BPK Temukan Penyimpangan Uang Negara Hampir 30 Triliun
Berita

BPK Temukan Penyimpangan Uang Negara Hampir 30 Triliun

BPK menemukan unsur tindak pidana, kerugian negara/daerah, pemborosan serta rendahnya tindak lanjut dan penyelesaian tuntutan ganti rugi. Temuan itu menunjukkan masih belum efektifnya pelaksanaan dan pengelolaan keuangan negara.

Oleh:
Yoz/Fat
Bacaan 2 Menit
BPK Temukan Penyimpangan Uang Negara Hampir 30 Triliun
Hukumonline

 

Kelima, pemeriksaan atas pengelolaan pinjaman luar negeri, menunjukkan bahwa sistem pencatatan pinjaman Luar Negeri belum dapat menghasilkan informasi tentang pinjaman luar negeri secara handal, sehingga tidak ada sumber informasi mengenai posisi dan penarikan pinjaman yang dapat dipercaya oleh pemerintah Indonesia dalam pengambilan keputusan secara meyakinkan. Kelemahan klausul kontrak menambah beban keuangan negara minimal Rp 36 miliar, kelemahan pengelolaan mengakibatkan hasil proyek dari dana pinjaman luar negeri senilai Rp 438 miliar tidak dapat dimanfaatkan, dan keterlambatan pelaksanaan proyek mengakibatkan tambahan biaya minimal Rp 2 triliun, kata Anwar.

 

Lalu yang keenam, pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi (KKS Migas), menunjukkan kelemahan SPI dan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang mengakibatkan kekurangan penerimaan sebesar Rp 14,58 triliun.

 

Pemeriksaan Kinerja

Menurut Anwar, secara umum hasil pemeriksaan kinerja menunjukkan tidak terpenuhinya standar pelayanan minimum dan tidak tercapainya sasaran yang telah ditetapkan. Pemeriksaan ini didasari pada aspek pelayanan dan administratif yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan yang memiliki nilai strategis, katanya.

 

Hasil pemeriksaan kinerja yang perlu mendapat perhatian di antaranya: (i) pemeriksaan atas proses administrasi pemekaran daerah atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB). Pemeriksaan ini menunjukkan bahwa sejak 1999-2008, terdapat 203 daerah pemekaran yang belum didukung suatu grand design yang komprehensif, yang mengatur arah kebijakan dan strategi pemekaran daerah, serta prediksi mengenai jumlah daerah otonomi ideal di wilayah Indonesia. Pembentukan DOB yang datang dari inisiatif DPR seringkali mengabaikan ketentuan proses pembentukan DOB, ujar Anwar.

 

Kemudian (ii) pemeriksaan atas penyelenggaraan haji musim 1428 H/2007 M, menunjukkan bahwa penyelenggaraan haji belum dilakukan secara efektif. Terutama menyangkut: standar pelayanan minimum penyelenggaraan haji yang belum ada di setiap embarkasi, kebijakan strategis pola pemondokan yang belum disusun, dan standar baku transportasi darat dan udara yang belum tersedia. Dan (iii) objek seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Dinas Kesehatan pada beberapa pemda, serta Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi di NAD-NIAS, yang pada umumnya tidak memenuhi standar pelayanan minimum dan tidak tercapainya sasaran yang telah ditetapkan.

 

Sedangkan pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) pada Semester II 2008, sambung Anwar, merupakan pemeriksaan atas LKPD yang terlambat diserahkan oleh 191 pemerintah daerah kepada BPK. Hasil pemeriksaan atas LKPD menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah masih sangat mengecewakan. Dari 191 LKPD yang diperiksa, sebanyak 72 LKPD memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer, delapan LKPD memperoleh opini Tidak Wajar (TW), 110 LKPD memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan hanya satu daerah yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yaitu Kabupaten Aceh Tengah.

 

Selain itu, dalam tahun anggaran 2008, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK yang mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada instansi yang berwenang terdiri dari 31 LHP meliputi 40 kasus senilai Rp 3,67 triliun dan AS$ 26,37 juta. Sementara, penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah, menunjukkan jumlah penyelesaian ganti kerugian negara/daerah sebanyak 30.431 kasus dengan tingkat penyelesaian sebesar 35 persen. Masih rendahnya tingkat penyelesaian ganti kerugian negara/daerah harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, mengingat proses eksekusi atas penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah, terang Anwar.

 

Harus Ditindaklanjuti

Menanggapi laporan BPK itu, anggota Komisi VII DPR, Alvin Lie mengatakan, sebaiknya Pemerintah langsung menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK tersebut. Bila memang ada kesalahan administrasi, harus dijelaskan kenapa terjadi demikian. Begitu juga bila ada unsur kesengajaan, maka harus diusut secara hukum, katanya.

 

Terkait pemeriksaan BPK atas pengelolaan pinjaman luar negeri, anggota komisi XI DPR, Harry Azhar Azis, mengatakan agar keuangan pemerintah bisa lebih  transparan, sebaiknya dibuat Rancangan Undang-Undang tentang Pinjaman Luar dan Dalam Negeri. Menurut Harry, dengan adanya Undang-Undang tersendiri, maka bisa diketahui secara jelas apakah pinjaman itu secara ekonomis menguntungkan atau malah sebaliknya.

Mari lupakan sejenak hasil penghitungan suara pada Pemilu kemarin, dan beralih pada laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II 2008. Ternyata auditor negara itu menemukan banyak ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan dan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) atas entitas, program atau kegiatan yang diperiksa. Akibatnya bukan hanya permasalahan administrasi, tapi juga terjadi penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan itu antara lain ada kerugian negara, potensi kerugian negara, kekurangan penerimaan, ketidakhematan atau pemborosan, ketidakefektifan, bahkan indikasi tindak pidana.

 

Ketua BPK Anwar Nasution di Gedung DPR, Selasa (21/04), menyatakan total temuan BPK atas hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) mendekati Rp 30 triliun. Ruang lingkup pemeriksaan BPK terhadap PDTT diarahkan pada tema-tema yang menjadi perhatian publik. Antara lain: pertama, Pemeriksaan atas pelaksanaan belanja, menunjukkan kerugian negara/daerah sebesar Rp 25 miliar pada belanja pusat dan Rp 253 miliar pada belanja daerah.

 

Kedua, pemeriksaaan atas Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Pendidikan Lainnya (DPL), menunjukkan kelemahan desain dan implementasi pengendalian, seperti keterlambatan penyaluran dana, penggunaan tidak sesuai dengan petunjuk teknis, sisa dana tidak disetor ke kas negara dan ketidakjelasan status aset bantuan pemerintah pusat. Sebanyak 2.592 sekolah tidak mencantumkan seluruh penerimaan dana BOS dan DPL yang totalnya mencapai Rp 624 miliar dalam rencana anggaran dan pendapatan belanja sekolah. Hal ini menunjukkan akuntabilitas penerimaan sekolah atas berbagai sumber pembiayaan tidak transparan dan berpotensi disalahgunakan.

 

Ketiga, pemeriksaan di bidang manajemen kehutanan, menunjukkan bahwa hutan belum mendapat penanganan secara strategis dan komprehensif. Terjadi kekurangan penerimaan Rp 320 miliar dan AS$ 26 juta, serta kerusakan lingkungan hutan. Keempat, pemeriksaan atas pengelolaan tambang batu bara, menunjukkan kelemahan pada aspek perizinan, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan pengelolaan lingkungan. BPK menemukan 212 kasus senilai Rp 2,69 triliun dan AS$ 779 juta, di antaranya sebanyak 42 kasus senilai Rp 2,55 triliun merupakan kekurangan penerimaan.

Tags: