Proses Hukum Empat BBO Sangat Terlambat
Berita

Proses Hukum Empat BBO Sangat Terlambat

Jakarta, Hukumonline. Proses hukum terhadap empat Bank Beku Operasi (BBO) dinilai sangat lambat. Proses hukum BBO yang tidak kooperatif mestinya transparan dan tidak pandang bulu.

Oleh:
APr
Bacaan 2 Menit
Proses Hukum Empat BBO Sangat Terlambat
Hukumonline
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri (PN) untuk menerbitkan somasi kepada empat BBO dan melunasi utang-utangnya kepada negara.

Empat bank yang ditutup pada 1998 dan diminta melunasi utangnya adalah Bank Pelita dan Bank Istimarat (Rp3,2 triliun), Bank Centris (Rp735 miliar), dan Bank Deka (Rp206 miliar).

Penyelesaian kewajiban pemegang saham empat BBO ini awalnya ditangani oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Namun karena mantan pemegang saham 4 BBO ini tidak kooperatif, BPPN menyerahkan masalah ini kepada Kejagung.

Penanganan proses hukum terhadap empat BBO merupakan bagian dari program letter of intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional. Namun langkah penanganan ini sebenarnya terlambat dari target paling lambat Juni 2000.

Dalam Suplemen Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan untuk LoI tangal 17 Mei 2000 disebutkan BPPN diwajibkan menuntaskan negoisasi dengan para pemegang saham yang ditutup pada 1998. Selanjutnya, BPPN diwajibkan mengambil tindakan hukum selanjutnya terhadap para pengutang yang tidak koperatif dan para mantan pemegang saham bank yang ditutup.

Oleh karena itu langkah permohonan somasi untuk pertama kali terhadap BBO juga patut dipertanyakan. Apakah ini sekadar untuk memenuhi LoI? Karena, hanya sektor perbankan lah yang belum diselesaikan pemerintah.

Masalah lain adalah apakah hanya 4 bank saja yang tidak kooperatif? Pasalnya, saat ini BPPN juga sedang merencanakan menerapkan struktur penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) terhadap 25 Bank beku kegiatan usaha (BBKU) atau BBO.

Sangat terlambat

Pengamat hukum perbankan Pradjoto menilai penanganan hukum terhadap 4 bank ini sangat terlambat. Harusnya hingga 6 bulan tidak kooperatif langsung disikat. Ini karena tingkat margin negatifnya sudah luar biasa., ujarnya kepada Hukumonline.

Namun Pradjoto mengingatkan, BPPN tidak diskriminatif terhadap BBO yang membandel. BPPN jangan punya standar ganda, sikat saja yang tidak kooperatif. Ini ‘kan mencelakakan semua orang, cetus anggota Ombudsman BPPN ini.

Pradjoto melihat, BPPN melimpahkan penanganan 4 BBO ini kepada Kejagung sebagai pengacara negara. Ada bobot untuk memberikan tekanan besar, katannya. Ia melihat proses hukum terhadap bank itu harus dilakukan karena tidak ada cara-cara lain.

Uniknya, 4 BBO itu akan diproses secara hukum perdata. Jika prosesnya secara perdata, mengapa itu tidak dilakukan oleh BPPN sendiri? Pasalnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1999 tentang BPPN, dalam Pasal 12 disebutkan dalam melaksanakan tugasnya, BPPN mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A UU Perbankan No. 10 tahun 1998.

Wewenang BPPN, seperti tercantum dalam Pasal 37 A itu, sangat luas dan dianggap super. BPPN dapat menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik yaang menjadi hak bank. BPPN juga dapat menjual atau mengalihkan kekayaan bank, direksi, komisaris, dan pemegang saham bank. Selain itu, BPPN dapat melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan menerbitkan Surat Paksa.

Asetnya dulu

Menurut Pradjoto, empat BBO itu bisa saja diproses secara pidana dan perdata. Saya menghendaki proses perdata dilakukan oleh BPPN sendiri. Sebaiknya asetnya dulu yang disita., ujarnya. Dengan wewenang yang dimilikinya, BPPN dapat melibatkan lembaga dan tokoh yang masih mempunyai dedikasi untuk mengamankan harta negara.

Namun Pradjoto khawatir jika sampai terjadi kongkalikong antara Kejagung dengan pemilik bank. Harus dihindari penyelesaian 4 BBO ini menjadi bahan perasan dari Kejagung, tegasnya. Pasalnya, bisa saja Kejagung main mata dengan pemilik bank. Apalagi di antara pemilik bank itu ada nama-nama besar seperti Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Prabowo.

Langkah Kejagung mengajukan permohonan somasi itu dimungkinkan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata. Pada Pasal 1238 KUH Perdata disebutkan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Dalam permohonan somasi itu dinyatakan, mantan komisaris dan mantan dewan direksi, dan mantan pemegang daham itu harus segera melunasi utangnya kepada negara melalui Kejagung dalam waktu 8 hari sesudah diterbikan somasi. Jika bank itu mengabaikan isi somasi, Kejagung akan mengajukan gugatan perdata kepada bank dan mereka yang bertanggung jawab pada 25 Agustus 2000.

Gugatan ini kemudian akan ditindaklanjuti dengan tindakan sita jaminan, sita eksekusi, dan lelang eksekusi terhadap aset atau harta para tergugat sampai mencukupi jumlah utang yang harus dilunasi sesuai diatur dalam Pasal 196 HIR.

Jika hasil lelang itu belum mencukupi untuk melunasi utang, gugatan perdata dapat diajukan kepada ahli waris mantan pemegang saham, mantan dewan komisaris dan mantan dewan direksi.

Pada Pasal 1100 KUH Perdata disebutkan bahwa para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-bwenban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.

Jika proses hukum benar-benar ditegakkan, bersiap-siaplah para pemilik saham, komisaris beserta ahli warisnya untuk menjual harta bendanya. Namanya juga utang, jangan ngemplang dong!
Tags: