Kejar Target, Perebutan Sektor, dan Formalitas Belaka
Fokus

Kejar Target, Perebutan Sektor, dan Formalitas Belaka

DPR periode 2004-2009 meninggalkan banyak ‘pekerjaan rumah' kepada para suksesor mereka.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
Kejar Target, Perebutan Sektor, dan Formalitas Belaka
Hukumonline

 

Di awal periode jabatan DPR 2004-2009, terdapat 284 RUU di daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sejauh ini DPR berhasil merampungkan sekitar 170 RUU. Hitungan matematika sederhana, pencapaian legislasi DPR mencapai 60 persen, jika merujuk jumlah RUU dalam Prolegnas. Namun, penelusuran PSHK menunjukkan sebagian dari 170 RUU itu ternyata bukan berasal dari Prolegnas.

 

Fakta ‘menarik' lainnya adalah sekitar 81 dari 284 RUU Prolegnas merupakan usul inisiatif DPR, sekitar setengahnya telah disahkan di Rapat Paripurna DPR. Namun, sebagian materi RUU yang diprakarsai DPR ‘hanya' menyangkut pemekaran wilayah. 50 persen lebih RUU inisiatif dewan yang telah disahkan masih bersifat transaksional (berdasarkan pesanan), kata Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

 

Kegigihan DPR mengajukan RUU usul inisiatif semakin menjadi-jadi menjelang akhir masa tugas mereka. PSHK mencatat terjadi peningkatan sekitar 16 RUU usul inisiatif DPR tahun 2009, dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 10 RUU.

 

Jumlah Legislasi Dihasilkan Setiap Tahun (2005-2008)

Tahun

Program Legislasi Tahunan

Capaian Tahunan

2005

55 RUU

14 UU

2006

43 RUU baru

33 RUU luncuran 2005

Total = 76 RUU

49 UU

2007

30 RUU baru

48 RUU luncuran 2006

Total = 78 RUU

40 UU

2008

31 RUU baru

50 RUU luncuran 2007

Total = 81 RUU

62 UU

Sumber: Data PSHK, Maret 2009

 

Kuantitas tidak sebanding kualitas

Berdasarkan data PSHK (lihat tabel), pencapaian tertinggi fungsi legislasi DPR terjadi pada tahun 2008. Namun, ‘prestasi' tahun 2008 bukan semata berkat kerja keras DPR. Karena dari 62 RUU, sebagian di antaranya merupakan jenis RUU yang hanya membutuhkan pembahasan secara sederhana, yaitu 27 RUU tentang pemekaran wilayah, tiga RUU untuk pengesahan perjanjian internasional, empat RUU yang menetapkan perpu menjadi undang-undang, serta dua RUU terkait perubahan maupun pengesahan APBN. Dengan demikian, hanya kurang dari 50 persen atau 26 RUU yang dihasilkan melalui mekanisme pembahasan normal.

 

Secara umum, PSHK menilai kualitas kinerja legislasi DPR masih jalan di tempat. Peningkatan sarana pendukung bagi para anggota dewan ternyata belum berbanding lurus dengan kinerja legislasi DPR. Selain itu, DPR melalui fungsi legislasi dinilai juga belum menunjukkan upaya optimal dalam menyejahterakan rakyat. Indikatornya adalah jumlah RUU di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat, masih minim.

 

Di sisi lain, apresiasi layak diberikan kepada DPR yang berhasil menuntaskan beberapa agenda RUU penting. Misalnya, paket RUU bidang politik yang mendesak dibutuhkan untuk kepentingan hajatan lima tahunan, pemilihan umum. Beberapa RUU terkait reformasi kelembagaan negara juga telah disahkan seperti RUU Pemerintahan Daerah, RUU Ombudsman, serta RUU Kementerian Negara. Terlepas dari kontroversi yang mengiringinya, DPR juga berhasil merampungkan RUU Mahkamah Agung (MA) yang membawa era baru hubungan MA dan Komisi Yudisial.

 

Di luar itu, DPR masih menyisakan pekerjaan rumah beberapa RUU penting. Sebut saja, RUU Pengadilan Tipikor. RUU ini menjadi penting tidak hanya karena materi RUU-nya, tetapi juga karena Putusan MK menetapkan tenggat waktu Desember 2009. Sebagian kalangan khawatir tenggat waktu itu terlewat. Akibatnya, eksistensi Pengadilan Tipikor pun terancam tamat yang tentunya menjadi kabar gembira bagi penilep uang negara (koruptor).

 

RUU penting lainnya adalah RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (RUU Susduk). Tidak seperti RUU bidang politik yang terlebih dahulu disahkan, RUU Susduk tidak terkait langsung dengan penyelenggaraan pemilu. Seperti namanya, RUU ini mengatur tentang susunan dan kedudukan para anggota dewan. Selain itu, RUU ini juga akan mengatur tata hubungan antara MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Khusus untuk DPD, RUU ini menjadi asa terakhir untuk menajamkan taji mereka, setelah upaya melalui amandemen UUD 1945 kandas.

 

Ketua DPR Agung Laksono pernah menyampaikan janji ‘muluk' bahwa dua RUU penting ini pasti akan rampung sebelum anggota DPR di bawah kepemimpinannya habis masa jabatan. Namun, janji itu diragukan akan terpenuhi mengingat kesibukan para anggota dewan dalam perhelatan pemilu 2009 ini. Terbukti, pembahasan RUU Pengadilan Tipikor yang diajukan pemerintah sejak Agustus 2008 baru memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM).

 

Optimalkan pengawasan anggaran

Terkait fungsi anggaran, internal DPR sendiri mengakui bahwa fungsi ini memang belum berjalan secara optimal. Ketua Tim Peningkatan Kinerja DPR Darul Siska berpendapat proses penyusunan anggaran pendapatan belanja negara (APBN) di DPR sejauh ini belum dapat mensinergikan kepentingan DPR dengan pemerintah. Salah satu penyebabnya, menurut Darul, karena belum diberi kewenangan untuk menyusun APBN tandingan.

 

Selain itu, penyusunan anggaran DPR juga belum sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Yang terjadi dalam pembahasan justru sarat dengan perebutan sektor. Perebutan sektor masih sering terjadi, ini tergantung siapa yang kuat lobinya di Panggar (panitia anggaran), kecuali pendidikan. Karena setiap daerah bukan diprioritaskan mana yang lebih penting, dan ini yang menyebabkan prioritas pembangunan tidak berjalan dengan baik, kata politisi dari Partai Golkar ini.

 

Di luar persoalan teknis yang dikemukakan Darul, fungsi anggaran DPR belakangan juga mendapat sorotan publik, karena kentalnya praktek korupsi. Beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK berkaitan dengan proses penyusunan anggaran di DPR. Misalnya kasus pengadaan tanah pada proyek peningkatan kelembagaan dan sarana BAPETEN. Atau yang teranyar kasus dana stimulus Departemen Perhubungan terkait proyek pembangunan dermaga dengan terdakwa Abdul Hadi Djamal, Anggota DPR dari Fraksi PAN.

 

Mencuatnya sejumlah kasus korupsi dalam proses penyusunan anggaran telah membuktikan bahwa fungsi anggaran yang dimiliki DPR belum memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas. Rapat-rapat pembahasan anggaran misalnya, kerap dilakukan secara tertutup. Terkadang, rapat juga berlangsung secara informal di luar gedung parlemen.

 

Masalahnya, ‘kekuasaan' DPR di bidang anggaran sangat luas yakni meliputi formulasi anggaran (ex ante), mengawasi saat pelaksanaan hingga usai pelaksanaan (ex post). Sayang, kewenangan yang begitu besar tidak hanya minim akuntabilitas, tetapi juga kapabilitas SDM-nya, khususnya mereka yang duduk di panitia anggaran.

 

Untuk menutupi kekurangan kapabilitas ini, Anggota DPR Eva K Sundari sebagaimana dilansir situs Koran Tempo tanggal 22 Februari 2008, mengusulkan pembentukan Legislative Budget Office (LBO). Kedudukan LBO sebagai sistem pendukung yang independen dan permanen terdiri dari para ekonom. LBO nantinya akan menyuplai data-data pembanding sebagai bahan penyusunan anggaran. Dengan adanya LBO, kata Eva, maka DPR tidak semata ‘mengorek' angka-angka yang disodorkan pemerintah.

 

Selaku Wakil Ketua Tim Peningkatan Kinerja DPR, Eva mengatakan ide pembentukan LBO telah diakomodir dalam cetak biru yang tengah disusun. Di luar itu, Tim Peningkatan Kinerja juga mencanangkan program capacity building untuk anggota panitia anggaran dan para staf sekretariat jenderal. Menurut Eva, kedua upaya perbaikan kinerja keuangan DPR baik ke dalam oleh BURT maupun ke luar oleh Panitia Anggaran harus dilaksanakan secara simultan.

 

Sementara itu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan fungsi anggaran yang dimiliki DPR juga merevitalisasi peran pengawasan. Menurut, laporan keuangan pemerintah yang selalu dinyatakan disclaimer perlu ditindaklanjuti. DPR harus menelusuri apa penyebab keuangan pemerintah selalu disclaimer, karena ada penyimpangan atau kesalahan administrasi belaka.

 

Efektivitas penggunaan hak

Fungsi berikutnya, pengawasan adalah fungsi yang kerap menyita perhatian publik. Dalam menjalankan fungsi yang satu ini, DPR dibekali dengan sejumlah hak seperti hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat dan hak mengajukan pertanyaan. Sepanjang 2004-2009, DPR cenderung ‘obral' menggunakan hak-hak pengawasan mereka.

 

Dalam sejarah keparlemenan Indonesia, dewan periode sekarang paling banyak menggunakan haknya, ujar Sebastian Salang. Berdasarkan penelusuran hukumonline, DPR tercatat menggunakan haknya sebanyak 22 kali, 50 persen diantaranya adalah penggunaan hak interpelasi.

 

Sayang, ‘hobi' DPR menggunakan haknya dalam rangka pengawasan terhadap pemerintah, terkesan hanya gagah-gagahan. Misalnya, ketika penggunaan hak angket atas kasus lelang gula ilegal yang diajukan 15 Maret 2005. Ketika itu, usulan penggunaan hak angket telah ditandatangani 16 anggota dewan. Namun, usulan ini kandas karena dalam Rapat Paripurna DPR 31 Mei 2005, mayoritas fraksi menolak.

 

Sebastian mengatakan di satu sisi penggunaan hak-hak yang dimiliki cukup produktif. Namun, di sisi lain, efektifitasnya tidak ada. Ia juga melihat penggunaan hak DPR rentan disusupi transaksi sesama anggota dewan. Dan ini paling berbahaya, tegasnya.

 

Dalam buku Mengais Harapan di Ujung Pengabdian, PSHK menyatakan penggunaan hak DPR selama ini masih terkesan hanya gagah-gagahan dan formalitas belaka. PSHK juga menilai penggunaan hak DPR tidak jelas arah dan akhirnya serta minim pertanggungjawaban politis. Seharusnya, menurut PSHK, akhir atau output dari suatu hak yang digunakan DPR jelas dan diinformasikan ke publik.

 

Sebagai langkah perbaikan, PSHK mendesak segera dilakukan reformasi total penggunaan hak-hak yang dimiliki oleh DPR. Jika berhasil direformasi, maka fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah sebagai bagian dari mekanisme checks and balances pun akan berjalan lebih efektif.  

 

Dalam sebuah acara diskusi, Anggota DPR Hajriyanto Y. Thohari mengatakan kunci perbaikan fungsi pengawasan DPR melalui perubahan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Kesan gagah-gagahan yang selama ini muncul ketika DPR menggunakan haknya, menurut Hajriyanto, terjadi karena pengaturan yang tidak jelas dan tegas.

 

UU Susduk yang lama, UU No. 22 Tahun 2003, bahkan banyak melempar pengaturan ketiga hak ini ke Tata Tertib DPR. Padahal, Tata Tertib berada di luar peraturan perundang-undangan Indonesia. Aturan-aturan di Tata Tertib akan kita angkat ke level undang-undang, tandasnya. Hajriyanto sadar, memindahkan banyak ketentuan dari Tata Tertib tentunya akan berimpilikasi UU Susduk baru akan lebih gemuk dibanding yang lama.  

 

Pengaturan yang minim dan tidak jelas pada akhirnya juga menjadikan fungsi pengawasan DPR tumpul. Setiap ada wacana hak interpelasi atau hak angket, publik dijejali dengan perdebatan prosedural yang tidak produktif. Ketika mempertanyakan sikap pemerintah terhadap resolusi Iran, misalnya, kalangan DPR justru meributkan kehadiran presiden ketimbang substansi.

 

Pansus RUU Susduk tengah meramu beragam cara agar penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat efektif. Salah satu caranya, dengan mempersingkat prosedur pengajuan hak. Pemangkasan bertujuan agar penggunaan hak tersebut tidak berlarut-larut sehingga menutup potensi ‘permainan'.

 

Paparan di atas menunjukkan bahwa DPR periode 2004-2009 ternyata meninggalkan banyak ‘pekerjaan rumah' kepada para suksesor mereka. Pasalnya, tiga fungsi yang dimandatkan oleh UUD 1945 sejauh ini belum menampakan hasil yang maksimal. ‘Pekerjaan rumah' ini seharusnya dijadikan tantangan bagi DPR baru untuk membuktikan kepada publik bahwa mereka serius bekerja demi rakyat. Kinerja yang sama saja atau bahkan lebih buruk dari pendahulunya, akan semakin ‘menjerumuskan' citra parlemen.

 

Jadi, kita nanti apa yang akan dilakukan para anggota dewan 2009-2014. Lebih baik atau lebih buruk? Publik yang akan menilai.

Tinggal hitungan bulan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009 akan berakhir. 30 September 2009 nanti, anggota lama akan tutup buku lalu diganti anggota baru yang resminya akan mulai bertugas Oktober 2009. Sebagian dari muka lama yang terpilih kembali, hanya akan mengganti label periode masa jabatan menjadi anggota DPR 2009-2014.

 

Sebelum periode berganti, menarik untuk mengkaji seberapa baguskah rapor kinerja DPR periode 2004-2009? Tolak ukurnya adalah tiga fungsi DPR yang diamanatkan Konstitusi. Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 menyatakan DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

 

Fungsi legislasi adalah fungsi DPR yang dijalankan bersama-sama dengan pemerintah. Bersama-sama di sini artinya mulai dari pengajuan, pembahasan, hingga persetujuan, DPR tidak bisa tidak harus melibatkan pemerintah. Walaupun naskah RUU disahkan melalui rapat paripurna, namun kewenangan pengundangan secara resmi tetap berada di tangan pemerintah dengan cara presiden membubuhkan tanda tangan sekaligus pemberian nomor.

Halaman Selanjutnya:
Tags: