Sanksi Saja Belum Cukup untuk Kurangi Kecelakaan Lalu-Lintas
Berita

Sanksi Saja Belum Cukup untuk Kurangi Kecelakaan Lalu-Lintas

Pembangunan kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas juga mutlak dibutuhkan.

Oleh:
M-8
Bacaan 2 Menit
Sanksi Saja Belum Cukup untuk Kurangi Kecelakaan Lalu-Lintas
Hukumonline

 

NORMA

SANKSI

Melakukan kegiatan yang mengakhibatkan konsentrasi terganggu

kurungan 3 bulan atau denda Rp750 ribu

Berkendara dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda

kurungan 2 bulan atau denda Rp500 ribu

Tidak memiliki persyaratan teknis seperti kaca spion, klakson, lampu,dll

kurungan 2 bulan atau denda Rp500 ribu

Tidak menggunakan sabuk pengaman

kurungan 1 bulan atau denda Rp250 ribu

Membelok atau berbalik arah tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan

kurunagn 1 bulan atau denda Rp250 ribu

berpindah lajur tanpa memberikan isyarat

kurungan 1 bulan atau denda Rp250 ribu

Tidak berhenti ketika sinyal /palang pintu kereta api berbunyi atau palang pintu sudah mulai ditutup

kurungan 3 bulan atau denda Rp750 ribu

Balapan di jalan

kurungan 1 tahun atau denda Rp3 juta

Pengendara Mobil yang tidak menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu

kurungan 1 bulan atau denda Rp250 ribu

Mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang

penjara 1 tahun atau denda Rp3 juta

Mengemudikan kendaraan dan terlibat kecelakaan sengaja tidak menghentikan kendaraan, tidak memberikan pertolongan dan tidak melapor

penjara 3 tahun atau denda Rp75 juta

Sumber: UU LLAJ 2009

 

Pencantuman sanksi saja tampaknya belum cukup untuk mengurangi tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Setidaknya pandangan itu datang dari ahli Manajemen Resiko dari Universitas Indonesia, Dewi Hanggraeni. Menurut dia, selain ketegasan UU, penting juga untuk meningkatkan risk awareness alias kepedulian terhadap resiko ketika berlalu-lintas.

 

Saat ini Dewi berpandangan pengendara bermotor di Indonesia masih belum memperhatikan resiko ketika berkendara. Pengemudi masih menganggap sepele resiko yang mungkin terjadi, termasuk di dalamnya risiko hukum. Mau si supir mau menjalankan metromininya dia akan ngecek dulu remnya, rem tangannya, semua remnya di cek bener dan seterusnya, kata Dewi dalam diskusi publik ‘Perlindungan Dasar Bagi Pengguna Moda Transportasi dan Pengguna Jalan Lainnya' di kampus Universitas Indonesia, Rabu (15/7).

 

Oleh karenaya, Dewi berharap agar sosialisasi mengenai risk awareness ini menembus ke semua lapisan masyarakat dari sopir angkot sampai pilot. Setidaknya hal itu bisa dilakukan untuk menaksir risiko sebagai suatu kebiasaan sehari-hari. Setiap kali saya melakukan sesuatu saya hitung dulu resikonya.

 

Pendidikan dan kepercayaan

Lebih jauh Dewi menuturkan, di negara-negara Barat, tinggi rendahnya resiko kecelakaan berkaitan erat dengan tingkat pendidikan seseorang. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi pula tingkat kepatutan hukum seseorang ketika berlalu-lintas.

 

Pernyataan Dewi bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia. Direktur Utama Jasa Raharja, Diding S Anwar dalam kesempatan yang sama memaparkan hasil penelitian kecelakaan kendaraan bermotor di Yogyakarta. Mayoritas pengendara sepeda motor adalah orang-orang berpendidikan tinggi seperti mahasiswa. Tetapi realitanya angka kecelakaan tetap tinggi bahkan dari waktu ke waktu mengalami peningkatan.

 

Yang lebih menarik lagi, masih menurut penelitian itu, aspek religiusitas seseorang ternyata juga berhubungan dengan tingkat kecelakaan lalu lintas. Ibadah dan pengamalan agama dapat menekan risiko kecelakaan daripada aspek tingkat pendidikan tinggi yang dienyam pengguna jalan.

 

Setelah ditilik lebih jauh, pendapat yang dilontarkan Dewi maupun Diding sebenarnya tak berseberangan dengan kehendak pembuat UU LLAJ. Jika Dewi dan Diding lebih mengedepankan pembangunan budaya hukum (legal culture) di masyarakat, maka pembuat UU LLAJ menyiapkan produk hukumnya (legal substance). Tinggal menunggu bagaimana kesiapan aparat penegak hukum (legal structure) dalam menjalankannya.

Menteri Perhubungan Jusman Syafii Jamal dalam pidato pendapat akhir pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), 26 mei lalu sudah mewanti-wanti bahwa sanksi pidana pada undang-undang ini dibuat demikian keras untuk memberikan efek jera bagi pelanggarnya. RUU itu sendiri kemudian disahkan menjadi UU No 22 Tahun 2009 sebagai pengganti UU 14 Tahun 1992.

 

Jusman tampaknya tak sedang gertak sambal. UU LLAJ 2009 mencantumkan sanksi kurungan atau denda terhadap pelanggarnya. Mulai dari yang terkecil seperti ketiadaan perlengkapan spion, lampu, klakson sampai tabrak lari. (lihat boks).

 

Boleh jadi maksud pembuat UU mencantumkan berbagai macam sanksi adalah demi terciptanya keamanan dan kenyamanan lalu lintas. Maklum, fakta menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas seolah menjadi ‘malaikat baru pencabut nyawa' manusia. Pada tahun 2006 saja sudah 36 ribu orang meninggal akhibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya.

Tags: