Sengketa Rahasia Dagang Hitachi-Basuki Pratama Kembali Berlanjut
Berita

Sengketa Rahasia Dagang Hitachi-Basuki Pratama Kembali Berlanjut

Lantaran gugatan menjelaskan tahapan-tahapan pembuatan mesin boiler, gugatan Basuki Pratama dinilai majelis hakim sebagai gugatan desain industri. Padahal gugatan yang diajukan tentang rahasia dagang dan tuntutan ganti rugi atas pembongkaran rahasia dagang.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Sengketa Rahasia Dagang Hitachi-Basuki Pratama Kembali Berlanjut
Hukumonline

 

Menurut majelis hakim, meskipun dalam posita atau petitum (tuntutan) penggugat tidak meminta pembatalan desain industri mesin boiler, tetapi gugatan dalam perkara berkaitan erat dengan gugatan antara penggugat dengan  para tergugat di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Saat ini, pemeriksaan perkara tersebut sedang dalam pemeriksaan di tingkat kasasi.

 

Dalam bagian lain pertimbangannya, majelis menyatakan Pengadilan Negeri Bekasi belum ditetapkan sebagai Pengadilan Niaga, karena itu Pengadilan Negeri Bekasi tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara Perkara No. 280/PDT.G/2008/PN.BKS. Dengan demikian, Pengadilan Negeri Bekasi secara absolut tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini. Gugatan penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima dan biaya perkara dibebankan kepada Penggugat, ujar ketua majelis hakim Aroziduhu Waruwu saat membacakan putusan.

 

Pertimbangan majelis hakim senada dengan eksepsi yang diajukan kuasa hukum Hitachi dari Otto Hasibuan & Associates. Dalam eksepsi yang disampaikan Maret 2009 lalu, kuasa hukum Hitachi menyatakan pokok gugatan Basuki Pratama menyangkut rahasia dagang mesin boiler yang menjadi ranah hak kekayaan intelektual. Perkara yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual merupakan perkara perdagangan atau niaga yang harus diperiksa oleh Pengadilan Niaga.

 

Dalam eksepsinya, kuasa hukum Hitachi, Otto Hasibuan menyatakan tindakan Basuki Pratama yang terus menerus mengajukan gugatan merupakan tindakan penyalahgunaan proses peradilan (abuse of court process). Menurut Otto, seharusnya Basuki Pratama menunggu putusan Mahkamah Agung atas kasasi yang diajukan Hitachi dalam perkara desain industri di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

 

Menanggapi putusan hakim, kuasa hukum Basuki Pratama, Adi Setiani menyatakan putusan hakim kontradiktif. Di satu sisi hakim menyatakan tidak berwenang, tapi di sisi lain hakim telah memasuki materi pokok perkara dalam mempertimbangkan putusan. Kemungkinan kita akan mengajukan banding, ujarnya saat dihubungi melalui telepon, Jumat (17/4).

 

Menurut Adi, pertimbangan hakim keliru. Sebab, perkara yang diajukan adalah rahasia dagang bukan desain industri. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2000, pemegang hak rahasia dagang atau pemegang lisensi dapat mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan negeri.

 

Otto Hasibuan menyatakan menghargai putusan majelis hakim yang visioner dan progresif. Majelis hakim benar-benar cermat dan teliti dalam memeriksa surat gugatan yang diajukan oleh penggugat, kata Otto dalam siaran persnya, Rabu (15/4).

 

Hal senada juga disampaikan Presiden Direktur Hitachi, Shuya Okayasu, dalam siaran pers. Kami menyambut baik putusan PN Bekasi hari ini, dan percaya bahwa dalam perkara yang terpisah, Mahkamah Agung juga akan mengambil putusan yang tepat dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, ujarnya.

 

Tuntut Ganti Rugi Rp127,7 miliar

Sekedar informasi, dalam gugatannya Basuki Pratama menuntut ganti rugi sebesar Rp127,7 miliar kepada Hitachi. Perusahaan penanaman modal asing itu dituding telah mengungkap dan menggunakan rahasia dagang metode produksi dan penjualan mesin boiler tanpa izin dari Basuki Pratama selaku pemegang hak rahasia dagang. Padahal kedua metode itu bersifat rahasia. Sejak 1981, Basuki Pratama merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produksi mesin-mesin industri, dengan produksi awal mesin pengering kayu.

 

Selain Hitachi, pihak lain yang dijadikan tergugat dalam kasus itu adalah Shuji Sohma, dalam kapasitas sebagai mantan Dirut PT HCMI selaku tergugat II. Kemudian, Gunawan Setiadi Martono (tergugat III), Calvin Jonathan Barus (tergugat IV), Faozan (tergugat V), Yoshapat Widiastanto (tergugat VI), Agus Riyanto tergugat (VII), Aries Sasangka Adi (tergugat VIII), Muhammad Syukri (tergugat IX) dan Roland Pakpahan (tergugat X). Tergugat IV sampai X merupakan mantan karyawan Basuki Pratama.

 

Terbongkarnya rahasia dagang Basuki Pratama bermula ketika beberapa mantan karyawannya pindah kerja ke Hitachi pada 2003. Pada 2005, eks karyawan diduga telah mengungkapkan cetak biru tentang metode produksi dan penjualan mesin boiler milik Basuki Pratama kepada Hitachi. Setelah itu, Hitachi memproduksi mesin boiler yang sama dengan metode Basuki Pratama. Padahal sekitar tiga sampai lima tahun lalu, Hitachi bergerak di bidang produksi mesin elevator. Basuki Pratama mengaku sangat keberatan dengan tindakan para tergugat.

 

Dalam gugatannya, Basuki Pratama menaksir kerugian materiil akibat pelanggaran rahasia dagang sebesar Rp27,7 miliar. Kerugian itu dihitung dari estimasi penjualan mesin boiler Hitachi plus keuntungannya ditambah dengan bunga dan biaya promosi yang telah dikeluarkan oleh Basuki Pratama. Sedangkan kerugian immateriil diperhitungkan sebesar Rp100 miliar. Total tuntutan ganti rugi sebesar Rp127,7 miliar.

 

Selain ganti rugi, Basuki Pratama juga meminta agar majelis hakim menyatakan para tergugat telah membongkar dan menggunakan rahasia dagang milik penggugat.

 

Dihukum Bayar Ganti Rugi

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan perkara desain industri mesin boiler produksi Basuki Pratama pada Juli 2008. Ketika itu,  Hitachi dihukum membayar ganti rugi sekitar Rp13,5 miliar kepada Basuki Pratama lantaran terbukti melakukan pelanggaran desain industri boiler milik Basuki Pratama. Nilai ganti rugi yang harus dibayar oleh Hitcahi dan tergugat lainnya lebih kecil dari tuntutan yang diajukan oleh Basuki Pratama, yakni sekitar Rp106 miliar.

 

Agustus 2008, Hitachi mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Dalam kasasinya, kuasa hukum Hitachi  menyatakan Pengadilan Niaga telah memeriksa ulang putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap pada Oktober 2006. Dalam putusannya, MA menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan Basuki Pratama karena tidak disertai dengan perincian dan bukti yang konkrit.

 

Putusan Mahkamah Agung itu berawal dari gugatan Hitachi yang meminta pembatalan sertifikat desain industri milik Basuki Pratama pada 2006. Sebab desain industri mesin boiler merupakan public domain. Basuki Pratama sendiri mengajukan gugatan balik dan menuntut ganti rugi ke Hitachi sekitar Rp10 miliar. Namun gugatan Hitachi dan rekonvensi Basuki Pratama sama-sama ditolak. Perkara pun berlanjut ke tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Pada Januari 2008, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali yang diajukan Hitachi.

 

Perseteruan PT Basuki Pratama Engineering dan PT Hitachi Construction Machinery Indonesia terus berlanjut. Setelah menempuh penyelesaian perkara secara pidana pada 2005, perkara niaga pada 2006-2008 dan tata usaha negara, Basuki Pratama kembali menggugat Hitachi ke Pengadilan Negeri Bekasi pertengahan 2008 lalu. Kali ini Basuki Pratama tidak mempermasalahkan desain industri yang mencuat sejak 2005, melainkan gugatan ganti rugi atas pelanggaran rahasia dagang terkait metode produksi mesin boiler (ketel uap). Namun gugatan itu kandas. Dalam putusan sela, Selasa (14/4) kemarin, majelis hakim menolak mengadili perkara tersebut. Alasannya, Pengadilan Negeri Bekasi tidak berwenang mengadili sebab perkaranya masuk ranah Pengadilan Niaga.

 

Merujuk pada posita (dasar gugatan) penggugat, majelis hakim menyatakan gugatan penggugat adalah tentang desain industri. Pasalnya, isi gugatan menguraikan tentang tahapan pembuatan mesin boiler. Yakni, informasi yang rinci, detail dan spesifik mengenai bagian atau produk alam bentuk dua dimensi, ukuran produk jumlah bagian produk dan jenis bahan, kreasi tentang bentuk konfigurasi yang dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri sebagaimana dituangkan dalam cetak biru atau blue print.

Tags: