Pres-Wapres Baru: Mau?
Tajuk

Pres-Wapres Baru: Mau?

Political election everywhere in the globe serves one purpose, electing the candidate who has successfully created an image most-wanted or liked by the public.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Pres-Wapres Baru: Mau?
Hukumonline

 

Salahkah itu? Saya kira tidak juga. Tergantung sekarang bagaimana pilihan kita akan masa depan bangsa ini. Apakah kita akan memilih jalan kapitalis murni yang banyak menuai kegagalan juga? Ataukah kita memilih jalan sosialis murni yang sudah hampir lenyap dari muka bumi? Atau kita memilih sosialisme barat yang pernah diterapkan Jerman dan Perancis? Atau bagaimana kalau kita seperti China yang hidup dalam dua sistem tetapi sekaligus memetik banyak bukti-bukti keajaiban ekonomi? Ataukah kita mau tetap seperti sekarang, kebijakan besar  sosialistis, tetapi penerapan lapangan dengan sistem ekonomi terbuka, sedangkan korupsi masih meraja lela? Ataukah ada alternatif sistem yang lain?

 

Jelaskah apa yang ditawarkan oleh para kandidat Presiden/Wakil Presiden dalam kampanye mereka kini? Saya kira tidak. Perdebatan neo-liberal dan sistem kerakyatan adalah suatu kesia-siaan dan tidak akan membuat kita semua menjadi pintar dan terhindar dari dampak krisis yang dahsyat. Saya tidak yakin bahwa SBY-Boediono akan membawa kita semakin condong pada sistem ekonomi pasar dan lebih pro kapitalis, apalagi mengetahui jejak rekam Boediono dalam sejumlah pemerintahan dengan program-program populisnya. Saya tidak yakin Prabowo dapat membawa kita kepada keberhasilan ekonomi kerakyatan, kalaupun itu sekarang masih relevan, dan bukan hanya retorika pemilu sesaat. Megapun sebagai Presiden dulu dikelilingi oleh banyak Menteri yang dicap sebagai pembela pasar, privatisasi dan investasi asing. Saya juga tidak yakin JK dan Wiranto punya konsep ekonomi yang jelas, sepertinya JK sebagaimana umumnya pedagang, akan sangat pragmatis menghadapi situasi dan kondisi perekonomian kita di tengah krisis.

 

Buat saya, yang paling penting sekarang, rakyat harus bisa membedakan dengan jelas siapa calon pemimpin mereka yang jujur dan punya integritas tinggi, mampu bekerja keras tanpa perlu tidur siang, tidak pernah dan kira-kira tidak akan korupsi, tidak pernah dan kira-kira tidak akan menindas bangsanya sendiri, tidak mencampuradukkan bisnis keluarga dengan perannya sebagai pejabat publik, mampu berkomunikasi dan merasakan penderitaan rakyat, mampu meningkatkan pamor bangsa di mata dunia, mampu memperkuat dan menyederhanakan birokrasi, mampu memberantas KKN, mampu menggerakkan ekonomi di segala tingkatan, mampu menerima perbedaan, dan mampu mendewasakan demokrasi kita, serta akhirnya mampu menjaga momentum reformasi dan perubahan mendasar sehingga dalam lima tahun ke depan kita sudah bisa melakukan lompatan ke depan dalam segala bidang.

 

Kalau ada pemimpin seperti itu sekarang ini, maka dia layak dipilih. Kalau tidak ada, maka ia yang mendekati saja kemampuan-kemampuan itu juga masih layak dipilih, dengan satu tugas saja, membuat legacy untuk mengkondisikan kita selama lima tahun ke depan untuk mulai menjadi bangsa yang secara dewasa bisa berdemokrasi, mulai sejahtera, dan tetap menjadikan kita satu kesatuan keluarga besar yang rukun dan bisa berlapang dada.

 

Ats

Juni 2009

Selera publik pastinya kerap bergeser dari suatu citra ke citra lainnya yang mendekati selera sesaat publik pada waktu pemilihan terjadi. Tidak heran bahwa Ronald Reagan pernah menjadi Presiden AS. Joseph Estrada pernah menjadi Presiden Filipina. Arnold Schwarzenegger sekarang menjadi Gubernur California, dan Clint Eastwood pernah menjadi walikota suatu kota kecil di pantai barat Amerika. Sudah pasti kalau dengan menggunakan akal sehat warga Amerika dan Filipina tidak akan terpikir untuk memilih mereka karena kemampuan para kandidat mereka memimpin negara, negara bagian atau kota, tetapi lebih karena kandidat yang mereka pilih hadir dalam mimpi-mimpi mereka yang menghadirkan kehebatan, kejawaraan dan kejantanan bintang-bintang pujaan mereka di layar perak.

 

Banyak pihak mengatakan bahwa Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden �hampir mengalahkan Gus Dur sebagai Presiden � karena selera publik Indonesia pada waktu itu yang memihak kepada pencitraan Mega yang ditindas oleh penguasa dzolim. Kita bangsa yang mudah terharu dan meneteskan air mata melihat penderitaan orang lain. Begitu juga, SBY kata orang terpilih sebagai Presiden karena ia didzolimi oleh Mega atau orang-orang dekatnya karena dianggap mbalelo di ujung pemerintahan Mega.

 

Belajar dari rekam pengalaman itu, para penyiasat pemilihan politik merancang pencitraan yang hebat bagi para kandidat yang diusungnya, dan sekaligus merancang pencitraan terburuk bagi lawan-lawan kandidat mereka untuk melemahkan dan kalau bisa menghancurkan kesempatan kandidat lawan. Ditengah krisis ekonomi global yang melanda kita juga saat ini, pilihan issue para juru kampanye mau tidak mau membawa mereka ke issue ekonomi dan lebih tepatnya bagaimana keluar atau tidak terimbas secara hebat dari krisis ekonomi global. Issue tentang pelanggaran HAM tiba-tiba menjadi melemah, dan hanya dibawakan oleh sekelompok kecil keluarga korban dan para aktivis HAM. Padahal di negara lain, issue pelanggaran HAM bisa menjadi issue sentral dalam kampanye pemilihan politik.

 

Tiba-tiba kita mempersoalkan pilihan ekonomi neoliberal atau ekonomi kerakyatan. Terus terang, pertama saya tidak mengerti apa pengertian yang lugas dari kedua istilah itu. Kedua, saya juga tidak pernah mengerti mengapa kedua aliran ideologi ekonomi itu, kalau memang benar ada,  patut dipertentangkan. Sejak zaman Adam Smith dan Karl Marx, garis-garis besar ekonomi pasar dan ekonomi populis sudah ada. Di sejumlah negara, sistim ekonomi yang condong kepada mekanisme pasar secara konsisten  habis-habisan tidak percaya pada ekonomi yang ketat dibawah regulasi pemerintah. Di sejumlah negara lain, kebanyakan negara sosialis, yang kini sudah banyak mati, menganggap ekonomi pasar adalah suatu tindak kriminal. Tetapi kebanyakan, mereka disatu pihak membuka pasar, tetapi di pihak lain membuat kebijakan yang cukup populis juga untuk kegiatan ekonomi tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu. Di negara dengan ekonomi terbuka banyak terjadi kemiskinan, kentara atau tidak. Di negara dimana campur tangan pemerintah di bidang ekonomi begitu tinggi, banyak juga orang kaya. China dan Rusia memberikan gambaran fenomenal mengenai penerapan ekonomi pasar sekaligus campur tangan yang besar pemerintah di bidang kebijakan ekonomi. Bahkan di Amerika sekalipun, embahnya liberalisme dan ekonomi pasar, banyak kebijakan yang membela masyarakat kebanyakan. Jaminan sosial dan kesehatan, akses pendanaan untuk petani dan pengusaha kecil, insentif kepada koperasi, proteksi kepada para petani dan nelayan, pinjaman murah pendidikan untuk mahasiwa,  termasuk makan gratis untuk orang miskin.

 

Mari kita tengok sebentar kondisi kita di Indonesia sekarang ini. Konstitusi kita, UUD'45 yang telah beberapa kali diamandemen, jelas menggarisbawahi kebijakan ekonomi yanag memihak kepada masyarakat banyak. Kalau mau lebih tegas lagi, Konstitusi kita sangat sosialistis. Tengok juga beberapa produk hukum di bawah Konstitusi. UU Pokok Agraria, UU Koperasi, UU Jamsostek, dan puluhan Undang-Undang lain memperlihatkan konsistensi pada garis-garis besar Konstitusi yang berbau sosialistis. Tetapi ingat bahwa Soekarno pula yang pertama kali menandatangani UU Penanaman Modal Asing (1967). Setelah itu, sistim ekonomi di bawah para sindikat Berkeley mengarah pada usaha pensejajaran Indonesia, setidaknya dengan memperhatikan kebijakan ekonominya, dengan negara-negara dengan sistim ekonomi terbuka. Undang-undang investasi, undang-undang pasar modal, undang-undang hak atas kekayaan intelektual, undang-undang perseroan terbatas, undang-undang persaingan usaha, undang-undang kepailitan, undang-undang minyak dan gas bumi, undang-undang pertambangan, undang-undang kehutanan, dan banyak lagi lainnya jelas secara sadar membawa kita ke sistim ekonomi terbuka. Begitu terbukanya, sehingga kita bangga bahwa kita disejajarkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan dalam kebijakan ekonomi kita menuai pujian-pujian pemerintah dan lembaga-lembaga (donor) asing.

Halaman Selanjutnya:
Tags: