Komitmen Pemerintah Mereformasi Peradilan Militer Dipertanyakan
RUU Peradilan Militer:

Komitmen Pemerintah Mereformasi Peradilan Militer Dipertanyakan

Ada dua isu krusial yang masih alot dibahas yaitu keterlibatan polisi militer dalam penyidikan tindak pidana umum dan penghapusan pengadilan koneksitas.

Oleh:
Fat/Rzk
Bacaan 2 Menit
Komitmen Pemerintah Mereformasi Peradilan Militer Dipertanyakan
Hukumonline

 

Terlepas dari segala kelemahan substansi, Imparsial berharap pembahasan RUU Peradilan Militer segera dirampungkan sebelum masa jabatan DPR habis. Bharata menekankan bahwa pembahasan RUU harus konsisten merujuk pada Konstitusi dan rule of law. Reformasi peradilan militer kata Bharata, adalah pertarungan serta ujian bagi reformasi sektor keamanan di Indonesia.

 

RUU ini haruslah diselesaikan sesegera mungkin, mengingat batas waktu kerja DPR periode 2004-2009 adalah 30 September 2009. Selain itu dalam pembahasan rancangan legislasi, DPR telah mengadopsi prinsip non-carry over, (tidak melimpahkan RUU kepada DPR periode berikutnya), ujar Bharata.

 

Kendala teknis

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Peradilan Militer, Azlaini Agus mengakui pembahasan di DPR memang mengalami sejumlah kendala. Dari segi teknis, Pansus kesulitan mengundang pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan, karena saat bersamaan juga sedang ‘dikebut' pembahasan RUU Rahasia Negara. Akibatnya, pembahasan yang seharusnya sudah bisa masuk ke tingkat Panitia Khusus (Pansus) pun tertunda.

 

Berdasarkan Tatib (Tata Tertib DPR), Pansus tidak bisa diwakili. Harus level menteri langsung, Azlaini menjelaskan. Ia berharap pasca masa reses yang bertepatan dengan ajang pemilihan presiden dan wakil presiden, sikap pemerintah menjadi lebih jelas. Seperti kalangan LSM, Azlaini sebenarnya juga mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mereformasi peradilan militer.

 

Namun begitu, Azlaini tetap optimis sekaligus berharap RUU Peradilan Militer rampung paling lambat September 2009. Kalaupun kesepakatan atas sejumlah isu krusial tidak bisa diraih, RUU tetap bisa ‘dipaksakan' untuk dibawa ke rapat paripurna. Dengan kata lain, kita kembalikan ke rakyat saja, tukasnya.

 

Isu-isu krusial yang disinggung Imparsial, menurut Azlaini, memang belum diputuskan. Perdebatan seputar keterlibatan polisi militer, misalnya, pada akhirnya diserahkan kepada fraksi. Azlaini menegaskan sikap fraksinya, Fraksi Partai Amanat Nasional, setuju pada usulan masa transisi perubahan yurisdiksi peradilan militer.

 

Lima tahun masa transisi, saya pikir masuk akal untuk menata perangkat hukum yang diperlukan, seperti hukum acara peradilan militer, KUHP militer, serta sarana pendukung lainnya, kata Azlaini.

 

Masa transisi ini sempat diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat rapat konsultasi dengan pimpinan DPR. Hanya saja, Presiden SBY tidak definitif menyebut berapa lama masa transisinya. Opsi lain yang ditawarkan Presiden SBY adalah mempersilahkan polisi militer terlibat penyidikan tindak pidana umum, tetapi di bawah pengawas sebuah lembaga pengawas khusus.

 

Itu jelas penyimpangan terhadap KUHAP dan UU Mahkamah Agung, perlu lembaga pengawas apalagi kan sudah ada Komisi Yudisial dan unit pengawasan Mahkamah Agung, ujar Azlaini menegaskan ketidaksetujuannya terhadap opsi kedua yang diusulkan Presiden SBY.

RUU Peradilan Militer salah satu pekerjaan rumah bidang legislasi yang harus diselesaikan DPR periode 2004-2009, sebelum mereka habis masa jabatan. Dalam jumpa pers di Jakarta (1/6), Koordinator Riset HAM Imparsial Bhatara Ibnu Reza menegaskan bahwa RUU Peradilan Militer merupakan salah satu syarat terciptanya good governance di sektor keamanan.

 

Sayang, berdasarkan pemantauan Imparsial bersama LSM bidang HAM lainnya, sejumlah substansi RUU masih perlu diperbaiki. Bhatara menenggarai kelemahan substansi RUU terjadi karena ada upaya pemerintah melalui Departemen Pertahanan menghalangi reformasi peradilan militer. Ganjalan yang sengaja dilakukan oleh pemerintah, tudingnya. Masalahnya, upaya penghalangan yang sama juga dilakukan oleh pihak TNI.

 

Bhatara menyayangkan upaya pemerintah menghalangi perbaikan sistem peradilan militer, padahal selama ini terbukti peradilan militer hanya menjadi sarana impunitas bagi kalangan militer. Selain itu, kata Bharata, upaya pemerintah tidak hanya berpengaruh pada reformasi sektor keamanan saja tetapi merendahkan kewenangan kekuasaan kehakiman yang pada dasarnya termasuk dalam kekuasaan sipil.

 

Upaya penghalangan pemerintah tergambar pada berlarut-larutnya pembahasan dua isu krusial, yakni keterlibatan polisi militer dalam penyidikan tindak pidana umum dan mekanisme pelaksanaan putusan. Bharata berpendapat keterlibatan polisi militer akan merusak sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system) KUHAP.

 

Sementara, Peneliti Imparsial Al Araf meminta ketentuan mengenai pengadilan koneksitas dihapuskan. Menurut Al Araf, keberadaan pengadilan koneksitas membingungkan pihak yang berperkara. Maka itu, sebelum RUU ini disahkan kami minta agar substansi pasal terkait pengadilan koneksitas dihapuskan, ujarnya.

Tags: