UU Mahkamah Agung Resmi Diuji Formil ke Mahkamah Konstitusi
Berita

UU Mahkamah Agung Resmi Diuji Formil ke Mahkamah Konstitusi

MK diminta menafsirkan ‘kehadiran' anggota DPR saat membahas RUU Mahkamah Agung. Apakah harus kehadiran secara fisik atau hanya absensi?

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
UU Mahkamah Agung Resmi Diuji Formil ke Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

 

Kuasa hukum yang lain, Taufik Basari menyatakan perdebatan di ruang sidang MK tak akan jauh-jauh dari makna 'kehadiran'. "Apakah yang dimaksud kehadiran itu harus secara fisik atau bisa sekedar absensi belaka?" katanya. Menurutnya, makna kehadiran harus secara fisik. Namun, kebiasaan persidangan di DPR acapkali mengacu hanya kepada absensi. "Biar MK yang menentukan," ujar pria yang biasa disapa Tobas.

 

Tobas berharap apa pun putusan MK kelak akan bisa dijadikan dasar bagi pengujian formil ke depan. "Ini juga bisa digunakan untuk memperbaiki proses legislasi di DPR," katanya.

 

Tertutup

Selain itu, pemohon juga mempersoalkan pembahasan UU MA yang dilakukan tertutup. Padahal, salah satu syarat pembahasan UU dalam Pasal 5 UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan secara terbuka. "Pemberitaan di media massa membuktikan bahwa pembahasan UU MA itu dilakukan secara tertutup," ujar Febri.

 

Pemohon bahkan mengutip pendapat akhir Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menyatakan keberatannya terhadap proses pembahasan Panja RUU MA yang tertutup. "Menurut PDIP, selain menciderai asas transparansi atau keterbukaan juga menutup ruang partisipasi publik sepanjang proses pembahasan," tulisnya dalam permohonan.

Janji beberapa aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menguji UU Mahkamah Agung (UU MA) yang teranyar, UU No.3 Tahun 2009, telah ditunaikan. Para pemohon -Direktur LBH Jakarta Asfinawati, Ketua MaPPI Hasril Hertanto, Koordinator ICW Danang Widoyoko, Direktur PuKAT FH UGM Zainal Arifin Mochtar- resmi mendaftarkan permohonan pengujian UU MA ke Mahkamah Konstitusi (MK), hari ini, Rabu (8/4).

 

Para pemohon mengajukan uji formil UU MA. Artinya pengujian yang mempersoalkan proses pembentukan UU MA ini. "Kami menganggap ada beberapa proses pembentukan yang dilanggar," ujar salah seorang kuasa hukum pemohon, Supriyadi Widodo di Gedung MK.

 

Dalam petitumnya, pemohon menilai proses pembentukan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), dan Pasal 22A UUD 1945. Keempat pasal itu merupakan dasar pembentukan Undang-Undang. "Turunannya adalah UU 10/2004, UU Susduk, dan Tatib DPR," ujar Febri Diansyah dari ICW.

 

Salah satu persoalan yang diangkat adalah masalah kuorum anggota DPR ketika pengesahan UU MA tersebut. Pasal 206 ayat (1) Tata Tertib DPR menyebutkan ˜Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi."

 

Febri mencatat, kala itu yang hadir dalam pengesahan ada sekitar 90 sampai 96 anggota DPR. "Mereka yang hadir secara fisik," ujarnya. Namun di absensi peserta, lanjut Febri, memang ada lebih dari 275 anggota DPR yang ikut menandatangani. Artinya dianggap telah melebihi kuorum.

 

Febri tak asal omong. Ia mengaku sudah menyiapkan sejumlah alat bukti. Di antaranya adalah rekaman video sidang pengesahan UU MA dari beberapa stasiun televisi. "Di situ bisa dilihat berapa anggota DPR yang hadir," tuturnya. Selain itu, ia juga mengatakan telah menyiapkan ahli bahasa untuk menjelaskan arti 'kehadiran' yang sebenarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: