Hakim Diminta Hati-Hati Tangani Delik Pencemaran Nama Baik
Berita

Hakim Diminta Hati-Hati Tangani Delik Pencemaran Nama Baik

Wakil Ketua MA Abdul Kadir Mappong telah menginstruksikan kepada para hakim di tingkat bawah untuk hati-hati. Pengamat menilai perkara pidana pencemaran nama baik harusnya dihentikan bila korban pencemaran sudah menang di perkara perdata.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Hakim Diminta Hati-Hati Tangani Delik Pencemaran Nama Baik
Hukumonline

 

Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga menjadi sorotan. Pasal ini yang digunakan untuk menjerat Prita Mulyasari terkait email keluhannya terhadap Rumah Sakit OMNI Internasional. Para hakim juga diminta untuk berhati-hati terhadap penggunaan pasal ini. Harus hati-hati menerapkan pasal itu. Karena itu kasus baru dalam perundang-undangan kita, ujarnya.

 

Meski begitu, Mappong belum mau berkomentar banyak terkait wacana untuk menghapuskan pasal tersebut. Namun, ia mengatakan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) akan memikirkannya. Supaya tak menyulitkan hakim dalam penerapan kasus-kasus yang demikian, tutur pria yang menjabat sebagai Ketua Umum IKAHI ini.

 

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil berpendapat ketentuan pidana penghinaan atau pencemaran nama baik seharusnya tak bisa digunakan lagi bila kerugian korban telah dipulihkan melalui jalur perdata. Harusnya penyidikan di kasus pidana dihentikan, ujarnya kepada hukumonline, Senin (8/6).

 

Arsil mencontohkan dalam kasus yang menimpa Prita. Sebelum dilaporkan ke polisi, ia sudah digugat oleh Omni lewat jalur perdata. Di perkara itu, Prita telah diputus bersalah dan harus membayar ganti rugi sebesar Rp 261 juta ke RS Omni. Hak dari korban sudah pulih dengan adanya putusan ini. Sehingga tak perlu lagi ada perkara pidana, tuturnya.

 

Menurut Arsil, kepolisian selaku penyidik dan jaksa selaku penuntut umum harus menghentikan perkara pidananya. Ia mengatakan polisi mempunyai kewenangan untuk mendamaikan para pihak. Sedangkan jaksa mempunyai kewenangan untuk mengesampingkan perkara (deponir). Karenanya ia menegaskan bila perkara perdata sudah selesai, maka pidana tak diperlukan lagi. Ini sesuai dengan prinsip pidana sebagai ultimum remedium (sanksi pidana sebagai pilihan terakhir), jelasnya. 

 

Hanya untuk Manusia

Arsil juga menyoroti kecenderungan jaksa yang memperluas pengertian korban pencemaran nama baik atau penghinaan. Ia menunjuk perkara Khoe Seng Seng dan Winny yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Keduanya, dinilai telah mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi. Mereka pun dijerat Pasal 311 KUHP yang mengatur penghinaan.

 

Arsil meminta agar hakim hati-hati dalam menangani kasus ini. Pasalnya, menurut Arsil, ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam KUHP hanya ditujukan untuk korban manusia, bukan badan hukum. Yang punya harkat dan martabat itu kan manusia, tegasnya.

 

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dijadikan rujukan. Pasal itu menyebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya. Karenanya, ia menegaskan konstitusi menyebutkan perlindungan nama baik ditujukan kepada orang, bukan badan hukum.

 

Namun, jaksa dalam kasus Khoe Seng Seng bukan tanpa dasar. Jaksa berpendapat PT Duta Pertiwi, yang berstatus badan hukum, juga bisa menjadi korban penghinaan sebagaimana diatur dalam KUHP. Jaksa menggunakan yurisprudensi MA bulan Desember 1976. Yurisprudensi itu menegaskan bahwa badan hukum bisa dicemarkan nama baiknya selama orang-orang terdekat dari badan hukum tersebut merasa keberatan. Misalnya pemilik dari badan hukum yang bersangkutan keberatan.

Himbauan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) bidang Yudisial, Abdul Kadir Mappong agar hakim di tingkat bawah hati-hati terhadap penggunaan pasal pencemaran nama baik disambut positif oleh Komite Pembela Kemerdekaan Berpendapat (KPKB).    

 

Delik penghinaan tergolong dalam pasal karet yang memungkinkan untuk digunakan sebagai senjata ampuh bagi penguasa ataupun penyedia jasa pelayanan publik untuk membungkam daya kritis masyarakat untuk melakukan kritik terhadap kebijakan negara atau pelayanan umum yang disediakan oleh para penyedia jasa pelayanan umum, sebut Koordinator KPKB, Anggara dalam siaran persnya.

 

Hal ini merupakan respon dari pernyataan Mappong, akhir pekan lalu. Mappong meminta agar hakim berhati-hati betul terhadap ketentuan pidana yang mengatur delik pencemaran nama baik. Ketentuan yang dimaksud adalah KUHP dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE).

 

Mappong mengatakan, ketentuan pencemaran nama baik dalam Pasal 310 KUHP merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Keadaannya sangat jauh sekali dengan sekarang, ujarnya. Pasal ini, lanjutnya, merupakan pasal karet yang bisa dipanjang-pendekan sesuai dengan kepentingan orang yang merasa menjadi korban.

Halaman Selanjutnya:
Tags: