Pemisahan Pemilu Berdasarkan Konvensi Ketatanegaraan?
Putusan MK:

Pemisahan Pemilu Berdasarkan Konvensi Ketatanegaraan?

Argumentasi MK yang menyatakan pemilu legislatif dan pemilu presiden tak dilaksanakan berbarengan karena sudah menjadi konvensi ketatanegaraan menuai kritikan. MK dinilai tak mengerti definisi konvensi ketatanegaraan yang harus terjadi berulang-ulang.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Pemisahan Pemilu Berdasarkan Konvensi Ketatanegaraan?
Hukumonline

 

Ketua Majelis Syuro DPP PBB Yusril Ihza Mahendra menilai pendapat mahkamah ini tak beralasan. Ia mengatakan majelis seakan tak mengerti istilah konvensi ketatanegaraan. Konvensi adalah kebiasaan ketatanegaraan yang dilaksanakan berulang-ulang sehingga mengikat seperti hukum. Ini (pemisahan pemilu,-red) kan baru dilaksanakan sekali pada Pemilu 2004, mana bisa disebut konvensi? ujar pakar Hukum Tata Negara ini.

 

Selain itu, Yusril juga mengkritisi argumen MK yang menyatakan karena presiden dilantik oleh MPR maka pemilu harus dipisah. Saya setuju dengan pendapat Hakim Konstitusi Akil Mochtar. Pemilu bisa berbarengan, tetapi pelantikannya bisa berbeda, jelasnya. Akil Mochtar bersama dua hakim konstitusi lainnya, Abdul Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan, memang mengeluarkan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan ini.

 

Akil menjelaskan pendapat Mahkamah yang menyebutkan pemilu dipisah karena harus memilih anggota DPR dan DPD untuk menjadi MPR agar bisa melantik Presiden terlalu sederhana. Itu terlalu menyederhakan masalah, tuturnya. Ia menegaskan pelantikan bisa diatur berbeda. Artinya, pelantikan anggota DPR dan DPD dilakukan sebelum pelantikan presiden.

 

Selain itu, Akil yang menjadi 'juru bicara' hakim konstitusi yang mengeluarkan dissenting opinion, juga mengkritisi pengertian konvensi ketatanegaraan yang dianut mayoritas koleganya. Sulit untuk diterima, karena pemilu baru akan berlangsung dua kali (Tahun 2004 dan rencananya 2009) yang belum bisa dikualifikasi sebagai konvensi ketatanegaraan, sebutnya.

 

Akil juga menyebutkan pendapat ketiga hakim konstitusi ini sejalan dengan gagasan untuk menyederhanakan Pemilu di Indonesia yang tengah berkembang di masyarakat. Misalnya, dengan menyatukan agenda Pemilu nasional (Pemilu anggota DPR, DPD dan Presiden) dengan Pemilu Lokal (untuk memilih anggota DPRD dan Kepala Daerah).

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan Saurip Kadi, Partai Bulan Bintang (PBB), dan enam parpol lainnya yang mempersoalkan syarat dukungan 25 persen suara nasional bagi parpol yang akan mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bersama putusan itu, MK juga menolak permintaan PBB yang meminta agar pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu presiden (Pilpres) dilaksanakan berbarengan. 

 

Sebelumnya, Ketua DPP PBB Hamdan Zoelva mempersoalkan Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres No. 42/2008 yang memisahkan antara Pileg dengan Pilpres. Padahal, ketentuan Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Artinya, lanjut Hamdan, pemilu harus dilaksanakan serentak. Ia juga menyebutkan original intent UUD 1945 hasil amandemen juga menghendaki hal serupa. Kami sudah baca risalah perubahan UUD 1945 tidak ada soal pemisahan pemilu legislatif dan presiden, ujar mantan Anggota Panitia Ad Hoc (PAH) yang ikut mengubah UUD 1945 ini. 

 

Namun, pendapat Hamdan ini dibantah oleh majelis hakim konstitusi. Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menjelaskan Pileg dan Pilpres tak bisa dilaksanakan bersama-sama. Pasalnya, Pileg bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang akan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus dibentuk lebih dahulu, ujarnya saat membacakan pendapat majelis hakim konstitusi, Rabu (18/2).  

 

Selain itu, MK berpendapat pemisahan pileg dan pilpres bukan hal baru pada Pemilu 2009. Pada Pemilu 2004, pemisahan itu juga sudah terjadi. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau konvensi ketatanegaraan (kebiasaan) yang telah menggantikan ketentuan hukum, jelas Arsyad. Oleh karena kebiasaan itu telah diterima dan dilaksanakan, maka majelis menganggap tidak ada pertentangan hukum. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: