Bank Syariah Mandiri Terbelit Akad Mudharabah Muqayyadah
Utama

Bank Syariah Mandiri Terbelit Akad Mudharabah Muqayyadah

Basyarnas memutus Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima membayar pokok pembiayaan akad Mudharabah Muqayyadah kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II (Dapenda) sebesar Rp 10 miliar. Putusan tak kunjung dipatuhi, Dapenda akhirnya memohon sita eksekusi ke Pengadilan Agama Jakpus. Eksekusi tertunda dua kali lantaran pertimbangan dampak eksekusi terhadap perbankan syariah.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Bank Syariah Mandiri Terbelit Akad Mudharabah Muqayyadah
Hukumonline

 

Menanggapi penundaan itu, Aad menyatakan menerima keputusan Masrum. Perbankan syariah harus dibantu, ujarnya. Aad mengatakan akan mengambil langkah hukum sita eksekusi jika pekan depan Bank Syariah Mandiri masih tetap membandel. Jangan salahkan kami, katanya.

 

Senada, kuasa hukum Bank Syariah Mandiri, Gading Sanjaya berterima kasih atas kelonggaran waktu tersebut. Kami akan sampaikan ke manajemen bank untuk menentukan tindakan bank selanjutnya, katanya. Ia mengaku tidak tahu mengapa Bank Syariah Mandiri membandel selama ini, sebab kantor hukumnya baru ditunjuk sebagai kuasa hukum pascaputusan arbitrase.

 

Perkara ini bermula ketika Bank Syariah Mandiri mengajukan proposal penawaran kerja sama pembiayaan Mudharabah Muqayyadah kepada Dapenda, Desember 2003. Dalam proposal penawaran disebutkan, pembiayaan akan digelontorkan untuk PT Sari Indo Prima sebagai biaya pengembangan usaha pembuatan karung.

 

Ketika itu, Dapenda berasumsi skema pembiayaan itu sama dengan penempatan deposito pada bank syariah. Karena itu Dapenda setuju untuk menempatkan dananya pada Bank Syariah Mandiri. Pada 23 Januari 2004, Bank Syariah Mandiri, Sari Indo Prima dan Dapenda membuat kesepakatan bersama Mudharabah Muqayyadah No. 006/MoU/DPAPII/I/2004, No.103/0110/MoU-SIP/I/2004, dan No. 05/1393/017. Saat yang sama, Dapenda mentransfer dana ke BSM dengan surat No. 045/DPAP II/KI/I/2004 tentang penerbitan deposito sebesar Rp 5 miliar.

 

Tak Membayar Angsuran

Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam akta pembiayaan Mudharabah Muqayyadah sebesar Rp 10 miliar pada 28 Januari 2004 antara Dapenda, Sari Indo Prima dan Bank Syariah Mandiri.  Perjanjian itu berlaku selama tiga tahun hingga 23 Januari 2008, dengan ketentuan bagi hasil Dapenda sebesar 13,5 persen per annum (tiap tahun). Sementara Bank Syariah Mandiri mendapat fee sebesar satu persen per tahun terhitung sejak pembiayaan Mudharabah Muqayyadah masih berjalan (outstanding). Sebulan kemudian, Dapenda kembali mentransfer dana ke Bank Syariah Mandiri sebesar Rp 5 miliar melalui surat No.115/DPAP II/KI/II/2004 tanggal 27 Februari 2004.

 

Enam bulan berselang, Dapenda tidak mendapatkan nisbah bagi hasil karena Sari Indo Prima dan Bank Syariah Mandiri tidak membayarkan angsuran, baik kewajiban pokok maupun margin (selisih) bagi hasil. Sejak awal proses pembiayaan, Dapenda menilai Bank Syariah Mandiri tidak transparan. Hal itu antara lain tercermin dari pembiayaan yang dilakukan lebih dulu pada Sari Indo Prima sebesar Rp 6,5 miliar pada Oktober 2003, sebelum akad dibuat. Sementara, dalam akad pembiayaan No. 108 disebutkan bahwa Sari Indo Prima tidak dalam keadaan berutang pada pihak lain.

 

Dapenda menilai, Bank Syariah Mandiri tidak melaksanakan prudential banking principles (prinsip kehati-hatian perbankan) dalam proses pengajuan dan pelaksanaan Mudharabah Muqayyadah. Selain itu, Bank Syariah Mandiri juga dinilai tidak melaksanakan kewajibannya terhadap pengikatan barang jaminan dan monitoring penggunaan dana untuk kepentingan Dapenda. Hal itu menimbulkan side streaming yang dilakukan Sari Indo Prima. Yakni dengan menggunakan dana Dapenda untuk membayar cicilan uutang pada Bank Syariah Mandiri.

 

Untuk menuntaskan sengketa itu, Dapenda telah berusaha untuk musyawarah hingga mengajukan somasi ke Bank Syariah Mandiri, namun hasilnya nihil. Padahal dana yang ditempatkan Dapenda berasal dari iuran peserta dana pensiun karyawan Angkasa Pura II. Karena itu, Daspenda menuntut Bank Syariah Mandiri memenuhi kewajibannya.

 

Dapenda kemudian membawa perkara itu ke Basyarnas. Hal itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah yang mengatur apabila terjadi perselisihan maka para pihak akan menunjuk Basyarnas untuk menyelesaikan sengketa. Setelah enam bulan bersidang di Basyarnas, para pihak tetap tidak menemukan titik temu. Karena itu, pada 21 Agustus 2008 majelis arbiter menjatuhkan putusan.

Untuk pertama kalinya Pengadilan Agama Jakarta Pusat kelimpahan perkara ekonomi syariah. Perkara itu adalah sengketa antara Dana Pensiunan Angkasa Pura II (Dapenda) dan PT Bank Syariah Mandiri. Perseteruan kedua pihak bermula dari putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) pada Agustus 2008 lalu. Namun hingga kini putusan majelis arbiter yang diketuai Fatimah A serta beranggotakan Bismar Siregar dan Hidayat Achyar, masih mandul. Pengadilan yang berlokasi di Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu akhirnya kebagian untuk mengeksekusi putusan tersebut.

 

Dalam putusan majelis arbiter, Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima dihukum untuk membayar jumlah pokok pembiayaan sebesar Rp 10 miliar kepada Dapenda secara tenggung renteng, paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan. Keduanya terbukti wanprestasi terhadap Dapenda dalam menunaikan Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah No. 108 tanggal 28 Januari 2004. Karena itu, akad tersebut juga dibatalkan. Meski dalam amar putusan dinyatakan bahwa putusan bersifat final dan mengikat, Bank Syariah Mandiri dan Sari Indo Prima tetap membandel.

 

Sekedar pengetahuan, pembiayaan mudharabah muqayyadah (bagi hasil) adalah akad kerja sama usaha antara nasabah pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah pengelola dana (mudharib), dimana pihak bank bertindak sebagai perantara pembiayaan. Pemilik dana menetapkan pelaksanaan kegiatan dengan syarat-sayarat tertentu berupa jenis usaha, tempat, waktu maupun tatacara pelaksanaannya.

 

Dapenda tak tinggal diam. Kuasa hukum Dapenda, Aad Rusyad, mengajukan permohonan eksekusi dan sita eksekusi atas putusan Basyarnas tersebut ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Masrum, masih memberi kesempatan kepada para pihak untuk berunding dan mengeksekusi putusan secara sukarela hingga Selasa (05/5) pekan depan. Ini adalah kesempatan kedua buat Bank Syariah Mandiri. Sebelumnya, pada 22 April 2009 lalu, Masrum juga memberi waktu  hingga 30 April 2008 buat Bank Syariah Mandiri agar mematuhi putusan.

 

Penundaan eksekusi hingga dua kali dilakukan dengan pertimbangan pengembangan perbankan syariah. Jika dilakukan sita eksekusi terhadap Bank Syariah Mandiri, hampi dipastikan berdampak pada perbankan syariah. Saya harapkan kesadaran dari mereka (Bank Syariah Mandiri). Masa perbankan syariah juga membandel, ujar Masrum saat ditemui di kantornya, Kamis (30/4).

Tags: