Pengenaan Royalti Karya Produk Film Dinilai Memberatkan
Berita

Pengenaan Royalti Karya Produk Film Dinilai Memberatkan

Peraturan baru Dirjen Pajak menyatakan royalti karya produk film dikenakan PPh. Peraturan tersebut dinilai memberatkan para sinematografer.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Pengenaan Royalti Karya Produk Film Dinilai Memberatkan
Hukumonline

 

Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil karya sinematografi dengan perjanjian pertama dan keempat, tidak termasuk dalam pengertian royalti. Sedangkan penghasilan pemegang hak cipta dari pemberian hak cipta kepada pihak lain dengan pola perjanjian dua dan tiga, masuk dalam pengertian royalti, jelas aturan Dirjen Pajak tersebut.


Adapun jumlah royalti yang menjadi dasar pengenaan PPh adalah sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan perjanjian jenis yang kedua. Sedangkan sebesar 10 persen dari bagi hasil dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan pola bagi hasil atau jenis ketiga.


Sementara itu besarnya PPh atas royalti dimaksud adalah sebesar 15 persen dari jumlah bruto atas royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU PPh, atau sebesar 20 persen dari jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh No. 36 Tahun 2008, atau menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang terkait. Karya sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak, antara lain meliputi film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.


Dalam ketentuan itu yang dimaksud karya sinematografi yaitu dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar, atau ditayangkan di televisi atau media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi, atau perorangan.

 

Peraturan ini rupanya memberatkan pelaku usaha di dunia sinematrografi. Faozan Rizal, misalnya. Sinematografer senior ini menyatakan keberatan degan peraturan ini. Hingga saat ini duit pajak tidak jelas penggunaannya. Kalau kelihatan sih tidak masalah, ujarnya ketika dihubungi hukumonline, Kamis (11/6).

 

Menurut Faozan, selama ini film-film di Indonesia tidak bisa di print di negeri sendiri, melainkan harus ke Bangkok dan harus dilakukan berkali-kali. Kalau dikenakan pajak, bisa dibayangkan berapa yang harus kita bayar, katanya.

 

Kendati demikian, Faozan setuju mengenai paraturan yang menyebutkan para pemegang hak cipta atas karya sinematografi memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Departemen Keuangan kenakan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap royalti dari hasil karya sinematografi. Pemberlakuan PPh atas royalti dari hasil karya sinematografi itu tertuang dalam Perdirjen Pajak Nomor PER-33/PJ/2009 yang berlaku mulai 4 Juni 2009. Dalam peraturan yang berisi 4 pasal tersebut, para pemegang hak cipta atas karya sinematografi memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.


Dijelaskan dalam peraturan, pemanfaatan hasil karya sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil karya sinematografi. Ada 4 jenis perjanjian, yaitu; Pertama, dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari.


Kedua, dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil karya sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan karya sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah tertentu.

 

Ketiga, dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil karya sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop. Keempat, dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil karya sinematografi kepada pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya.

Tags: