Kejahatan Konservasi: Telaah Yuridis atas Pembunuhan Satwa Langka Dilindungi
Oleh: Wyndra Yustham, SH, MH *)

Kejahatan Konservasi: Telaah Yuridis atas Pembunuhan Satwa Langka Dilindungi

Masih belum terlalu lama untuk mengingat pembunuhan (atau pembantaian ?/ poaching) harimau sumatera (panthera tigris sumatrae), satwa liar dilindungi (endangered species) karena terancam punah, di Riau bulan Februari lalu.

Bacaan 2 Menit
Kejahatan Konservasi: Telaah Yuridis atas Pembunuhan Satwa Langka Dilindungi
Hukumonline

 

Kontestasi atau konflik antara manusia dan satwa liar bukan saja terjadi pada harimau. Sekitar Juni-Juli 2008, di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, seekor gajah dibunuh warga setelah masuk permukiman dan menginjak seorang anak. Di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sekitar bulan Agustus-September 2008 sekelompok orang utan (pongo abelii) merusak kebun kelapa sawit yang merupakan lahan konversi hutan sebagai habitat asli orang utan, demikian keterangan Sumatran Orangutan Conservation Program.

 

Berdasarkan data Penulis, kejahatan konservasi satwa dilindungi bahkan dilakukan juga terhadap anak harimau sumatera yang dicuri dari Taman Nasional Berbak, Jambi, sekitar Pebruari 2009. Demikian halnya perdagangan ilegal trenggiling (manis javanica) di Banjarmasin Selatan sekitar April 2008. Pada Januari-April 2005, Pro Fauna Indonesia dan Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animal (RSPCA) mencatat perdagangan Penyu Sisik, Penyu Hijau dan Penyu Lengkang di Pantai Teluk Cilacap, Pantai Puger Banyuwangi, Pantai Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Pangumbahan Sukabumi, Pantai Samas Yogyakarta serta di kawasan pelabuhan penyebrangan Merak-Bakauheuni Banten, yaitu telur, daging dan tubuh sebagai souvenir

 

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan konservasi dalam bentuk vonis pengadilan diyakini belum memberikan efek jera (deterrent factor) mengingat hingga kini baik secara kualitas maupun kuantitas kejahatan tersebut masih berlangsung, terlepas dari berat-ringannya vonis yang dijatuhkan hakim. Putusan Pengadilan Negeri Rengat, Indragiri Hulu, Riau, bulan Juli 2004 memvonis pidana penjara terhadap 5 anggota sindikat pembunuh dan penjual tulang serta kulit harimau Sumatera yang terjadi awal tahun 2004 di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, selama 1 hingga 1,6 tahun, 1 orang diantaranya yang merupakan pelaku yang pernah membunuh babi hutan dengan racun namun buron divonis 1,6 tahun dan denda Rp 20 juta. Di Lampung, pada 23 Juni 2004 Pengadilan Negeri Liwa menjatuhkan vonis pidana penjara 3 tahun dan denda Rp200.000 subsidier 1 bulan penjara terhadap tiga orang pemburu dan pembunuh 4 gajah liar serta 2 tahun penjara dan denda Rp100.000 terhadap satu orang lainnya sebagai pembantu yang menjual gading gajah. Semua terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

 

Hukum Lingkungan dan Konservasi

Hal yang pertama-tama tercetus apabila kita mencemati bagaimana kepedulian dan upaya masyarakat luas terhadap konservasi lingkungan adalah keprihatinan dan kekhawatiran. Perhatian dan upaya konservasi lingkungan bersifat reaktif : muncul ketika terjadi bencana, kemudian diabaikan beberapa saat setelah bencana diatasi. Banjir besar yang melanda Jakarta beberapa waktu lalu dan bencana Situ Gintung, Tangerang, akhir Maret 2009 bisa dijadikan contoh. Apa yang terjadi setelah bencana teratasi adalah kebiasaan buruk membuang sampah atau limbah rumah tangga di sembarang tempat kembali dilakukan, pemberian ijin pembangunan permukiman, kantor atau mal oleh pemangku jabatan di kawasan penyangga dan resapan tetap berlangsung, warga pendatang terus memaksakan pembangunan rumah-rumah liar di sepanjang sungai perkotaan, dan sebagainya.

 

Dalam perspektif yuridis, isu lingkungan khususnya konservasi satwa dilindungi (endangered species), yang merupakan bidang keanekaragaman hayati (biological diversity), belum mendapat perhatian besar dan prioritas dari para akademisi dan praktisi hukum, atau setidak-tidaknya sejajar dengan isu-isu dalam hukum konvensional. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan mengenai benda yang menjadi obyek perlindungan hukum. Ilmu hukum konvensional memfokuskan nyawa manusia, barang dengan hak kepemilikan, serta martabat/kehormatan sebagai benda hukum dan telah berlangsung lama, sedangkan yang menjadi benda hukum dalam hukum konservasi sumber daya hayati adalah makhluk hidup yang mempunyai naluri dan siklus kehidupan sendiri. Disamping itu banyak akademisi dan praktisi hukum masih menganggap kejahatan terhadap spesies tidak langsung mengancam dan merugikan manusia sebagai subyek hukum, sehingga kejahatan ini tidak atau kurang mendapat perhatian.

 

Sebaliknya, perlindungan hukum terhadap lingkungan menjadi sangat penting mengingat manusia merupakan salah satu unsur dalam mata rantai kehidupan di bumi (web of life) yang menyebabkan ketergantungan (interdependecy) terhadap lingkungan biotic maupun abiotic, didalamnya termasuk peran besar spesies satwa yang membentuk jaringan ekosistem dan rantai makanan (food web).

 

Hukum lingkungan berkembang berdasarkan pemikiran yang mengacu pada prinsip-prinsip ekologis. Untuk itu, perlu perubahan mendasar dari cara pandang terhadap prinsip-prinsip hukum yang semula bersifat homo-centris, ke arah kaidah-kaidah hukum yang bersifat eco-centris, dari hanya atas etika homo-sapiens menjadi eco-ethics. Konsekwensinya adalah adanya keharusan bagi ahli hukum untuk dapat memahami tidak saja konsep hukum, tetapi juga konsep disiplin ilmu lain yang berpengaruh, seperti biologi, ekologi, ekonomi dan teknologi. Dengan konsepsi demikian, maka kejahatan terhadap lingkungan (crimes against environment/ecocrime) seharusnya menjadi isu yang mengancam manusia sehingga mendapat perhatian bersama khususnya ahli hukum. (Daud Silalahi, 1992).

 

Pemidanaan Terhadap Kejahatan Konservasi

Merujuk pada UU No. 5/1990, tindak pidana konservasi satwa merupakan tindak pidana pengawetan keanekaragaman satwa, suatu kebijakan untuk menjaga agar keanekaragaman jenis satwa tidak punah, demikian Penjelasan Pasal 11 UU No. 5/1990. Sanksi pidana pada Pasal 40 UU No. 5/1990 tidak hanya diterapkan terhadap pelaku tindak pidana pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa, tapi juga atas peruntukkan serta penggunaan kawasan suaka alam dan pelestarian alam, baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran (Pasal 40 ayat (5) UU No. 5/1990.

 

Dengan mengamati substansi UU No. 5/1990, terlihat bahwa wujud konkrit perlindungan hukum secara khusus diberikan melalui upaya pengawetan keanekaragaman satwa dengan menetapan status satwa dlindungi, yaitu satwa dalam bahaya kepunahan (threatened with extinction) dan satwa yang populasinya jarang atau endemik (Pasal 20 UU No. 5/1990). Apabila merujuk pada Pasal III ayat (3) (c) dan (5) (c) Piagam CITES tanggal 3 Maret 1973 (diperbaharui tanggal 22 Juni 1979), satwa dalam bahaya kepunahan (threatened with extinction) termasuk dalam kelompok Appendix I, spesies yang dilarang diperjualbelikan untuk tujuan/secara komersial (the specimen is not to be used for primarily commercial purposes).

 

Dalam kaitan tersebut, spesies harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) merupakan satwa dilindungi di Indonesia sejak tahun 1972 dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 372/Kpts/Um/7/1972, dan kembali dituangkan pada Lampiran Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

 

Pembunuhan satwa dilindungi secara tegas merupakan tindak pidana, sebagaimana tertuang pada Pasal 21 ayat (2) UU No. 5/1990. Adanya alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond/grounds of impunity) memang ditegaskan pada Pasal 22 UU No. 5/1990, yang dalam teori pemidanaan merupakan alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, ex Pasal 49 ayat (1) KUHP) yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum (wederrechtelijk) perbuatan. Salah satu perbuatan dimaksud diatur pada Pasal 22 ayat (3) UU No. 5/1990, yaitu pembunuhan karena membahayakan kehidupan manusia (noodweer).   

 

Terkait dengan peristiwa pembunuhan 4 harimau sumatera di atas, Penulis berpendapat bahwa unsur-unsur delik yang ada pada Pasal 40 ayat (2) UU No. 5/1990 dapat diterapkan kepada para tersangka. Berita adanya jerat yang dibuat para tersangka tersebut tidak saja mengandung indikasi unsur kesengajaan (dolus/intent/opzet) dalam perbuatan yang maksudnya agar harimau mati, tetapi lebih dari itu, yaitu indikasi suatu perbuatan yang direncanakan (premeditated crime/dolus premeditatus).

 

Argumentasi pembelaan darurat (noodweer) dalam perbuatan tersebut (Pasal 22 ayat (3) UU No. 5/1990) menurut hemat penulis kurang dapat diterima mengingat sebagaimana diberitakan pelaku tidak berada pada situasi yang terpojok dan mengancam nyawa serta keselamatannya. Terlepas dari semua uraian diatas, mari kita cermati apakah majelis hakim akan membuat terobosan hukum (rechtsvinding) dengan menerapkan prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability), suatu pemidanaan yang tidak memerlukan pembuktian atas unsur kesalahan pelaku seperti dianut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan payung hukum (umbrella act) dan berisi peraturan dasar (basic provision) semua peraturan dibidang lingkungan hidup, ataukah tetap menerapkan prinsip konvensional yang memerlukan pembuktian unsur kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban (liability based on fault).

 

Upaya Preventif dan Kebijakan Konversi Hutan

Selain upaya dan tindakan represif bagi pelaku kejahatan konservasi, diperlukan juga kebijakan dan upaya preventif dalam penegakan hukum dibidang konservasi spesies satwa dilindungi. Tidak saja pemerintah, masyarakat luas mempunyai peran dan tanggungjawab dalam upaya tersebut.

 

Menurut catatan penulis, WWF Indonesia dan BKSDA Riau melakukan operasi bersama sejak tahun 2005 dan menyita sedikitnya 101 jerat pemburu liar, 75 diantaranya berada di dalam kawasan lindung Taman Nasional Tesso Nilo dan Rimbang Baling. Dari 101 jerat tersebut, 23 adalah jerat khusus untuk harimau, sedangkan sisanya untuk menangkap Babi Hutan, Kijang, Rusa dan Beruang Madu (Sahabat Alam, Vol I/2008).

 

Melalui peraturan perundang-undangan, Menteri Kehutanan menetapkan Propinsi Riau sebagai kawasan konservasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dengan Peraturan No. P.73/Menhut-II/2006 yang merubah Peraturan No. P.54/Menhut-II/2006 tentang Penetapan Propinsi Riau Sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera. Menteri Kehutanan juga mengatur pendirian dan operasional lembaga konservasi dengan Peraturan No. P.54/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi.

 

Pada bagian lain, perlu juga dicermati bahwa upaya preventif tersebut harus dilakukan selaras dengan kebijakan pengelolaan habitat spesies. Dalam kasus di atas terlihat bahwa penetapan wilayah permukiman manusia cenderung berhimpitan dengan zonasi habitat spesies sehingga konflik menjadi tidak dapat dielakkan. Selain itu, kebijakan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tidak lagi dapat dipertimbangkan dari aspek komersial semata, tetapi juga harus berdasarkan nilai dan dampak ekologis, memperhitungkan daya dukung dan daya tampung secara cermat. Kedudukan pelestarian lingkungan harus berada sejajar dengan pembangunan. Diperlukan keselarasan dan keharmonisan antara kebijakan pembangunan dengan konservasi/pelestarian lingkungan.

 

Sikap egosentris antara pejabat daerah dengan pusat terhadap bagaimana pengelolaan pembangungan dan pelestarian lingkungan harus segera dihilangkan. Semua itu perlu dipertimbangkan apabila kita masih ingin menikmati dan melihat fungsi keanekaragaman hayati bagi kehidupan anak-cucu kita.

 

 

------

*) Penulis adalah pengamat dan praktisi hukum, tinggal di Jakarta.

Belum lepas dari ingatan kita bagaimana sejumlah warga masyarakat bertindak agresif dan sepihak membunuh dalam situasi yang jauh dari vis absoluta atau noodweer. Tragedi ini bisa jadi merupakan kejahatan konservasi terbesar di Indonesia awal tahun 2009.

 

Sepanjang Februari 2009 dikabarkan empat ekor harimau sumatera mati dijerat warga di Kecamatan Pelangiran dan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, karena memakan ternak warga dan pernah menyerang penjaga kebun. Yayasan Leuser Internasional mencatat sembilan ekor harimau mati selama empat tahun terakhir di wilayah Aceh Selatan dan Pantai Barat Aceh (Kompas, 18 Pebruari 2009). Dari Sumatera Barat diberitakan seorang warga kedapatan menjual kulit dan tulang harimau dan siap dipasarkan di Riau (Kompas, 26 Pebruari 2009 dan 3 Maret 2009).

 

Perdagangan organ tubuh harimau di Sumatera bagian selatan tidak lepas dari ilmu pengobatan tradisionil Asia (di India dan Cina), yang meyakini dapat menyembuhkan sindrom rematik (rheumatism), penyakit kusta/lepra (leprosy), artritis (arthritis) dan efek anti-luka bakar atau anti-inflammatory (Susan A. Mainka, TRAFFIC, 1997). Cina dikabarkan masih menjadi pasar perdagangan tubuh harimau untuk pengobatan tradisionil (Time, 13 April 2009, Vanishing Act).

 

Menteri Kehutanan dan Gubernur Sumatera Selatan memberi perhatian khusus atas masalah ini. Pejabat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau telah menetapkan beberapa tersangka terhadap warga pelaku pembunuhan harimau di Indragiri, Riau. Fenomena perilaku harimau dan reaksi warga masyarakat tersebut menarik ditelaah, khususnya dari aspek yuridis konservasi satwa berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990), Keputusan Presideng No. 43 Tahun 1978 tentang Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan peraturan lainnya (Keppres No. 43/1978).

 

Fakta Ancaman dan Kejahatan Konservasi

Dengan logika umum dan sederhana kita dapat mengajukan teori atau hipotesis awal bahwa apa yang terjadi di Kabupaten Indragiri, Riau, tersebut adalah sebuah kontestasi atau konflik atas ruang kehidupan dan sumber makanan antara manusia dan satwa liar. Manusia merambah dan membuka lahan baru untuk permukiman dan mengambil sumber-sumber daya disekitarnya, padahal lahan tersebut merupakan habitat atau jalur perlintasan kehidupan satwa liar yang didalamnya sekaligus tempat mencari makan. Naluri survival mendorong mereka meningkatkan dan memperluas daya jelajah ke lokasi dimana manusia membuka atau memperluas wilayah.

Tags: