Bantuan Hukum Probono, Jangan Hanya Sekadar Omdo
Fokus

Bantuan Hukum Probono, Jangan Hanya Sekadar Omdo

Setelah menerbitkan PP No. 83 Tahun 2008, Pemerintah membentuk Panitia Penyusunan RUU tentang Bantuan Hukum. Keinginan yang sudah tertunda lebih dari 30 tahun.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Bantuan Hukum Probono, Jangan Hanya Sekadar Omdo
Hukumonline

 

Fakir miskin menginginkan bantuan hukum yang tidak bersifat diskriminatif. Masyarakat miskin menginginkan pembelaan dalam menghadapi masalah-masalah hukum tanpa membedakan bidang hukum apa yang sedang dihadapi dan hak asasi apa yang sedang dilanggar. Ke depan, kata Frans, organisasi advokat dan LBH perlu mengedepakan bantuan hukum yang responsif.

 

Di forum yang sama, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan, Suhariyono, mengingatkan bahwa advokat harus memberikan perlakuan yang sama kepada para pencari keadilan baik yang probono maupun klien berbayar. Itu pula semangat yang dibawa PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di penghujung tahun 2008, PP No. 83 tersebut menegaskan kembali kewajiban advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada para pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomi. Organisasi advokat dan lembaga-lembaga bantuan hukum (LBH) dibebani tugas membentuk unit kerja khusus yang kelak mengurusi bantuan hukum probono kelak.

 

Tugas melayani pencari keadilan itu mengusik rasa ingin tahu Allison Moore, Program Manager Human Rights, Legal and Justice Sector Reform di badan dunia yang mengurusi program-program pembangunan, UNDP (United Nations Development Programme). Dalam sebuah diskusi di Jalan Diponegoro 74 –kantor LBH Jakarta—pada 26 Mei lalu, Allison mempertanyakan siapa sebenarnya yang dibebani kewajiban melayani bantuan hukum probono: individu si advokat atau lawfirm tempat di advokat berkantor?

 

Model pertama, kewajiban individu si advokat, dianut antara lain Amerika Serikat. Lain halnya model kedua di China, dimana beban memberikan bantuan hukum probono diserahkan ke firma hukum. Masing-masing model, kata Allison, punya kelemahan dan kekuatan. Bila model firma hukum yang dipilih, misalnya, yang diberi tugas melayani bantuan hukum probono adalah pengacara-pengacara kroco atau yang lagi belajar, sementara pengacara senior tetap lebih memilih klien yang berkantong tebal.

 

Reduksi peran Pemerintah

Model manapun yang dipilih, di mata Alexander Lay PP No. 83 Tahun 2008 terkesan mereduksi kewajiban menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat miskin hanya di pundak advokat. Pemerintah seolah lepas tangan. Padahal, kalau merujuk pada kaedah konstitusi, yang paling utama berkewajiban menjamin hak pencari keadilan yang tidak mampu adalah negara, dalam hal ini Pemerintah. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Bantuan hukum merupakan salah satu hak asasi manusia.

 

Hakim Agung Widayatno Sastrohardjono, yang hadir dalam diskusi di LBH, sempat mengungkapkan ketidaksetujuannya atas pandangan Alex. Widayatno berpendapat tidak ada aturan PP yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

 

Menurut Alex, esensi yang dia sampaikan adalah reduksi peran Pemerintah dalam pemberian bantuan hukum. Salah besar kalau ada pandangan bahwa kewajiban dan tanggung jawab atas bantuan hukum hukum probono hanya ada di pundak advokat. Pemerintah juga tidak bisa berdiam diri.

 

Menariknya, anggaran di beberapa departemen dan instansi mengenal nomenklatur bantuan hukum, lengkap dengan jumlah dananya. Di Kejaksaan Agung misalnya. Alokasi anggaran Tahun 2009 di Kejaksaan untuk Program Peningkatan Pelayanan dan Bantuan Hukum mencapai Rp5 miliar. Di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, nomenklatur sejenis juga dikenal. Di Mahkamah Agung malah ada pos anggaran untuk bantuan hukum. Tahun 2010, Mahkamah Agung sudah menganggarkan sekitar seratus miliar rupiah.

 

Agar peran Pemerintah tidak tereduksi, sejumlah kalangan mengusulkan RUU Bantuan Hukum. Tidak adil kalau hanya advokat yang dibebankan kewajiban sedangkan UUD menyebut tanggung jawab negara, kata Abdul Gani, seorang aktivis buruh.

 

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M. Zen juga mendesak agar Pemerintah segera merampungkan RUU Bantuan Hukum. Desakan Patra mulai menemui titik terang. Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta sudah membentuk Panitia Penyusunan RUU tentang Bantuan Hukum, melalui SK No. PPE.34.PP.01.02 Tahun 2009.

 

Tim beranggotakan selain dari pejabat Depkumham dan Sekretariat Negara, seperti Abdul Wahid Masru, Suhariyono, Bunyamin dan Wisnu Setiawan, juga beranggotakan antara lain Indrianto Seno Adji (Guru Besar Hukum Pidana),  Apong Herlina (Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Pekerja dan Anak), Feby Mutiara Nelson (LKBH FH UI), Sri Nurherwati (LBH Apik) dan Tabrani Abby (YLBHI).  

 

Menurut Patra, RUU ini kelak diharapkan memuat substansi minimum antara lain tentang prinsip-prinsip hak atas bantuan hukum sebagai HAM, kewajiban negara (Pemerintah) dalam pemenuhan hak atas bantuan hukum, persyaratan memperoleh bantuan hukum, penyedia dan organisasi bantuan hukum, serta mekanisme pengaduan dan pelaporan.

 

Kini, Patra dan sejumlah pihak berharap RUU Bantuan Hukum itu segera disusun dan dirampungkan. Begitu banyak pencari keadilan yang terabaikan hak-haknya di ruang penyidikan dan ruang pemeriksaan di pengadilan.

 

Kalau ingin melihat langsung potret pencari keadilan yang minim akses informasi tentang hak atas bantuan hukum, datanglah ke pengadilan di tempat Anda tinggal.

 

Pupus sudah harapan Adrianus Lusi untuk memperoleh tanah dan rumah yang ia persengketakan dengan Selfina Dethan. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) warga Kelurahan Kuanino, Kupang Selatan, Nusa Tenggara Timur itu ditolak Mahkamah Agung. Satu-satunya permohonan Adrianus yang dikabulkan majelis PK pimpinan hakim agung Artidjo Alkostar adalah terhindar dari kewajiban membayar biaya perkara.

 

Meskipun berada di pihak yang kalah, Adrianus tak harus membayar biaya perkara. Karena permohonan PK ditolak, akan tetapi pemohon PK mengajukan PK secara prodeo, maka kepada pemohon PK tidak dibebani untuk membayar biaya perkara ini, tulis majelis PK dalam pertimbangan hukumnya.

 

Dalam perkara Adrianus Lusi inilah salah satu putusan Mahkamah Agung yang bisa ditemukan menyinggung bantuan hukum (register No. 130 PK/Pdt/2000). Lantaran tidak sanggup membayar biaya perkara, sejak awal Adrianus meminta dibebaskan dari kewajiban. Adrianus merupakan salah satu potret pencari keadilan yang membutuhkan bantuan hukum secara cuma-cuma.

 

Kalau menggunakan kemiskinan sebagai ukuran, berarti tidak kurang dari 34,96 juta orang (setara dengan 15,42 % dari total penduduk Indonesia) yang berpotensi butuh bantuan hukum sejenis. Angka ini merupakan data jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2008 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Angka itu diperoleh dengan menggunakan belasan kriteria. Soal jumlah penduduk miskin ini sempat dibawa ke meja hijau oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Serikat ini menyeret Badan Pusat Statistik ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. SRMI berpendapat jumlah penduduk miskin mestinya mencapai angka 70 juta jiwa. Namun, gugatan SRMI akhirnya kandas pada 19 Februari 2009 karena majelis dipimpin Makmun Masduki itu menolak seluruh argumen penggugat.

 

Komisioner Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta sudah lama menaruh perhatian terhadap bantuan hukum probono ini. Selain mengangkatnya ke dalam kajian akademis, Frans juga menyinggung pentingnya bantuan hukum kepada kaum miskin dalam berbagai forum diskusi. Terakhir, dalam diskusi tentang Tantangan Bantuan Hukum Probono Pasca PP No. 83 Tahun 2008, di Jakarta 3 Maret lalu, Frans kembali mengaitkan bantuan hukum probono sebagai sebagai salah satu upaya mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Tags: