Seputar Pendamping Korban dalam Pemeriksaan Pidana
Fokus

Seputar Pendamping Korban dalam Pemeriksaan Pidana

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana masih jauh dari harapan. Perkembangan keadaan ternyata membuat RUU itu harus tambal sana tambal sini.

Oleh:
CR-5
Bacaan 2 Menit
Seputar Pendamping Korban dalam Pemeriksaan Pidana
Hukumonline

 

Tetapi, Ketua Sub-Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan Deliana Sayuti Ismudjoko berpendapat bahwa dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan, kita belum menemukan payung hukum pendampingan bagi korban. Yang dimaksud Deliana adalah pendampingan psikologis. Pendampingan psikologis, kata Deliana, dimaksudkan agar korban dapat berani dan leluasa untuk memberikan keterangan pada saat pemeriksaan di penyisik dan selama persidangan.

 

Sri Rumiati menambahkan rumusan tentang pendamping harus diakomodir ke dalam revisi KUHAP. Sebab, acapkali korban dan saksi dipojokkan saat pemeriksaan dan persidangan. Akibatnya keterangan yang diberikan saat keadaan tertekan dan terpojok itu dimanfaatkan pengacara. Harus dicari pendamping mana yang bisa menguntungkan korban, bisa dari keluarga, guru, RT, imbuhnya.

 

Harapan Deliana dan Sri Rumiati klop dengan pengalaman Sri Nurherwati. Koordinator Layanan Hukum LBH APIK ini sudah sering melakukan pendampingan terhadap kaum hawa yang berurusan dengan hukum. Pendamping sering tidak dianggap pendamping, hanya pemantau. Apalagi di sidang tertutup, keluhnya.

 

Koordinator Program Studi dan Riset ELSAM, Supriyadi Widodo Eddyono, memperkuat pengalaman Nurherwati. Kalau kita minta agar ada pendamping kepada hakim pada saat sidang, hakim juga bingung karena pendamping tidak ditolak atau tidak diterima dalam persidangan, ujarnya.

 

Padahal, menurut advokat Mario W. Tanasale, pendampingan sudah seharusnya diberikan, apalagi terhadap kasus-kasus traficking anak di bawah umur dan perempuan. Dengan kata lain, muncul kata sepakat bahwa pendampingan harus mempunyai landasan hukum. Kita harus memastikan tidak ada larangan pendampingan dalam proses pemeriksaan dan persidangan, tambah Supriyadi.

 

Ketidakjelasan landasan hukum pendampingan selama ini membuat hakim, polisi, dan jaksa bersikap ragu. Setidaknya, begitulah pandangan yang disampaikan Sofyan Brah. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini mengakui hakim sering ragu membolehkan atau melarang pendampingan karena tidak diatur dalam KUHAP. Sebaiknya ada kata wajib untuk pendampingan dalam KUHAP sehingga hakim punya dasar pertimbangan, ujarnya.

 

Ana Rohana dari Polres Depok juga menghimbau agar ketentuan pendampingan dibuat tertulis dan mengikat. Kalau tidak dibuat aturan yang jelas, polisi sering kesulitan bersikap ketika di lapangan. Saya yang di lapangan sering kesulitan, ujar polisi wanita yang modis ini.

 

Kiki Ahmad Yani, jaksa yang juga anggota Satgas Anti Terrorisme Kejaksaan Agung, memandang perlu asas kewajiban tersebut. Sebab, bila ada yang aturan khusus bertabrakan dengan asas, maka yang dipakai adalah asasnya. Harus diatur asasnya, sarannya. Menurutnya, asas itu adalah dasar karena kendala justru timbul pada praktek bukan di aturan. Dia menghimbau, jangan sampai RUU KUHAP dikacaukan oleh aturan yang tidak selaras dan tumpang tindih.

 

Saksi Pendamping

Apa kata advokat? Advokat Daniel Panjaitan malah berpandangan lebih jauh. Kata dia, pendamping juga harus dinyatakan sebagai saksi pendamping. Alasannya, pendamping mendengarkan keterangan korban dan saksi langsung dalam keadaan yang relatif di luar tekanan. Jadi, lebih dapat dipercaya. Pendamping dianggap sebagai saksi yang mendengar, perlu diberi perlakukan khusus, ujarnya.

 

Seringkali korban dan saksi langsung malah justru tidak mau memberi keterangan saat pemeriksaan dan persidangan. Sehingga keterangan yang diterima pendamping dari korban dan saksi langsung berguna. Sayangnya, hukum positif memposisikan pendamping sebagai hearsay witness dimana keterangannya tidak dapat digunakan. Pengertian saksi harus diubah agar bisa, Daniel menambahkan. Daniel mengkritik diskresi yang diberikan kepada saksi mahkota, tapi tidak adanya upaya yang sama untuk saksi pendamping.

 

Daniel mengusulkan saksi pendamping jadi bukti awal di persidangan. Tentu, dengan beberapa syarat antara lain adanya laporan resmi, saksi pendamping turut diperiksa, dan harus ada bobot utama pada korban. Maksudnya, jelas Daniel, pengakuan utama korban bahwa saksi pendamping adalah pendampingnya menguatkan posisi saksi pendamping. Baru penerimaan atau penolakan aparat.

 

Sri Rumiati menyambut baik usulan ini dengan menambahkan bahwa rekaman pendampingan juga sebaiknya dapat menjadi bukti awal di persidangan. Sehingga tidak perlu diulang-ulang lagi, ujarnya. Pengulangan kesaksian bagi korban kepada saksi pendampingan memberatkan korban.

 

Seorang anggota tim penyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengeluh. Terlalu banyak pihak yang ingin mempertahankan pandangan, padahal pandangan tersebut lebih mengandalkan ego sektoral. Tim penyusun bentukan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sampai harus melakukan studi banding ke sejumlah negara.

 

Proses penyusunan RUU KUHAP memang dikawal sejumlah elemen. Ada polisi, jaksa, hakim, akademisi, dan advokat. Ada pula aktivis yang selama ini bertugas mendampingi atau mengadvokasi kepentingan pencari keadilan. Masing-masing memberikan masukan kepada Tim Penyusun. Celakanya, dalam proses penyusunan itu tidak semua usulan sinkron satu sama lain. Usulan dari satu lembaga bisa bertabrakan dengan masukan lembaga lain.

 

Sejatinya, tidak ada yang salah dengan masukan itu sepanjang dimaksudkan untuk menyempurnakan materi RUU KUHAP. Bagaimanapun, KUHAP adalah pegangan bagi semua aparat penegak hukum dan masyarakat. Ia menjadi semacam ‘kitab suci' dalam beracara di ranah pidana. Karena itu, hasil revisi KUHAP harus lebih baik dari yang dipakai sekarang. Harapan itu pula yang digantungkan Sri Rumiati. KUHAP adalah pegangan penegak hukum, ujar psikolog dari Mabes Polri ini.

 

Berbagai upaya dilakukan untuk menyamakan persepsi pemangku kepentingan. Di Tim Penyusun sendiri ada beberapa unsur kepentingan. Terakhir, pekan lalu, Komnas Perempuan mengundang jaksa, polisi, yayasan pendamping, dan lembaga bantuan hukum untuk membahas beberapa poin penting yang perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHAP.

 

Pendampingan

Ambil contoh, rumusan tentang pendampingan dan saksi pendamping. Perkembangan peraturan perundang-undangan ternyata mulai menyinggung  masalah ini, antara lain dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Mau tidak mau, Tim Penyusun revisi KUHAP perlu mengakomodir perkembangan ini.

Tags: