Sanksi Larangan Mengikuti Tender, Kewenangan KPPU-Kah?
Fokus

Sanksi Larangan Mengikuti Tender, Kewenangan KPPU-Kah?

MA membatalkan diktum di dua putusan KPPU mengenai persekongkolan tender. Ironisnya mayoritas perkara di KPPU didominasi persekongkolan tender. Bakal banyak putusan KPPU yang dibatalkan?

Oleh:
Mon/Sut
Bacaan 2 Menit
Sanksi Larangan Mengikuti Tender, Kewenangan KPPU-Kah?
Hukumonline

 

Nah, putusan-putusan semacam inilah yang dikoreksi MA. Sepertinya MA ingin mengatakan kalau KPPU telah melampaui wewenangnya dalam memutus sebuah perkara. Sebab, sanksi berupa larangan mengikuti tender secara tegas tidak diatur dalam Pasal 47 UU No. 5/1999 maupun di dalam pedoman pelaksanaannya. Pasal 47 hanya mengatur 7 sanksi administratif yang bisa dijatuhi KPPU terhadap pelaku usaha.

 

Ketujuh sanksi itu adalah: (a) penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau (b) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau (c) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

 

Kemudian (d) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalagunaan posisi dominan; dan atau (e) penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimasud dalam Pasal 28; dan atau (f) penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau (g) pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1 miliar dan setinggi-tingginya Rp 25 miliar.

 

Tidak Bertentangan

Meski sudah dua putusan yang dibatalkan MA, nampaknya upaya KPPU untuk menghukum pelaku usaha berupa larangan mengikuti tender, tidak pudar. Buktinya, masih ada putusan KPPU yang amarnya seperti itu pascaputusan kasasi MA terhadap dua perkara tadi. Misalnya pada Senin (20/4) lalu, KPPU kembali menjatuhkan putusan larangan mengikuti tender kepada 11 pelaku usaha yang ikut dalam tender di PT PLN (Persero) Nusa Tenggara Timur. Hukuman itu dijatuhkan lantaran kesebelas perusahaan itu terbukti melanggar Pasal 22 UU No. 5/1999.

 

KPPU dalam putusan itu menjatuhkan hukuman denda kepada beberapa pelaku usaha yang nilainya berbeda mulai dari Rp 160 juta hingga Rp 250 juta. Majelis komisi yang terdiri dari Tresna P. Soemardi (ketua majelis komisi) dan beranggotakan Sukarmi dan Ahmad Ramadhan Siregar, juga menjatuhkan denda kepada panitia tender PT PLN sebesar Rp 1 miliar lantaran terbukti melakukan persekongkolan vertikal. Menurut majelis, panitia tender sengaja mengundang 14 perusahaan untuk mengikuti tender. Sebelas diantaranya adalah terlapor dalam kasus ini. Hal itu sesuai arahan dari Manajer PT PLN Willer Marpaung. Karena itu, KPPU juga menghukum Willer untuk membayar denda Rp 250 juta.

 

Putusan itu seakan membantah dalil MA yang membatalkan diktum KPPU soal larangan tender buat pelaku usaha yang melanggar Pasal 22 UU No. 5/1999. Komisioner KPPU Tresna P. Soemardi menilai hukuman pelarangan tender dalam waktu tertentu tidak bertentangan dengan UU No. 5/1999. Ia menyatakan dalam menjatuhkan putusan, KPPU sudah menyesuaikan dengan pedoman Pasal 47 dan 48 UU No. 5/1999. "Kita sudah memperhitungkan," ujar Tresna.

 

Pelarangan itu bertujuan memberikan efek jera bagi pelaku. Pelaku diharapkan melakukan introspeksi selama tenggat waktu pelarangan agar bisa memenangkan tender dengan cara yang sehat. Selain itu, pelarangan itu memberikan kesempatan pada perusahaan lain yang selama ini terhadang tender karena perilaku curang tersebut  untuk mengikuti tender dengan lebih transparan.

 

Menurut Tresna, wajar jika MA punya pandangan lain. MA memang memiliki kapasitas untuk memberikan pertimbangan hukum. Setiap hakim agung memiliki pemikiran berbeda. Jadi belum tentu pertimbangan diputusan lain senada. "Pertimbangan MA tidak serta merta berlaku di KPPU," ujarnya.

 

Secara finansial, KPPU menjatuhkan hukuman denda kepada pelaku yang besarannya tidak saja dilihat dari tingkat kesalahan, melainkan tingkat kooperatif pelaku dalam pemeriksaan, sidang maupun pemberian data. "Yang penting tidak sampai bangkrut," ujar Tresna.

 

MA dan KPPU memang punya argumen masing-masing. Yang jelas pascaputusan MA tadi, keduanya harus duduk bareng membahas masalah ini. Jika tidak, bisa jadi banyak putusan KPPU yang bakal dibatalkan.

Kabar ini mungkin bisa menjadi warning buat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung (MA) membatalkan diktum di dua putusan komisi anti monopoli itu yang terkait dengan persekongkolan tender. Dua putusan itu adalah Putusan KPPU No. 13/KPPU-L/2005 tanggal 16 Mei 2006 terkait tender pengadaan alat kedokteran untuk Badan Rumah Sakit Daerah Cibinong Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2005, dan Putusan KPPU No. 19/KPPU-L/2005 tentang  tender pengadaan gamma ray container scanner di Pelabuhan Batu Ampar, Batam.

 

Dalam putusan MA No. 01 K/KPPU/2007, majelis kasasi yang terdiri dari Harifin A. Tumpa, Susanti Adi Nugroho dan Mieke Komar membatalkan putusan KPPU yang melarang PT Wibisono Elmed untuk mengikuti tender alat-alat kedokteran di rumah sakit pemerintah di seluruh Indonesia selama dua tahun. Menurut majelis, pelarangan lelang seperti itu tidak termasuk sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Nampaknya MA sangat saklak menggunakan hukum positif dalam perkara ini.

 

Begitu juga dengan putusan MA No. 04 K/KPPU/2007. Majelis kasasi yang diketuai Harifin A. Tumpa, beranggotakan Susanti Adi Nugroho dan Rehngena Purba menyatakan pelarangan tender terhadap PT Mitra Buana Widyasakti tidak dapat dibenarkan. Dalam putusan tertanggal 14 Mei 2008 itu, majelis juga mempertimbangkan dampak krisis keuangan yang menimpa perekonomian nasional. Menjatuhkan sanksi atas pelanggaran UU No.5/1999 haruslah dilihat dalam ruang lingkup secara nasional, begitulah penggalan putusannya.

 

Selain itu, putusan MA tersebut juga membatalkan putusan KPPU yang menghukum Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Proyek APBN Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (DIPA 2005), untuk membayar denda Rp 1,5 miliar. Menurut majelis, panitia tender tidak bisa didenda karena bukan pelaku usaha menurut UU No. 5/1999, melainkan ruang lingkup kewenangan penyidik dalam proses perkara pidana khusus.

 

Pembatalan dua putusan semacam itu tentu menjadi pelajaran serius buat KPPU. Pasalnya, mayoritas perkara yang ditangani Komisi ini terkait larangan persekongkolan tender yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 5/1999. Pasal 22 sendiri mengatur Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Ironisnya hampir semua putusan yang terkait Pasal 22, amarnya melarang pelaku usaha untuk mengikuti tender sejenis. Selain itu, biasanya majelis komisi juga menghukum panitia tender untuk membayar sejumlah denda.

Tags: