Direktur Utama Tuntut Pesangon di Pengadilan Negeri
Utama

Direktur Utama Tuntut Pesangon di Pengadilan Negeri

Lantaran dianggap bukan pekerja yang tunduk dengan UU Ketenagakerjaan, majelis hakim menyatakan Pengadilan Negeri Bekasi tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara ini.

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
Direktur Utama Tuntut Pesangon di Pengadilan Negeri
Hukumonline

 

Perbuatan tergugat I, II, dan III menurut Syahruddin tidak sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) akta No. 1 tanggal 1 Agustus 2008 tentang pengangkatan Syahruddin sebagai Dirut. Memang, dalam Pasal 15 ayat (1), Dewan Komisaris diberi kewenangan untuk memeriksa pembukuan, surat, keadaan uang kas, maupun mengetahui segala tindakan yang dijalankan direksi.

 

Namun, kewenangan itu juga termasuk meminta keterangan direksi terkait pemeriksaan yang dilakukan Dewan Komisaris. Dalam Pasal 15 ayat (2) dikatakan bahwa direksi wajib memberikan penjelasan tentang segala hal yang ditanyakan Dewan Komisaris. Oleh sebab itu, Syahruddin berpendapat, bila memang ditemukan adanya penyimpangan atau penyalahgunaan prosedur dalam pemberian kredit kepada nasabah, maka sebelum mengeluarkan SK pemberhentian sementara, Dewan Komisaris sepatutnya meminta keterangan kepada dirinya terlebih dahulu.

 

Alih-alih dimintai penjelasan, perusahaan malah memberhentikan sementara Syahruddin dari jabatannya. Atas dasar ini, Syahruddin menilai perusahaan telah mengambil keputusan secara subjektif. Selain karena jajaran direksi perusahaan dikuasai oleh tergugat II dan III, yang notabene adalah kakak beradik, juga karena tidak dilakukannya audit terlebih dulu oleh auditor independen.

 

Kemudian, PMH lainnya yang dilakukan tergugat II, III, bersama tergugat IV adalah masuk tanpa izin ke ruang kerja Syahruddin. Dalam gugatannya, Syahruddin mengatakan ketiga tergugat telah memasuki ruang kerjanya pada 26 Januari 2009. Ketika itu ia tidak berada di tempat karena hari sedang libur untuk perayaan imlek. Padahal jika merujuk Pasal 15 ayat (1) akta No.1 tanggal 1 Agustus 2008, Dewan Komisaris dapat memasuki setiap sudut bangunan perusahaan pada hari kerja. Karena tergugat II, III bersama tergugat IV melakukannya di hari libur, Syahruddin menganggap ketiga tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

 

Akibat perbuatan para tergugat ini, Syahruddin menuntut ganti kerugian materil dan immateril yang masing-masing sebesar Rp2,66 miliar dan Rp10 miliar. Dalam hitung-hitungannya, Syahruddin tetap mengacu pada akta No.1 tanggal 1 Agustus 2008 yang menyatakan bahwa pengangkatannya sebagai Dirut berlaku selama lima tahun, sejak 1 Agustus 2008 sampai 31 Juli 2013. Oleh karena itu, ganti kerugian yang dimintakan Syahruddin juga berupa upah dan fasilitas yang seharusnya ia terima selama lima tahun, yaitu sebesar Rp1,28 miliar.

 

Selain upah dan fasilitas untuk lima tahun, karena telah mengabdi di BPR selama 16 tahun, Syahruddin juga meminta kompensasi yang berlaku umum seperti, uang pesangon, penghargaan, penggantian hak cuti tahunan, bonus tahunan dan sebagainya sebesar Rp1,38 miliar.

 

Bukan kewenangan PHI        

Karena Syahruddin mempermasalahkan pemberhentian sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPLB) pada 18 Februari 2009, tergugat I, II, dan III menilai permohonan Syahruddin seharusnya ditujukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Bukan ke Pengadilan Negeri.

 

Melalui kuasa hukumnya, Rio Bonang, ketiga tergugat sempat meminta majelis hakim untuk menerima eksepsi kewenangan mengadili (kompetensi absolut) yang menyatakan PHI berwenang untuk mengadili perselisihan yang terjadi antara Syahruddin dan para tergugat.

 

Setidaknya ada beberapa alasan yang menyebabkan Rio berpendapat bahwa perkara ini masuk dalam ruang lingkup kewenangan PHI. Pertama adalah hitung-hitungan ganti kerugian Syahruddin yang di dalamnya terdapat uang pesangon, penghargaan, penggantian hak cuti tahunan, bonus tahunan, dan sebagainya. Komponen kompensasi yang diminta Syahruddin itu sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Selain itu, menurut Rio, walau diangkat dan diberhentikan melalui RUPS, status Syahruddin tetaplah pegawai di BPR. Sehingga, apabila terjadi perselisihan antara Syahruddin dan perusahaan, sesuai Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, penyelesaiannya melalui PHI.

 

Namun majelis hakim PN Bekasi yang diketuai John Pieter, berpendapat lain. Menurut hakim, jabatan Syahruddin sebagai Dirut tidak dikualifikasikan sebagai pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, melalui putusan sela, hakim menganggap PN Bekasi tetap berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.

 

Pemberhentian permanen

Persidangan perkara ini tetap dilanjutkan dan kini telah memasuki agenda pembuktian dari para tergugat. Tergugat I, II, III menolak dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum. Pasalnya, sebelum SK pemberhentian sementara dikeluarkan, Dewan Komisaris sudah memberi kesempatan kepada Syahruddin untuk mengklarifikasi.

 

Selain itu, Dewan Komisaris juga sudah mengantongi bukti-bukti kuat mengenai penyimpangan yang dilakukan Syahruddin. Beberapa nasabah membuat pernyataan kecewa karena mereka telah dimintai sejumlah uang oleh Dirut. Padahal, mereka merasa tidak pernah mempunyai pinjaman di BPR, tetapi entah mengapa terdapat permohonan pinjaman kredit dan perjanjian membuka kredit dengan jaminan fiduciary. Atas perbuatannya ini, perusahaan menindaklanjuti dengan menggelar RUPSLB, tanggal 18 Februari 2009.

 

Dalam RUPSLB tersebut, seluruh pemegang saham hadir dan Syahruddin pun diberi hak untuk membela diri. Syahruddin dianggap telah melakukan beberapa kesalahan. Seperti, penyimpangan prosedur dalam pemberhentian kredit kepada nasabah, menjabat pula sebagai ketua sebuah Koperasi Simpan Pinjam yang bernama Kharisma Artha Jasa, dan tidak pernah masuk sesuai dengan jam kerja yang ditetapkan perusahaan.  Namun, karena pembelaan diri Syahruddin dianggap tidak relevan, hasil RUPSLB mengukuhkan pemberhentian sementara Syahruddin menjadi pemberhentian permanen atau PHK. PHK inilah yang menurut Rio menjadi dasar Syahruddin menuntut ganti kerugian materil, antara lain berupa uang gaji dan pesangon.

 

Untuk tudingan Syahruddin mengenai tergugat II, III, bersama tergugat IV yang memasuki ruang kerjanya tanpa izin di hari libur. Rio menjelaskan, perbuatan para tergugat tidak melanggar aturan, karena para tergugat telah mendapat izin sebelumnya. Lagipula, ketentuan Pasal 15 ayat (1) akta No.1 tanggal 1 Agustus 2008 tidak menyebutkan satu kata pun larangan untuk memasuki ruang kerja tanpa izin di hari libur. Alhasil, rio berpendapat dewan komisoris dibolehkan memasuki bangunan kantor walau di luar jam kerja.

Syahruddin Nawir adalah Direktur Utama (Dirut) PT Bank Perkreditan Rakyat Cikarang Raharja yang diangkat berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 1 Agustus 2008. Tak sampai enam bulan kemudian, Komisaris Utama perusahaan Roy Januar Suryana mengeluarkan Surat Keputusan No.10/kom/01/2009 yang resmi menonaktifkan Syahruddin sebagai Dirut sejak 27 Januari 2009. Perusahaan menduga Syahruddin telah melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan prosedur dalam pemberian kredit kepada nasabah.

 

Tak terima, Syahruddin melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Bekasi pada 17 Februari 2009. Dalam gugatannya, Syahruddin menganggap BPR (tergugat I), Roy (tergugat II), dan seorang Komisaris lainnya bernama Rio Suryana (tergugat III) telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).

 

Selain karena mengeluarkan surat pemberhentian sementara tanpa ada upaya untuk mendengarkan penjelasan Syahruddin terlebih dulu, gugatan juga diajukan karena para tergugat bersama Yulias Suryana (tergugat IV) telah memasuki ruang kerjanya tanpa izin.  

Halaman Selanjutnya:
Tags: