Perlukah Menghidupkan Kembali Pengadilan Adat?
Utama

Perlukah Menghidupkan Kembali Pengadilan Adat?

Berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia, sebagian besar warga Indonesia mendapatkan keadilan bukan dari gedung pengadilan. Melainkan dari mekanisme penyelesaian secara informal di komunitasnya.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Perlukah Menghidupkan Kembali Pengadilan Adat?
Hukumonline

 

Menurut Matt, ada beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat lebih memilih penyelesaian sengketa secara informal.  Peradilan non-negara lebih dipilih karena mudah diakses, cepat dan murah, kata dia. Matt memberikan contoh bagaimana kasus pembunuhan di Palangkaraya bisa diselesaikan dalam tiga minggu. Kalau lewat pengadilan negara bisa bertahun-tahun.

 

Kelebihan lain dari penyelesaian sengketa oleh lembaga non-negara, masih menurut Matt, adalah fleksibel. Maksudnya, struktur dan norma yang berlaku di sana bersifat longgar untuk menyesuaikan dengan perubahan sosial.

 

Meski memiliki kelebihan, Matt mengakui kalau penyelesaian sengketa non-negara ini juga punya beberapa kekurangan. Salah satunya adalah bias terhadap perempuan. Pasalnya, dalam beberapa sistem hukum adat, posisi perempuan masih dipandang sebelah mata. Selain itu, penyelesaian sengketa lewat mekanisme ini juga dinilai tak efektif untuk sengketa antar etnis.

 

Perlu Diformalkan?

Dalam sejarah peradilan Indonesia, peradilan adat sebenarnya pernah dikenal, terutama ketika jaman penjajahan. Untuk golongan pribumi ada landgerecht -semacam pengadilan negeri- , pengadilan kepolisian, pengadilan distrik, pengadilan swapraja dan pengadilan adat.

 

Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa dalam pidatonya pada kesempatan yang sama menyebutkan, tokoh yang paling berperan dalam pengadilan adat adalah hakim perdamaian desa. Namun dengan diberlakukannya UU Darurat No 1 Tahun 1951, pengadilan adat -termasuk di dalamnya hakim perdamaian desa- dihapuskan.

 

Namun begitu, menurut Harifin, keberadaan lembaga yang dapat menyelesaikan perselisihan kecil di antara para warga desa sesuai dengan sistem peradilan yang berkembang di negara modern yang bertujuan mewujudkan keadilan restraratif. Teori ini mengajarkan bahwa suatu konflik atau kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran hukum negara, tetapi konflik tersebut merepresentasikan terputusnya dan terpecahnya relasi antara dua atau lebih orang dalam masyarakat, demikian Harifin dalam pidato tertulisnya.

 

Lebih jauh, Harifin mengakui kalau penyelesaian sengketa secara informal lebih cepat, murah dan memuaskan pihak yang bersengketa ketimbang lewat jalur formal. Hal ini karena penyelesaian sengketa informal tak terikat oleh suatu aturan formal seperti upaya banding, kasasi bahkan peninjauan kembali seperti di pengadilan pada umumnya.

 

Ketua Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat, Lalu Mariyun di tempat yang sama bahkan sempat menyebutkan bahwa peradilan umum tak bisa menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Berbeda jauh dengan peradilan hukum adat. Ia sempat melontarkan pertanyaan apakah perlu menghidupkan lagi pengadilan adat. Tapi saya tak tahu apakah (pembentukan kembali pengadilan adat) itu sebuah kemajuan atau kemunduran?

 

Hakim Agung Valerine JL Kriekhoff, meminta supaya masyarakat tak mempertentangkan antara hukum negara (state law) dengan hukum non-negara (non-state law). Antara keduanya seharusnya bisa saling melengkapi.

 

Seolah menyambut pernyataan Valerine, Lalu Mariyun mencontohkan, jika pengadilan adat dibentuk, perlu ada pembagian kewenangan dengan pengadilan umum. Misalkan untuk tindak pidana yang ancaman hukumannya sekian bisa diselesaikan lewat pengadilan adat. Selebihnya melalui pengadilan umum. Hubungan saling melengkapi, sambung Lalu Mariyun, juga dibutuhkan pada saat eksekusi putusan pengadilan adat. Karena itu bisa menjadi masalah juga kalau tidak dipikirkan.  

Kamardi, mantan kepala desa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menuturkan kisah suksesnya menyelesaikan masalah hukum lewat mekanisme hukum adat. Semua berawal ketika di daerah tempat tinggalnya ada kasus perselingkuhan. Awalnya masyarakat membawa kasus ini aparat penegak hukum. Sayangnya, meski berlarut-larut, tak juga ditemukan penyelesaiannya. Salah satu masalahnya karena sulitnya pembuktian secara hukum.

 

Kamardi tak patah arang. Ia mengarahkan agar kasus ini diselesaikan dengan sistem hukum adat. Anjuran Ketua Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara itu terbukti manjur. Cuma beberapa kali sidang langsung bisa diputuskan. Warga yang bersalah itu dihukum membayar denda dan tak ada lagi gejolak, kata Kamardi memberikan testimoni dalam acara Peluncuran Hasil Studi Penyelesaian Sengketa Non-Negara yang diselenggarakan Bank Dunia, di Jakarta, Rabu (21/5).

 

Kisah penggunaan hukum adat dalam menyelesaikan suatu masalah juga dituturkan Fitriyanti, Direktur Limpapeh –sebuah LSM perempuan- di Padang, Sumatera Barat. Ia menyebutkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat sampai harus mengeluarkan surat edaran kepada pengadilan negeri untuk menggunakan hukum adat terhadap sengketa masalah sako (gelar) dan pusako (harta).

 

Bahkan dalam surat edaran itu disebutkan juga sengketa itu harus diselesaikan terlebih dahulu lewat musyawarah di tingkat nagari. Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang dikenal di Sumatera Barat.

 

Kelebihan dan Kekurangan

Matt Stephens, peneliti Bank Dunia mengamini pernyataan Kamardi dan Fitriyani. Berdasarkan hasil penelitiannya di NTB, Maluku, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah dan Jawa Timur, 80 persen sengketa yang ada di masyarakat mampu diselesaikan secara informal di tingkat komunitasnya. Tanpa peran pengadilan sama sekali.

Halaman Selanjutnya:
Tags: