Hantu itu Bernama Pemilu Ulang
Fokus

Hantu itu Bernama Pemilu Ulang

Desakan pemilu ulang di sejumlah daerah mulai bermunculan tidak lama setelah pemilu legislatif rampung digelar. Ancaman pemilu ulang bakal semakin terasa nuansa politisnya pada saat pilpres digelar Juli 2009.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Perlahan, Al Gore menutup telepon. Ucapan selamat, walaupun itu terasa pahit, baru saja ia sampaikan kepada rivalnya, George W Bush. Ketika itu, sejumlah media di Amerika Serikat telah memastikan bahwa Bush keluar sebagai pemenang Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2000. Dengan selisih suara tipis, putra mantan Presiden George W H Bush itu mengalahkan Al Gore di sebagian besar negara bagian, termasuk Florida yang ketika itu dikuasai oleh Partai Republik, partainya Bush.

Sikap legowo yang ditunjukkan Al Gore tiba-tiba berubah 180 derajat ketika tim kampanye menyampaikan informasi mengejutkan. Tim kampanye menemukan data berbeda tentang hasil pemungutan suara di Florida. Selanjutnya, tim kampanye berhasil meyakinkan Al Gore bahwa ia punya dasar untuk menggugat kemenangan Bush. Wakil Presiden di era Bill Clinton ini pun mengurungkan niatnya menyampaikan pidato kekalahan.

Situasi politik Amerika Serikat, khususnya di Florida, mulai panas lagi setelah sempat reda pasca pemungutan suara. Pendukung Al Gore turun ke jalan menggelar unjuk rasa. Perang opini antar kedua kubu melalui media pun tak terhindarkan. Tim kampanye Al Gore mulai melancarkan lobi-lobi politik, mengumpulkan data, dan menyiapkan dalil-dalil hukum untuk proses pengadilan. Dimotori oleh Ron Klain, mantan Kepala Staf Al Gore, dan David Boeis yang ditunjuk sebagai pengacara untuk proses gugatan, kubu Al Gore berjuang mati-matian.

Florida menjadi medan pertempuran yang menarik bagi Al Gore dan Bush, karena masing-masing memiliki kelebihan. Bush diuntungkan karena sejumlah pejabat di Florida adalah anggota Partai Republik dan juga menjadi bagian dari tim kampanye Bush. Bahkan, Gubernur Florida saat itu adalah adik kandung Bush. Sementara, Al Gore yang diusung oleh Partai Demokrat memiliki keuntungan karena pengadilan di Florida, mayoritas hakimnya dipilih ketika Partai Demokrat menguasai negara bagian dengan ibukota Tallahassee itu.

Di level negara bagian, pengadilan mengeluarkan putusanpositif untuk kubu Al Gore. Tuntutan agar dilakukan penghitungan suara ulang di beberapa county di Florida dikabulkan oleh pengadilan. Tidak hanya itu, pengadilan juga sempat menetapkan perpanjangan waktu penghitungan suara ulang. Lalu, penghitungan suara ulang yang sempat terhenti, diperintahkan untuk dilaksanakan kembali. Sengketa akhirnya bermuara ke Supreme Court of the United States yang memberikan kemenangan bagi Bush, walaupun tidak bulat.

Merespon putusan Supreme Court of the United States, tim kampanye Al Gore sedianya bertekad menempuh cara lain. Namun, tekad itu terpaksa harus diredam karena di luar dugaan Al Gore angkat tangan. Ia kembali pada sikapnya terdahulu, yakni merelakan kekalahannya kepada George W Bush.

Kisah di atas adalah cuplikan film docudramaperpaduan antara documentary dan drama -Recount yang ditayangkan di HBO. Meskipun disisipi dengan sejumlah plot fiktif, Recount yang diantaranya dibintangi oleh aktor Kevin Spacey, didasarkan pada kisah nyata Pemilihan Presiden USA tahun 2000 yang disebut-sebut sebagai the most controversial presidential election in US history. Hasilnya, sebagaimana tercatat dalam sejarah, George W Bush terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-54. Kedigdayaan Bush bahkan berlanjut pada periode kepresidenan berikutnya.

Agak mustahil memang menyandingkan perkembangan politik di Amerika Serikat yang notabene negara maju, baik dari segi ekonomi maupun politik, dengan Indonesia yang sebagian kalangan menyebutnya negara yang baru melek demokrasi. Namun, realitas yang terjadi di Florida pada saat US Presidential Election 2000, bukan mustahil juga bisa terjadi kalau tidak mau dibilang pasti terjadi- pada Pemilu 2009. Benang merahnya adalah pemilu ulang.

Di satu sisi, pemilu ulang belakangan menjadi frasa yang populer diperbincangkan di forum-forum diskusi, seminar, talkshow, atau bahkan obrolan santai di warung kopi. Di sisi lain, frasa ini juga ditakuti karena serta-merta akan terbayang berapa biaya, tenaga, energi, dan waktu yang akan dihabiskan jika pemilu ulang benar-benar terjadi.

Pihak yang getol mengumandangkan pemilu ulang mungkin bisa dicurigai memiliki motif mengacaukan atau setidaknya mengganggu jalannya pemilu. Namun, dalam kaca mata positif, mereka justru menyuarakan peringatan bahwa ada yang tidak beres pada penyelenggaraan pemilu. Efek yang diharapkan muncul adalah kesadaran dari penyelenggara pemilu, dalam hal ini pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), agar mampu meminimalisir potensi pemilu ulang terjadi.

Potensi pemilu ulang
Jika mencermati kondisi yang ada, beragam faktor sebenarnya bisa memunculkan tuntutan agar dilakukan pemilu ulang. Salah satu embrionya berasal dari gedung parlemen. Sejalan dengan fungsinya sebagai pembentuk undang-undang (legislatif), DPR memiliki peran penting dalam memproduksi undang-undang yang terkait dengan pemilu. Kebetulan, menjelang Pemilu 2009, DPR tengah menggodok paket undang-undang politik yakni UU Partai Politik, UU Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif), UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk).

Dengan serius, bahkan tidak jarang dengan mengenyampingkan rancangan undang-undang yang lain, DPR berhasil menuntaskan pekerjaan rumah mereka. Tiga undang-undang, hanya menyisakan UU Susduk, berhasil dirampungkan sebelum pemilu digelar. Dari ketiganya, UU Pemilu Legislatif dan UU Pilpres adalah yang paling krusial karena di dalamnya mengatur aspek-aspek teknis prosedural terkait pemilu.

Sayang, walaupun bekerja tepat waktu, kualitas produk DPR lagi-lagi jauh dari harapan. Satu per satu cacat pada UU Pemilu Legislatif dan UU Pilpres mulai terungkap. Sebagian pengamat mengkritik produk DPR yang dituding sarat dengan kepentingan partai yang bermukim di parlemen. Sementara, sejumlah pihak yang berkepentingan langsung, menjadikan cacat itu sebagai dasar untuk mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada yang berhasil, dan ada yang kandas. Sejauh ini, UU Pemilu Legislatif lebih sering di-judicial review dibandingkan saudara mudanya, UU Pilpres.

Hasil judicial review tidak hanya was-was dinanti para pemohon, KPU juga berkepentingan. Karena apapun itu putusan MK, maka KPU lah yang akan menjalaninya. Dengan kata lain, buruknya produk legislasi DPR pada akhirnya akan menjadi beban KPU selaku penyelenggara pemilu.

KPU selalu berada di posisi dilematis. Di satu sisi, harus menjalankan undang-undang yang bermasalah yang kemudian terkonversi dalam bentuk putusan MK. Tetapi, di sisi lain, terbentur dengan jadwal tahapan pemilu yang begitu ketat. Makanya, solusi instan yang kerap kali muncul pasca putusan MK, adalah berharap presiden berkenan menerbitkan perpu.

Salah satu, putusan MK yang fenomenal tentang sistem penetapan caleg terpilih. MK menyatakan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e dalam UU Pemilu Legislatif, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK pun meralat sistem nomor urut yang telah ditetapkan UU Pemilu Legislatif menjadi sistem suara terbanyak. MK menilai, sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.

Putusan ini sontak membuat caleg nomor urut satu digit kelabakan. Rasa percaya diri karena duduk di nomor atas tiba-tiba berubah menjadi rasa takut terhadap kolega dengan nomor urut dua digit. Kepanikan sejumlah caleg diwujudkan dengan jor-joran menjual diri melalui pemasangan baliho,poster, kartu nama, atau iklan di media bagi yang berduit.

Putusan MK ini juga sontak mengganggu tidur para caleg dari kalangan perempuan yang sebenarnya sudah nyaman dengan jaminan affirmative action 30 persen. Mereka wajar khawatir, karena affirmative action tiba-tiba tak berarti jika pengumpul suara terbanyak ternyata dari kalangan laki-laki. Alhasil, kursi parlemen lagi-lagi akan didominasi oleh kaum adam.  

Perpu di luar harapan
KPU tidak kalah panik. Komisi pimpinan Abdul Hafiz Anshary ini mulai dibayang-bayangi banjirnya gugatan dari caleg perempuan, caleg nomor urut atas atau aksi saling gugat antar caleg satu partai. Jika bayang-bayang ini benar terjadi, maka konsekuensinya KPU tidak hanya akan repot bolak-balik ke pengadilan, tetapi jadwal yang sudah dirancang sedemikian rupa juga akan terganggu.

Makanya, begitu putusan MK keluar, KPU langsung meminta perpu dengan harapan dapat meminimalisir potensi masalah dampak dari putusan MK. Padahal, putusan MK jelas menyebutkan bahwa putusan ini bersifat self executing alias bisa langsung dilaksanakan oleh KPU. MK bahkan memastikan tidak akan ada kekosongan hukum akibat putusan MK ini. Tidak hanya itu, MK juga menyatakan siap mem-backup jika KPU dibanjiri oleh gugatan dari pihak yang merasa tidak puas.

Jaminan dari MK ternyata tidak cukup. KPU bersikukuh menyatakan butuh payung hukum. Rencana cadangan pun disiapkan. Jika perpu tidak kunjung datang, KPU siap menerbitkan peraturan KPU. UU Penyelenggara Pemilu, No 22 Tahun 2007, memang memberi kewenangan regulasi kepada KPU. Sayangnya, opsi ini kurang didukung oleh para pengamat politik dan hukum, karena peraturan KPU dipandang kekuatan hukumnya lemah.   

Akhirnya, perpu yang dinanti terbit juga. Akhir Februari 2009, Presiden SBY dan Menkumham Andi Matalatta menandatangani Perpu No 1 Tahun 2009. Lama dinanti ternyata perpu tidak seperti yang diharapkanBeleid anyar itu praktis hanya mengatur tentang rekapitulasi daftar pemilih tetap secara nasional dan tata cara pemberian tanda pada surat suara. Masalah lain seperti affirmative action dan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, luput.

KPU pun pasrah. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengaku tidak akan ngotot meminta presiden mengatur dua hal yang luput diatur itu. Hafiz menyatakan KPU siap digugat. Kesiapan itu diwujudkan dengan menyiapkan tim hukum yang terdiri dari 10 orang dari kalangan praktisi dan profesional, serta dengan alokasi anggaran khusus. Meski pasrah, KPU memenuhi janjinya untuk menerbitkan peraturan KPU sebagai tindak lanjut putusan MK. Peraturan KPU No 15 Tahun 2009 pun diluncurkan pada 16 Maret 2009.

Contreng, logistik dan DPT
Selain masalah yang dikirim dari DPR, faktor yang dapat menimbulkan tuntutan pemilu ulang juga berasal dari internal KPU. Sejumlah kebijakan maupun peraturan yang dibuat KPU beberapa kali menuai protes dari peserta pemilu, pengamat, maupun LSM. Tiga persoalan yang paling ramai diperbincangkan adalah cara penandaan kertas suara, logistik, dan daftar pemilih tetap (DPT). 

Cara penandaan sempat menjadi polemik gara-gara keberanian KPU menafsirkan kata tanda pada kalimat memberikan tanda satu kali dalam Pasal 153 ayat (1) UU Pemilu Legislatif sebagai tanda contreng atau centang. Sebagian kalangan menilai KPU terlalu nekat mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kebiasaan dan pemahaman umum masyarakat. Faktanya, dalam sejarah penyelenggaraan pemilu, masyarakat Indonesia lebih akrab dengan cara mencoblos dibandingkan contreng.

Sementara, KPU berdalih contreng lebih ekonomis ketimbang coblos. Setidaknya, KPU tidak perlu repot menyediakan paku yang selama ini dijadikan alat untuk mencoblos. Alasan lain KPU, surat suara pemilu kali ini lebih lebar dan banyak lembaran. Dengan jumlah 38 partai belum termasuk partai lokal di Aceh- surat suara pemilu memang harus dilipat menjadi beberapa bagian. Belum lagi, untuk pemilu legislatif, pemilih setidaknya diberikan tiga lembar surat suara yakni DPR, DPD, dan DPRD.

Kalangan yang tidak setuju kebijakan contreng khawatir akan banyak terjadi surat suara yang tidak sah karena pemilih salah memberikan tanda. Hal itu terbukti ketika KPU menggelar simulasi di sejumlah daerah, dimana prosentase kesalahannya cukup tinggi. Akhirnya, KPU sadar dan merevisi kebijakannya sendiri. Sejak terbitnya Perpu No 1 Tahun 2009, tanda contreng tidak lagi menjadi harga mati.

Permasalahan logistik tidak kalah pelik, mulai dari pengadaan hingga pendistribusian. Misalnya, sejumlah pengamat mempersoalkan pengadaan kotak suara yang mengandalkan stok lama pemilu sebelumnya. Padahal, desain kotak lama tidak sesuai lagi dengan fisik surat suara sekarang yang lebih tebal dan lebar. Masalah berikutnya cukup klasik, yakni pendistribusian logistik yang terhambat.

Fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan lagi-lagi menjadi sumber masalah. Beberapa lokasi yang sulit terjangkau mengalami keterlambatan menerima kiriman logistik dari pusat. Kalaupun sampai di lokasi, logistik dalam keadaan rusak atau tertukar dengan daerah lain. Logistik salah alamat terbukti sempat menimbulkan polemik dalam pemilu legislatif beberapa hari lalu. Terkait hal ini, KPU telah menegaskan surat suara tertukar antar daerah pemilihan dan sudah terlanjur digunakan, surat suara tersebut dinyatakan sah dan dapat dihitung.

Terakhir, Permasalahan DPT cukup panjang menjadi bahan perdebatan. Salah satu pemicunya adalah pengakuan dari mantan Kapolda Jawa Timur seputar kasus dugaan manipulasi DPT dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur. Isu lokal Jawa Timur kemudian beranjak menjadi isu nasional. Sejumlah kalangan partai politik khawatir kasus Jawa Timur berulang di tingkat nasional. Wacana pengunduran jadwal pemilu demi perbaikan DPT pun mulai didengungkan.

Di luar kalangan partai, Serikat Pengacara Rakyat (SPR) juga sempat melayangkan gugatan ke pengadilan dan somasi terhadap KPU. SPR mendesak KPU segera melakukan perbaikan DPT, karena di lapangan banyak ditemukan kejanggalan seperti data pemilih ganda atau orang yang sudah meninggal masih tercantum di DPT. Segala protes direspon KPU dengan tenang. KPU berdalih hanya menggunakan data apa adanya dari Dinas Kependudukan. Untuk melakukan perbaikan, KPU angkat tangan karena selain waktu yang mepet, Perpu No 1 Tahun 2009 juga membatasi KPU untuk tidak melakukan perombakan DPT terlalu banyak.

Kekhawatiran itu lagi-lagi menjadi kenyataan. Dalam pemilu legislatif, satu per satu permasalahan DPT bermunculan di daerah-daerah. Desakan pemilu ulang disuarakan oleh pihak yang merasa dirugikan. Untungnya, KPU dan KPU di daerah setempat tanggap, pemilu ulang pun telah dijadwalkan di sejumlah daerah seperti Solo, Lampung, Yogyakarta, dan Papua. Agar tidak terulang lagi, KPU mengultimatum KPU di daerah untuk segera memperbaiki DPT sebelum ajang pemilu presiden dan wakil presiden digelar pada Juli mendatang.

Bukan hal baru
Merujuk pada permasalahan-permasalahan yang ada, potensi pemilu ulang untuk pemilu kali ini cukup besar. Bahkan, pemilu legislatif yang baru saja digelar langsung diikuti dengan jadwal pemilu ulang di sejumlah daerah. Patut dicermati, dalam skala tertentu, konstelasi politik pemilu ulang pada pemilihan presiden dan wakil presiden tentunya lebih tinggi dibandingkan pemilu legislatif.

UU Pemilu Legislatif sebenarnya telah menyiapkan bab khusus yang mengatur tentang pemilu ulang. Terdiri dari sembilan pasal (Pasal 219-227), bab itu secara deifinitif menetapkan kriteria-kriteia apa saja yang memungkinkan terjadi pemilu ulang. Diantaranya jika  bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

Selain itu, pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu terbukti telah terjadi pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pemungutan suara juga wajib diulang jika petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan; dan/atau petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.

Sejarah pemilu Indonesia mencatat bahwa pemilu ulang bukan hal baru. Pada Pemilu 1997 atau setahun sebelum reformasi bergulir, pemilu ulang terjadi. Ketika itu, pemilu hanya melibatkan dua partai yakni PDI dan PPP, serta satu Golongan Karya. Pemilu terakhir Orde Baru itu diwarnai banyak kecurangan sehingga di sejumlah daerah digelar pemilu ulang.

Pengalaman pemilu ulang terakhir adalah ketika MK mengabulkan gugatan pasangan calon gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono atas hasil Pilkada yang memenangkan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Dalam putusannya, MK memerintahkan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Sementara, untuk Pamekasan, diperintahkan untuk perhitungan suara ulang. Sebelumnya, putusan sama juga dikeluarkan Mahkamah Agung untuk Pilkada Sulawesi Selatan.   

Berdasarkan pengalaman dan realitas politik yang ada, maka pemilu ulang sebenarnya bukan hal yang tabu dan harus ditakuti. Desakan sejumlah pihak agar dilakukan pemilu ulang harus dipahami secara positif bahwa hal itu dilakukan demi tegaknya demokrasi. Biar bagaimanapun, sebagaimana ditegaskan UUD 1945, setiap warga negara Indonesia berhak memilih dan dipilih. Dan, ketika itu tidak terpenuhi, maka mereka berhak menuntutnya.

Namun, perlu ditegaskan bahwa demokrasi mustahil terwujud tanpa hukum yang tegak. Makanya, apapun yang dilakukan pemilih, partai maupun calon legislatif dalam menuntut pemenuhan hak mereka, harus dilakukan sesuai koridor hukum yang berlaku. Kuncinya seperti bunyi salah satu dialog dalam film Recount "you should put your country before your party".

Pemilu 2009 harus dijadikan tonggak bagi Indonesia untuk tidak lagi sekedar melek demokrasi, bukan sebaliknya justru menjadi the most controversial election in Indonesian history'. Jika pemilu ulang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai hantu, maka jadikanlah sebagai friendly ghost seperti tokoh kartun Casper yang bila dijadikan sahabat justru tidak menakutkan.

Tags: