Proses Beracara di PHI Memberatkan
Utama

Proses Beracara di PHI Memberatkan

Batas waktu yang ditentukan Undang-Undang masih sering terlewatkan. Administrasi penanganan perkara jadi kendala.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Proses Beracara di PHI Memberatkan
Hukumonline

 

Suara senada datang dari pengusaha. Menurut Purnomo Narmiadi, sidang PHI yang mengikuti hukum acara perdata membuat proses berperkara menjadi lama. Seorang pengusaha harus bolak balik hingga 10 kali ke pengadilan untuk mengurus perkaranya, belum termasuk yang ditunda. Belum lagi perkara sampai ke Mahkamah Agung. Waktu penyelesaian perkara sangat lama, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bekasi itu.

 

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PHI memang sudah memberikan batas waktu kepada hakim untuk memutus perkara. Tetapi kenyataannya, batas waktu tersebut sering terlewati. Kalaupun bukan oleh hakim, berkas perkara berlarut-larut dalam proses registrasi dan administrasi, khususnya di Mahkamah Agung.  

 

Fauzan, hakim ad hoc PHI tingkat kasasi tidak menampik berlarut-larutnya perkara PHI di pengadilan. Ia menengarai para pihak yang terlibat menangani perkara telah terkungkung oleh sistem baku hukum acara perdata. Seyogianya, peradilan perburuhan bisa menerapkan sistem yang lebih sederhana, semacam small claim court.

 

Toh, bukan berarti setiap perkara PHI bisa sampai ke Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 sebenarnya mewadahi penyelesaian melalui mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Syaratnya, para pihak harus punya iktikad baik menyelesaikan kasus, dan punya formula penyelesaian. Fauzan sepakat terhadap gagasan membuat hukum acara PHI tersendiri, yang lebih membuat win-win solution bagi buruh dan pengusaha. Perlu hukum acara tersendiri, ujarnya.

 

Untuk mengatasi masalah tersebut, Machmud, Kaspo dan Fauzan sepaham tentang pentingnya merevisi Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial. Tentu saja, pengaturan hukum acara menjadi salah satu agenda penting.

Proses pemutusan hubungan kerja atau perselisihan kepentingan antara buruh dengan pengusaha seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat. Jika berlama-lama, apalagi sampai tahunan, buruh akan kesulitan menyambung hidup dan pengusaha terpaksa mengeluarkan biaya ekstra. Faktanya, buruh dan pengusaha harus menjalani proses persidangan yang panjang. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, belum ada jaminan eksekusi berjalan mulus.

 

Demikian benang merah yang bisa ditarik dari Diskusi Publik Tiga Tahun Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sekaligus bedah buku Kompilasi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Terseleksi 2006-2007 di Jakarta, Rabu (25/2). Baik buruh maupun pengusaha merasa dirugikan oleh sistem penanganan perkara melalui PHI. Prosedur yang berlama-lama tidak nyaman buat buruh, kata Machmud Permana, Kepala Divisi Advokasi Federasi Serikat Pekerja KEP KSPSI Karawang.

 

Buruh yang terkena PHK umumnya mengalami kesulitan ekonomi. Ketika pada saat yang sama buruh harus mengurus gugatannya ke PHI, hampir pasti buruh berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi harus mencari nafkah buat keluarga, dan di sisi lain harus memperjuangkan hak melalui pengadilan. Celakanya, proses beracara di sidang sering tidak bisa diprediksi. Padahal, kalangan buruh menginginkan peradilan hubungan industrial yang cepat, murah, dan sederhana, timpal Kaspo, Direktur Eksekutif LBH Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia.

 

Salah satu yang dianggap Machmud dan Kaspo memberatkan adalah kuasa. Pengadilan tidak seragam memahami kuasa di peradilan. Ada hakim yang memperbolehkan kuasa asalkan yang bersangkutan anggota serikat pekerja yang tercatat. Sebaliknya, hakim lain mengharuskan dapat surat kuasa dan mendapat izin dari pengurus serikat pekerjanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: