Industri Minyak Goreng Terindikasi Kartel
Berita

Industri Minyak Goreng Terindikasi Kartel

KPPU menduga sedikitnya delapan pelaku usaha di industri minyak goreng melakukan kartel. Dugaan itu terkait turunnya harga minyak mentah dunia yang tidak dibarengi dengan penurunan harga minyak goreng dalam negeri.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Industri Minyak Goreng Terindikasi Kartel
Hukumonline

 

Saat rapat kerja dengan DPR beberapa waktu lalu, Ketua KPPU Benny Pasaribu mengatakan lembaganya telah menaruh curiga terhadap pelaku usaha terkait harga dan pasokan minyak goreng di pasar. Dia mengatakan 92 persen kapasitas produksi minyak goreng terkonsentrasi di enam provinsi, yakni Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat. Jadi setidaknya ada enam perusahaan minyak goreng yang bisa mengontrol harga di pasar, kata Benny. Oleh karena itulah Benny tidak setuju dengan usulan subsidi di sektor ini. Dia lebih menginginkan pada penyelesaian struktur pasar dan perilaku pelaku usaha.

 

Sekedar catatan, dugaan KPPU terkait adanya kartel di bisnis minyak goreng bukanlah baru pertama kali. Sejak kepemimpinan Mohammad Iqbal, lembaga sudah curiga ada kartel di bisnis ini. Ketika itu, besarnya jumlah produksi CPO tidak dibarengi dengan penurunan harga minyak goreng di pasar. Data yang ada di KPPU yang menunjukan bahwa pasar minyak goreng di Sumatera praktis dikuasai oleh tiga pemain besar, yaitu Wilmar Group, Sinar Mas dan Musim Mas. Pasar di Jawa dikuasai oleh Sinar Mas dan Musim Mas. Selain kedua kelompok ini, ada juga Hasil Karsa, Raja Garuda Mas, Salim Group dan Berlian Eka Sakti.

  

Namun, ketika itu Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Akmaludin Hasibuan membantah adanya kartel dalam industri CPO. Menurutnya, selain tergantung pada supply dan demand, harga CPO juga dipengaruhi oleh patokan harga di pasar Rotterdam dan Kuala Lumpur. Di sana, penjualan CPO ditentukan melalui mekanisme tender. Selain itu, kata Akmal, mahalnya harga minyak goreng saat ini terletak pada penyaluran distribusi yang tidak berjalan dengan baik.

Setelah delapan produsen semen diindikasikan terlibat kartel, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kembali mengumumkan sedikitnya delapan produsen minyak goreng diduga melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat. Dugaan ini terkait turunnya harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang tidak diikuti dengan penurunan harga minyak goreng di tingkat konsumen dalam negeri. Monitoring KPPU atas dugaan kartel di bisnis ini telah dilakukan sejak Maret dan berakhir Mei 2009.

 

Para pelaku usaha yang kini masuk dalam pantauan KPPU itu umumnya memproduksi minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan dengan pangsa pasar sebesar 80 persen di Tanah Air. Tapi sayangnya, KPPU belum berani membeberkan nama-nama perusahaan tersebut. Yang pasti produk-produk minyak goreng itu telah dikenal masyarakat, kata anggota komisioner KPPU Ahmad Ramadhan Siregar.

 

Seperti diketahui, pada pertengahan tahun 2008 harga CPO internasional turun hingga 30 persen. Sejatinya, penurunan itu diikuti dengan penurunan harga minyak goreng nasional. Namun fakta di lapangan berkata lain, harga minyak di pasaran masih tinggi atau tidak sesuai dengan penurunan harga CPO yang bahan baku utamanya dari minyak goreng. "Pembentukan harga minyak goreng itukan didominasi harga CPO, sekitar 50-80 persen dari biaya produksi," kata Ahmad. Oleh karena itulah KPPU menduga ada kartel harga di bisnis minyak goreng.

 

Dibandingkan dengan negara lain, harga minyak goreng nasional jauh lebih mahal. Di negara lain, harga minyak goreng turun secara elastis mengikuti penurunan harga CPO Internasional. Menurut pantauan KPPU, mahalnya harga minyak nasional disebabkan karena terintegrasinya pabrikan minyak goreng dengan pabrik pengolahan CPO dan perkebunan kelapa sawit. Hal ini terjadi pada semua pelaku usaha minyak goreng, ujar Ahmad.

 

Dia melanjutkan, sejauh ini KPPU juga sudah melakukan pemantauan terhadap beberapa anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) dan Departemen Perdagangan selaku regulator dalam bisnis ini. Kini, KPPU merencanakan akan melakukan dengar pendapat (public hearing) pada akhir April.

Halaman Selanjutnya:
Tags: