Mahkamah Agung Tak Sembarangan Kabulkan PK oleh Jaksa
Utama

Mahkamah Agung Tak Sembarangan Kabulkan PK oleh Jaksa

Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan prinsipnya peninjauan kembali oleh jaksa memang tidak dibolehkan. Kecuali jaksa bisa membuktikan dan meyakinkan hakim agung ada kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Agung Tak Sembarangan Kabulkan PK oleh Jaksa
Hukumonline

Polemik seputar peninjauan kembali oleh jaksa memang kembali menyeruak baru-baru ini. Isu ini kembali mencuat setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan PK yang diajukan oleh jaksa untuk perkara Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin. Pro kontra pun terjadi. Sejumlah pakar hukum bahkan menilai diterimanya PK oleh jaksa dapat merusak tatanan hukum Indonesia. 

 

MA juga sempat dinilai tak konsisten. Dalam perkara lain, MA pernah menolak PK oleh jaksa dengan alasan PK memang hak terpidana atau ahli warisnya. Pada prinsipnya, MA berpendapat bahwa PK oleh jaksa tidak dapat diterima, ujar Ketua MA Harifin Tumpa di ruang kerjanya, Jumat (3/7).

 

Namun, lanjut Harifin, prinsip tersebut bisa disimpangi. Kecuali jaksa dapat membuktikan dan meyakinkan hakim agung bahwa ada kepentingan umum dan ada kepentingan negara yang lebih besar yang harus dilindungi, jelasnya. Karenanya, MA tak sembarangan mengabulkan PK yang diajukan jaksa. Dua syarat, adanya kepentingan umum dan kepentingan negara, harus benar-benar terpenuhi. 

 

Jadi jangan dibolak-balik, tidak semua PK oleh jaksa bisa diterima. Itu hanya pengecualian, pinta Harifin.

 

Harifin menyamakan kasus PK oleh jaksa ini dengan putusan bebas yang dapat dikasasi. Prinsipnya, MA berpendapat putusan bebas tak dapat dikasasi, ujarnya. Namun, dalam perkembangannya, terdapat yurisprudensi yang berbicara hal ini. Yurisprudensi menyatakan terhadap vonis bebas apabila jaksa bisa membuktikan bahwa itu bukan putusan bebas murni maka kasasi bisa diterima. 

 

Sekedar mengingatkan, advokat senior M Assegaf merupakan salah seorang yang kerap mengkritik PK oleh jaksa ini. Betapa tidak, dua kliennya dalam perkara berbeda, Pollycarpus dan Syahril Sabirin harus masuk bui karena PK oleh jaksa.

 

Assegaf bahkan sempat menunjuk nama Hakim Agung Djoko Sarwoko yang dianggap tak konsisten terhadap masalah PK oleh jaksa ini. Djoko Sarwoko yang pernah menjadi Ketua Majelis Hakim PK dalam kasus Pollycarpus dan Syahril Sabirin ini, pernah menolak PK yang diajukan jaksa. Ini tertuang dalam putusan No.84 PK/Pid/2006 atas nama terpidana H Mulyar Bin Samsi.

 

Dalam putusan itu, Djoko Sarwoko bertindak sebagai anggota majelis. Pada bagian pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah mengatur secara tegas dan limitatif bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya.  

 

Harifin menolak bila koleganya disebut tak konsisten. Justru Pak Djoko sudah konsisten, ujarnya. Ia menegaskan secara prinsip PK oleh jaksa memang tidak bisa dibenarkan. Namun, lanjutnya, Djoko bisa menerjemahkan permohonan PK oleh jaksa yang sesuai dengan kepentingan umum dan kepentingan negara.

 

Menurut Harifin, MA tak akan sembarangan mengabulkan PK oleh jaksa. Ia mencontohkan kasus Pollycarpus, terpidana pembunuh aktivis HAM Munir. Disitu kan menyangkut sorotan tentang HAM, ujarnya.

 

Kedua, perkara Djoko Tjandra menyangkut kepentingan negara. Disana ada uang negara, tuturnya. Dengan dikabulkannya PK ini, lanjutnya, berarti jaksa telah berhasil meyakinkan hakim agung bahwa ada kepentingan umum dan kepentingan negara dalam kasus yang ditanganinya.

 

Isu PK oleh jaksa memang tak berhenti sampai di sini. Persoalan selanjutnya, bila PK oleh jaksa itu dikabulkan. Apakah hak terpidana akan gugur untuk mengajukan PK? Pasalnya, UU menyebutkan bahwa PK hanya bisa diajukan sekali. MA juga baru saja mengeluarkan Surat Edaran MA No. 10 Tahun 2009. Isinya, PK memang hanya boleh diajukan sekali dengan pengecualian.   

Harifin menegaskan PK memang hanya boleh diajukan sekali. Namun, ia menyadari kadang-kadang pengadilan negeri sulit untuk menghindar apabila ada permohonan PK. Kalau ditolak dianggap menghalangi hak seseorang, ujarnya. Karenanya, Harifin mempersilahkan pemeriksaan itu tetap berjalan dengan mengirim permohonan PK itu ke MA. Nanti kita akan mengambil sikap di MA, pungkasnya.

Tags: