masa penegoran oleh ketua pengadilan, ketua pengadilan harus segera mengirimkan surat penetapan yang ditujukan kepada Kepala KPKN atau pejabat yang mempunyai kewenangan semacam itu, yang berisi perintah agar Kepala KPKN memotong gaji tergugat  setiap bulan sebesar yang ditentukan dalam amar putusan, sampai dengan tergugat mematuhi isi putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap tersebut.

           

B.  Sanksi Administrasi

Bagaimana menerapkan sanksi administrasi dalam putusan hakim Peratun adalah menyangkut permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Sanksi Administrasi apa saja yang dapat dijatuhkan.

2. Kepada siapa perintah penjatuhan sanksi administrasi diperintahkan.

 

Ad. 1. Jenis Sanksi Administrasi

 

Menurut Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur, bahwa  kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin, kepadanya dapat dikenakan hukuman disiplin atau sanksi administratif antara lain berupa:

a. penurunan pangkat

b. pembebasan dari jabatan

c. pemberhentian dengan hormat, dan

d. pemberhentian tidak dengan hormat (lihat Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 dan peraturan  terkait lainnya).

 

Dari beberapa jenis sanksi tersebut sebenarnya dapat dipilih, mana yang paling tepat diterapkan dalam penjatuhan sanksi administratif.

 

Penulis sendiri berpendapat, sanksi administratif pembebasan dari jabatan, adalah paling tepat, karena pada saat pejabat tidak mematuhi putusan pengadilan, maka pada saat itu ia adalah tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Atau dengan kata lain pada saat itu ia sedang menggunakan jabatannya untuk melawan putusan badan peradilan, sehingga adalah tepat apabila ancaman pembebasan dari jabatan diterapkan apabila seorang pejabat tidak mematuhi putusan.

 

Ad. 2. Perintah Penjatuhan Sanksi Administrasi

 

Analog dengan  Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980, maka amar putusan yang berisi perintah penjatuhan sanksi administratif adalah ditujukan kepada pejabat yang berwenang menghukum tergugat.

 

Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana apabila yang menjadi  tergugat adalah Gubernur dan Bupati atau Walikota, karena sesuai Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, secara hierarki ia tidak mempunyai atasan, sebagai pejabat yang berwenang  menghukum?

 

Dalam hal demikian, maka sanksi administratif tentunya tidak tepat untuk  diterapkan. Dan Hakim dapat memilih upaya paksa yang lain, yakni uang paksa (dwangsom).

 

 

Penutup

Tulisan ini hanya sekedar sumbangan pemikiran,  jadi bukan suatu konsep atau draf naskah akademik rancangan peraturan pemerintah yang sesungguhnya, karena sesuai  Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970. Pasal 1 ayat (1) sangat jelas, pihak yang dapat mengajukan rancangan peraturan pemerintah adalah lembaga, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung RI.

 

Semoga dari tulisan yang tentunya banyak kesalahan dan kekuarangan ini, ada  manfaat yang dapat diambil dalam rangka mendorong terwujudnya peraturan pelaksanaan lembaga paksa  yang sangat kita tunggu-tunggu kehadirannya.

 

------

*) Penulis adalah Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi, bukan mewakili institusi tempat penulis berkarir.

Tags: