Hakim Diminta Fokus ke Perkara Pidana Pemilu
Berita

Hakim Diminta Fokus ke Perkara Pidana Pemilu

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional mengusulkan agar MA membebastugaskan hakim yang menangani perkara pidana pemilu dari perkara lain.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Hakim Diminta Fokus ke Perkara Pidana Pemilu
Hukumonline

 

Apalagi, Djoko memprediksi pada Pemilu ini tak akan banyak perkara pidana pemilu. Lagipula, lanjutnya, MA sudah mengeluarkan surat edaran untuk para hakim yang menangani perkara. Sehingga Djoko menolak permintaan KRHN yang meminta agar hakim yang menangani perkara pemilu dibebaskan dari perkara lain. Saya kira tak perlu permintaan itu, tuturnya. Pasalnya, dalam surat edaran yang dikeluarkan MA, para hakim diminta menangani perkara secara maraton maupun lembur. Boleh sidang sampai malam, tambahnya.

 

Keputusan KPU

Dalam audiensi ini, Firman juga mengusulkan agar MA mencabut SEMA No 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada. Dalam SEMA ini disebutkan keputusan KPU daerah dan keputusan lain yang menyangkut pemilihan umum tak bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). SEMA ini acapkali dijadikan PTUN untuk menolak memeriksa gugatan Keputusan KPU. Padahal, lanjut Firman, SEMA tersebut dibuat khusus untuk memeriksa sengketa pilkada.

 

Lagipula, PTUN pun tak seragam menyikapi SEMA ini. Meski banyak yang menolak memeriksa Keputusan KPU, tapi ada juga PTUN yang menerima gugatn. Bahkan sampai mengabulkan gugatan dengan membatalkan Keputusan KPU. Contohnya PTUN Jakarta Pusat yang pernah menerima dan mengabulkan gugatan empat parpol calon peserta Pemilu 2009. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No.8/2005 sebaiknya dicabut, ujarnya.

 

Djoko mengakui SEMA itu memang untuk pilkada. Namun, ia tak mau buru-buru mencabut SEMA itu. MA belum menentukan sikap, baru kami pelajari, tuturnya. Kalaupun SEMA itu dicabut, lanjutnya, maka akan dikeluarkan edaran baru.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, sebenarnya bukan SEMA itu saja yang melarang Keputusan KPU untuk digugat ke PTUN. Pasal 2 huruf g UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN menyebutkan 'Tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusan TUN adalah Keputusan KPU baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu'. Artinya, UU ini sebenarnya juga melarang keputusan KPU bisa digugat ke PTUN.

Pelaksanaan pemilihan umum legislatif 2009 tinggal menghitung hari. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih sibuk mengurus segala urusan mengenai pemilu. Namun, lembaga yang bersiap menghadapi pemilu bukan KPU saja, melainkan juga lembaga peradilan yang diberi kewenangan mengadili perkara pidana pemilu. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif memang memberi kewenangan pengadilan negeri mengadili perkara pidana pemilu yang dipimpin oleh hakim khusus. Ketentuan mengenai hakim khusus diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung (MA) No 3 Tahun 2008 tentang .

 

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin meminta para hakim yang diberi tugas, fokus pada perkara pidana pemilu. Kami meminta hakim adhoc yang ditunjuk agar dibebastugaskan dan tidak dibebani perkara lain, ujarnya. Permintaan ini disampaikan langsung oleh Firman, sapaan akrabnya, kepada Hakim Agung Djoko Sarwoko, Komariah Emong Sapardjaja, dan Agung Mansur Kartayasa di Gedung MA, Kamis (2/4). Ketiga hakim agung itu memang diberi tugas untuk mengawasi penanganan perkara tindak pidana pemilu, di tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT).

 

Firman menyoroti minimnya jumlah hakim khusus. Sesuai Perma 3/2008 dan SEMA No 7/A/2008, PN dan PT harus menyediakan tiga sampai lima hakim khusus tiga sampai lima orang. Bila para hakim khusus itu masih dibebani perkara lain dikhawatirkan akan banyak perkara yang terbengkalai. Apalagi bila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.

 

Disamping itu, Pasal 255 UU Pemilu Legislatif juga menuntut pengadilan menggelar sidang secara cepat. Disebut demikian karena PN harus memeriksa, mengadili dan memutuskan tindak pidana pemilu setidaknya tujuh hari sejak menerima berkas dari penuntut umum. Pihak yang tidak puas atas putusan itu bisa mengajukan upaya banding. PT juga diberi waktu tujuh hari untuk memutuskan perkara. Putusannya bersifat final dan mengikat. 

 

Djoko Sarwoko mengakui minimnya waktu yang diberikan kepada pengadilan untuk menyelesaikan perkara. Namun, waktu yang disediakan itu harus dimanfaatkan secara maksimal. Itu harus benar-benar diselesaikan tepat waktu, ujarnya. Pengalaman pemilu 2004 bisa dijadikan contoh. Djoko menceritakan saat itu banyak perkara yang langsung diputus hanya dengan sekali sidang. Paling lama hanya tiga hari. Karenanya, berdasarkan pengalaman itu, ia yakin pengadilan dapat menyelesaikan perkara tepat waktu.

Tags: