Hak Hidup dalam Konstitusi Masih Berupa Ius Constituendum
Putusan Ryan:

Hak Hidup dalam Konstitusi Masih Berupa Ius Constituendum

Salah satu pertimbangan majelis hakim memvonis Ryan karena berpendapat hak hidup dalam Pasal 28I UUD 1945 masih berupa ius constituendum. Artinya, hukum yang masih dicita-citakan. Fajrul Falakh menilai pertimbangan hukum ini tidak tepat meski ia mengaku bisa memahami maksud hakim.

Oleh:
Ali/Rfq
Bacaan 2 Menit
Hak Hidup dalam Konstitusi Masih Berupa Ius Constituendum
Hukumonline

 

Fajrul menjelaskan seharusnya majelis hakim cukup mengatakan KUHP masih eksis dan belum dihapus. Sedangkan tugas dari hakim PN adalah menerapkan UU. "Mereka bertugas menerapkan KUHP," tuturnya.

 

Meski begitu, Fajrul mengaku bisa memahami maksud majelis hakim yang menyebut Pasal 28I adalah hukum yang dicita-citakan. "Mungkin maksudnya, hak hidup dalam konstitusi belum diterapkan makanya mereka menyebutnya sebagai ius constituendum," ujarnya. Belum diterapkan karena masih banyak UU yang mencantumkan pidana mati, termasuk KUHP. Padahal, ia menegaskan ketentuan UU seharusnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.

 

Menolak Hukuman Mati

Sementara itu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyatakan penolakannya terhadap penjatuhan vonis mati terhadap Ryan ini. "LBH Masyarakat menyayangkan penggunaan hukuman mati sebagai jawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh Ryan," tulis Direktur Program LBH Masyarakat Ricky Gunawan dalam siaran persnya.

 

Ricky menyebutkan hukuman mati adalah bentuk pelanggaran fundamental terhadap hak untuk hidup setiap manusia yang melekat secara inheren di dalam tubuhnya. "Ini diakui dalam Konstitusi Indonesia serta beragam aturan hukum internasional," jelasnya.

 

Hal senada diungkapkan Rusdi Marpaung dari Imparsial. Rusdi menyadari dilema yang dihadapi hakim. Di satu sisi, Pasal 28I UUD'45 menjamin hak hidup, tapi di satu sisi KUHP masih menyebut adanya sanksi hukuman mati. Namun, ia menegaskan hukuman mati pada Pasal 340 KUHP bukan hukuman yang mutlak diberikan. "Itu hanya hukuman maksimal. Hakim kan bisa menjatuhkan hukuman seumur hidup."

 

Perdebatan seputar polemik hukuman mati juga pernah terjadi di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Kala itu, MK sedang menguji UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang memuat sanksi hukuman mati. MK menyatakan hak hidup terikat pada pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. "Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan," kata hakim konstitusi Natabaya kala menolak permohonan pengujian UU Narkotika itu.

Vonis mati terhadap terdakwa pembunuhan disertai mutilasi Very Idham Henyansyah alias Ryan telah diketok. Ryan pun juga telah menyatakan akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim yang dipimpin oleh Suwidya sempat 'mengomentari' Pasal 28I UUD 1945. Pasal yang menjamin hak hidup seseorang ini kerap dijadikan dalil untuk menolak hukuman mati.

 

Secara lengkap Pasal itu berbunyi 'Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun'.

 

Majelis hakim punya pertimbangan sendiri terhadap ketentuan ini. "Majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28I UUD 1945 hasil amandemen tersebut masih bersifat ius constituendum. Yakni hukum yang berlaku pada masa yang akan datang," jelas Suwidya. Sedangkan Pasal 340 KUHP yang menjerat Ryan adalah ius constitutum atau hukum yang berlaku saat ini dan masih merupakan hukum positif.

 

Sekedar menjelaskan, dalam ilmu hukum dikenal dua jenis hukum. Pertama, ius constitutum yang artinya hukum yang berlaku saat ini atau hukum yang telah ditetapkan. Sedangkan kedua adalah kebalikannya, ius constituendum yang berarti hukum yang dicita-citakan atau yang diangan-angankan.

 

Majelis tak asal omong. Suwidya menunjuk beberapa ketentuan di bawah UUD 1945 yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu sanksi pemidanaan. Salah satunya Pasal 340 KUHP yang membolehkan penjatuhan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan berencana. "Kenyataannya masih terdapat beberapa ketentuan perundang-undangan yang menentukan hukuman mati terhadap tindak pidana tertentu," ujarnya. Inilah yang dimaksud majelis bahwa hak hidup dalam Pasal 28I adalah hukum yang masih dicita-citakan.

 

Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Mohammad Fajrul Falaakh menilai pertimbangan majelis ini kurang tepat. "Kalau pakai cara pandang itu ius constituendum tak tepat," ujarnya melalui sambungan telepon, Selasa (7/4). Ia menegaskan semua aturan hukum yang telah diundangkan adalah hukum positif atau ius constitutum. Termasuk Pasal 28I ini. Lagipula, lanjutnya, yang menjamin hak hidup bukan hanya pasal itu saja, tetapi UU No. 12/2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik mengatur hal serupa.

Tags: