21 Cineplex Diduga Monopoli Distribusi Film
Berita

21 Cineplex Diduga Monopoli Distribusi Film

Dugaan persaingan curang itu muncul lantaran salah satu bioskop terkemuka di Indonesia tak bisa menayangkan film nasional gara-gara ada ‘boikot', baik dari pesaing maupun produsen film.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
21 Cineplex Diduga Monopoli Distribusi Film
Hukumonline

 

Dalam laporannya, Blitz mendudukan PT Nusantara Sejahtera Raya, pengelola Bioskop 21 Cineplex sebagai terlapor I. Beberapa distributor film yang dilaporkan merupakan perusahaan penyalur film yang terafiliasi dengan 21 Cineplex terkait dengan kepemilikan saham. Sedangkan produsen film yang dilaporkan memiliki hubungan istimewa dengan 21 Cineplex lantaran menjadi pengurus di perusahaan yang terafiliasi dengan 21 Cineplex.

 

Silent Embargo

Dugaan kecurangan bisnis itu muncul lantaran Blitz tak bisa menayangkan film nasional gara-gara ada ‘boikot', baik dari pesaing maupun produsen film. Sumber hukumonline menyatakan ada silent embargo atas Blitz. Tahun 2007, hanya 19 persen film Indonesia yang ditayangkan Blitz. Tahun 2008, pemutaran film Indonesia di Blitz meningkat menjadi 21 persen. Hingga Mei 2009, prosentasenya makin menanjak hingga 33 persen.

 

Produsen film enggan menyalurkan filmnya ke Blitz lantaran takut tak bisa tayang di bioskop lain. Padahal Blitz menawarkan tawaran menarik terkait pembagian keuntungan pemutaran film. Yakni dengan bagi hasil 70 persen untuk produsen film, dan 30 persen film dari hasil penjualan tiket. Selain itu, Blitz juga menawarkan pembelian copy film terlebih dahulu namun tawaran ini tetap tak laku.

 

Perbandingan jumlah produsen film dan bioskop yang tak seimbang makin memicu dugaan kecurangan bisnis penayangan film. Saat ini diperkirakan jumlah produsen film di Indonesia lebih dari seratus. Sementara, jumlah bioskop yang tersebar di Indonesia terbatas. Ditambah lagi, 70 persen jumlah layar bioskop maupun bioskop dikuasai oleh 21 Cineplex.

 

Bagi produsen film yang memiliki kedekatan dengan 21 Cineplex, bisa mendapat keistimewaan dengan mendapatkan pemutaran film saat kondisi ramai (peak season), seperti hari libur sekolah, malam minggu dan libur hari kejepit. Sementara bioskop yang ‘main mata' dengan Blitz, bisa-bisa filmnya tak diputar. Bisa pula diputar tapi hanya sebentar. Padahal penayangan perdana (first run) akan menentukan laris tidaknya sebuah film.

 

Tak semua produsen film takut dengan ‘kekuatan' 21 Cineplex. Produsen yang memiliki posisi kuat di masyarakat tak larut dalam aturan main 21 Cineplex, seperti Riri Riza, Nia Dinata dan Mira Lesmana.

 

Posisi dominan 21 Cineplex bisa berakibat film alternatif (tidak mainstream) tak punya tempat. Padahal masyarakat juga memerlukan film yang berkualitas tak sekedar menghibur dan sesuai selera pasar.

 

Laporan Blitz ini juga dilakukan untuk mendorong Departemen Kebudayaan dan Pariwisata segera membuat aturan tentang distribusi film, sehingga bisnis permilman bisa lebih berwarna dan lebih kompetitif. Distribusi film yang merata akan menguntungkan bagi produsen film dan bioskop sendiri. Imbas lainnya, masyarakat bisa mendapatkan tiket bioskop murah. Sejak Blitz muncul, 21 Cinpelex sendiri terhitung beberapa kali menurunkan harga tiket bioskop. 

 

Hingga berita ini diturunkan, hukumonline belum berhasil menghubungi pihak PT Nusantara Sejahtera Raya. Telepon kantor perusahaan yang beralamat di kawasan jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, itu tak kunjung diangkat ketika dihubungi hukumonline.

Maraknya perfilman nasional agaknya tak berdampak pada peningkatan jumlah bioskop. Ada dugaan, bisnis film layar lebar itu dimonopoli oleh perusahaan yang selama ini eksis dibidang itu yakni, Group 21 Cineplex. Indikasi ini mulai terasa ketika makin banyak bioskop selain 21 Cineplex tumbang, tak kuat menahan arus persaingan. Gara-gara dugaan itu, pengelola 21 Cineplex kembali dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelumnya, pada 2002 lalu, PT Nusantara Sejahtera Raya selaku pemilik beberapa bioskop 21 Cineplex pernah dihukum bersalah oleh KPPU.

 

Direktur Komunikasi KPPU, A. Junaidi menyatakan, untuk kasus kali ini, KPPU telah memanggil salah satu terlapor perusahaan distributor film. Komisi meminta klarifikasi terkait laporan dugaan monopoli atas distribusi film nasional. Terlapor, kata Junaidi, memiliki kekuatan pasar yang kuat sehingga supply film tak bebas didistribusikan ke biskop lain. Masuk ke satu network, kata Junaidi, Rabu (15/7) kemarin.

 

Klarifikasi diperlukan untuk menilai laporan apakah sudah lengkap dan jelas. Dalam tahap klarifikasi ini, baik terlapor maupun pelapor sama-sama dipanggil untuk memberikan keterangan. Junaidi mengatakan pelapor sudah dipanggil beberapa waktu lalu. KPPU mematok waktu klarifikasi hingga 31 Agustus mendatang. Jika lolos klairifkasi, laporan akan masuk tahap pemberkasan.

 

Menurut Junaidi, pelapor menyasar satu perusahaan bioskop, empat distributor film dan enam orang produsen film. Para terlapor diduga melakukan pelanggaran delapan pasal UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal yang diduga dilanggar adalah Pasal 25, 19, 17, 18, 24, 15, 26 dan 27. Pasal 25, 26 dan 27 tentang posisi dominan. Sedangkan Pasal 17, 18 dan 19 tentang monopoli, monopsoni dan penguasaan pasar. Sementara Pasal 15 mengatur tentang perjanjian tertutup.

 

Berdasarkan informasi yang dihimpun hukumonline, laporan dugaan kecurangan itu dilayangkan oleh PT Graha Layar Prima, pengelola Blitzmegaplex ke KPPU pada 5 Juni 2009. Blitz sendiri sudah dipanggil KPPU untuk klarifikasi pada 15 Juni 2009. Kuasa hukum Blitz sendiri telah memasukan bukti-bukti tambahan ke KPPU untuk memperkuat laporannya.

Tags: