Memposisikan Hukum Perburuhan Heteronom dan Hukum Perburuhan Otonom
Oleh: Yogo Pamungkas *)

Memposisikan Hukum Perburuhan Heteronom dan Hukum Perburuhan Otonom

Apabila hukum perburuhan otonom dibuat dengan kualitas lebih tinggi dari pada hukum perburuhan heteronom maka yang berlaku adalah hukum perburuhan otonom.

Bacaan 2 Menit
Memposisikan Hukum Perburuhan Heteronom dan Hukum Perburuhan Otonom
Hukumonline

Periodisasi hukum perburuhan

Dalam teori hukum perburuhan terdapat dua jenis hukum perburuhan yaitu hukum perburuhan otonom dan hukum perburuhan heteronom. Pembedaan dua jenis hukum perburuhan ini lebih dikarenakan adanya periodisasi hukum perburuhan yang mengakibatkan perubahan dan pergeseran status hukum perburuhan dalam cabang ilmu hukum.

 

Oleh Van Der Ven (Van Der Ven dalam Soeharnoko 1976:8) periodisasi hukum perburuhan ini dibagi menjadi tiga periode. Dalam periode pertama yang menjadi awal mula diakuinya hukum perburuhan adalah periode hukum perburuhan kuno. Periode ini digambarkan sebagai sebuah tahapan di mana hubungan kerja antara majikan dan buruh dianggap sebagai hubungan yang bersifat privat dengan posisi buruh yang sangat lemah. Buruh diposisikan sebagai rechts object bukan sebagai rechts subject. Dengan kata lain buruh hanya menjadi benda atau modal hidup (levend kapitaal) (Goenawan Oetomo 2004:10).

 

Hubungan kerja yang bersifat privat adalah segala hal yang terkait dengan kesepakatan kerja antara majikan dan buruh diserahkan oleh kedua belah pihak. Artinya adalah ketentuan yang mengatur hubungan kerja didasarkan oleh kesepakatan majikan dan buruh tanpa ada campur tangan dari pihak ketiga atau ketentuan lainnya. Keadaan ini menempatkan hukum perburuhan sebagai bagian dari hukum privat. Pada prakteknya hubungan kerja dengan sifat yang sangat individual ini sangat didominasi oleh majikan sebagai pihak yang memiliki kekuatan baik dari aspek modal maupun kekuasaan.

 

Pada tahap ini terdapat kecenderungan para majikan menempatkan buruh sebagai pihak yang lemah bahkan dalam tataran yang ekstrim banyak terdapat praktek perbudakan semu (pseudo-slavery) dengan mengatasnamakan hubungan kerja.

 

Posisi pemerintah sebagai penguasa bukan sebagai pihak yang ikut campur tangan dalam rangka menjaga keselarasan atau keharmonisan hubungan kerja antara majikan dan buruh. Pemerintah hanya memiliki kepentingan bahwa hubungan kerja yang timbul akibat perjanjian kerja tersebut tidak mengganggu ketertiban umum. Tidak menjadi persoalan apakah hubungan kerja itu merugikan atau menguntungkan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Hal ini mengingatkan kita pada konsep negara penjaga malam yang hanya memiliki kepentingan untuk menjaga ketertiban semata tanpa memperhatikan aspek lain dari kehidupan masyarakatnya.

 

Periode ini sangat didominasi oleh usaha dari sektor pertanian sebagai sektor yang sangat dominan dalam menentukan kemajuan sebuah Negara atau wilayah.

 

Periode kedua adalah periode hukum perburuhan modern yang merupakan kelanjutan dari periode hukum perburuhan kuno yang ditandai dengan revolusi industri yang muncul di Inggris beberapa saat setelah ditemukannya teknologi revolusioner saat itu, mesin uap.

 

Revolusi industri memunculkan berbagai perusahaan manufaktur yang menyerap tenaga kerja begitu banyak dan terkonsentrasi di daerah perkotaan. Begitu banyaknya perusahaan yang menyerap tenaga kerja sehingga menimbulkan solidaritas kaum pekerja sebagai lapisan yang memiliki nasib dan perjuangan yang sama. Maka karakter komunal pada periode ini sangat menonjol.

 

Karena bersifat komunal inilah maka hubungan kerja antara buruh dan majikan semakin kompleks dan tidak mungkin secara mandiri diserahkan kepada para pelaku dalam dunia hubungan kerja (majikan dan buruh) untuk membuat ketentuan yang melibatkan begitu banyak pekerja.

 

Alasan utamanya adalah dengan semakin kompleksnya hubungan kerja maka jika pengaturan diserahkan seluruhnya kepada pihak terkait akan menimbulkan banyak persoalan. Banyaknya jumlah pekerja dan karakternya yang komunal mau tidak mau telah membentuk konfigurasi tertentu yang mengakibatkan bertambah kuatnya posisi pekerja dalam membuat perjanjian kerja yang,walaupun tidak murni, sering disebut contractvrijheid (Soeharnoko 1976:19) dengan hubungan kerja.

 

Hubungan kerja antara majikan dan pekerja yang sudah mulai kuat akan berpotensi untuk memunculkan konflik akibat dari gesekan kepentingan dari masing-masing pihak. Gesekan kepentingan ini jika dibiarkan diselesaikan oleh masing-masing pihak maka akan sangat sulit penyelesaiannya bahkan ada kecenderungan akan memperbesar konlfik yang sudah ada. Pendek kata dibutuhkan pihak yang memiliki kekuasaan penuh yang dipatuhi oleh pihak terkait rangka menjaga keselarasan hubungan kerja. Pihak tersebut adalah pemerintah.

 

Periode ini ditandai juga dengan adanya campur tangan pemerintah secara pasif dalam mengurus masalah hubungan kerja. Artinya pemerintah sudah mulai membuat berbagai aturan yang terkait dengan hubungan kerja. Hanya saja, dalam implementasinya tetap diserahkan oleh pihak yang bersangkutan langsung dengan masalah hubungan kerja. Dengan demikian peran dalam pelaksanaan tetap ada pada buruh dan majikan. Dalam periode ini hukum perburuhan masuk dalam cabang hukum administrasi Negara.

 

Dengan demikian pada periode ini terdapat dua jenis sumber hukum perburuhan yaitu hukum perburuhan yang berasal dari pemerintah yaitu segala ketentuan yang dibuat oleh pemerintah yang mengatur masalah hubungan kerja yang sering dikenal dengan hukum perburuhan heteronom. Dan hukum perburuhan yang berasal dari para pelaku hubungan kerja melalui perjanjian kerja yang sering dikenal dengan hukum perburuhan otonom.

 

Periode yang ketiga adalah periode hukum perburuhan idealistik. Periode ini merupakan dampak dari perubahan filosofi pembentukan negara yang pada awalnya Negara dibentuk dalam rangka menjaga ketertiban umum dan stabilitas keamanan bergeser dengan sebuah filosofi bahwa negara dibentuk dalam rangka mensejahterakan rakyat (welfare state).  

 

Periode ini terjadi setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan bermunculan Negara-negara menyatakan kemerdekaannya baik atas inisiatif sendiri maupun yang diberikan oleh negara yang pernah menjajahnya.

 

Dengan filosofi negara memiliki fungsi untuk mensejahterakan rakyatnya, maka campur tangan negara dalam berbagai aspek kehidupan rakyatnya menjadi konsekuensi logis atas adanya negara tersebut.

 

Dikaitkan dengan periodisasi hukum perburuhan maka dalam periode ini pemerintah turut campur tangan secara aktif dalam arti dalam mengatur hubungan kerja pemerintah membuat ketentuan sekaligus melaksanakan ketentuan tersebut.

 

Pada periode ini hukum perburuhan menjadi cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri. Periode ini hukum perburuhan memiliki karakter yang khas yaitu bersumber dari ketentuan pemerintah (hukum perburuhan heteronom) dan yang dibuat oleh pelaku hubungan kerja (hukum perburuhan otonom).

 

Hukum perburuhan heteronom dan otonom

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pemerintah atau penguasa yang ikut campur tangan dalam hubungan kerja telah memunculkan dua jenis hukum perburuhan yaitu hukum perburuhan heteronom  yang dibuat langsung oleh pemerintah yang berbentuk peraturan perundang-undangan perburuhan baik yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan berbagai aturan teknis lainnya dan hukum perburuhan otonom yang dibuat oleh buruh dan majikan yang biasanya berbentuk perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan.

 

Persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana posisi antara hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom? Lebih tinggi manakah hukum perburuhan heteronom dengan hukum perburuhan otonom? Hukum perburuhan yang manakah yang wajib ditaati lebih dahulu?

 

Untuk menjawab berbagai persoalan itu maka perlu dijelaskan tentang posisi dan fungsi dari hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom terlebih dahulu.

 

Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom dibuat dalam rangka memberikan pengaturan dasar atas segala hal yang terkait dengan obyek pengaturan tersebut yang wajib ditaati oleh semua pihak. Ketentuan ini pada dasarnya menjadi pedoman utama dalam rangka membuat hukum perburuhan otonom yang dilakukan oleh buruh dan majikan.

 

Maksud pemerintah membentuk hukum perburuhan heteronom ini agar para pelaku hubungan kerja yang jumlahnya sangat banyak ini tidak membuat ketentuan yang berpotensi menimbulkan konflik sekaligus dapat dijadikan sebagai alat ukur utama dalam meverifikasi apakah hukum perburuhan otonom yang dibuat sudah seuai dengan standar normatif atau tidak.

 

Standar normatif ini tidak dimaksudkan agar setiap pelaku hubungan kerja dalam membuat hukum perburuhan otonom harus selalu sama persis dengan hukum perburuhan heteronom walaupun juga tidak boleh dibawah norma dari hukum yang bersangkutan.

 

Artinya hukum perburuhan heteronom menjadi standar minimal yang harus dipatuhi dalam membuat hukum perburuhan otonom. Bahkan sesungguhnya pembuatan hukum perburuhan otonom menjadi tidak perlu apabila isinya sama dengan hukum heteronom, karena sesungguhnya akan terjadi duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan otonom dan hukum perburuhan heteronom.

 

Dengan posisinya yang di bawah hukum perburuhan heteronom maka hukum perburuhan otonom tidak boleh bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku sehingga yang berlaku adalah ketentuan yang dikemas dalam hukum perburuhan heteronom.

 

Sebaliknya, hukum perburuhan otonom baru berlaku manakala isi dari ketentuan itu diatas atau minimal dengan norma hukum perburuhan heteronom. Artinya, isi hukum perburuhan otonom memiliki kualitas di atas hukum perburuhan heteronom.

 

Apabila dibuat tata urutan ketentuan perburuhan yang mengkombinasikan hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom maka akan didapat komposisi sebagai berikut:

1.      Hukum perburuhan heteronom sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan.

2.      Hukum perburuhan otonom dengan tata urutan sebagai berikut:

a.      Perjanjian Kerja Bersama

b.      Perjanjian kerja

c.      Peraturan Perusahaan

 

Komposisi tersebut di atas dapat diterangkan bahwa kualitas peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah daripada kualitas perjanjian kerja. Kualitas perjanjian kerja tidak boleh lebih rendah dari pada kualitas perjanjian kerja bersama dan kualitas perjnajian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari pada kualitas hukum perburuhan heteronom.

 

Dengan demikian hukum perburuhan otonom baru berlaku manakala kualitasnya lebih tinggi atau minimal sama dengan dengan kualitas hukum perburuhan heteronom. Dengan demikian pula apabila kualitas hukum perburuhan otonom lebih rendah dari hukum perburuhan heteronom maka secara otomatis hukum perburuhan otonom tersebut telah bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku.

 

Sekilas memang persoalan posisi hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom tidak terlalu dipersoalkan. Namun masalah ini akan muncul ketika terjadi perselisihan antara pekerja atau serikat pekerja dengan perusahaan yang menyangkut tentang isi dari hukum perburuhan otonom. Pada kasus perjanjian kerja bersama, misalnya, semestinya tidak perlu dipermasalahkan prioritas pemberlakuan peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja bersama karena kedua-duanya bisa berlaku secara bersama-sama.

 

Artinya adalah peraturan perundang-undangan harus dijadikan dasar untuk melaksanakan hubungan kerja ketika isi perjanjian kerja bersama tertentu kualitasnya di bawah peraturan perundang-undangan (bertentangan) namun perjanjian kerja bersama tertentu akan menjadi prioritas untuk diberlakukan manakala kualitas isi dari perjanjian kerja bersama tersebut di atas peraturan perundang-undangan (kualitas dan isinya lebih tinggi) atau atau isinya sama dengan peraturan perundang-undangan (kualitas dan isinya sama)

 

Dengan demikian fungsi dari hukum perburuhan otonom selain mengisi kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom, juga memiliki fungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja.

 

Kesimpulan

Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom dibentuk dalam rangka menetapkan standar normatif yang dijadikan sebagai pedoman minimal bagi hukum perburuhan otonom agar dibuat dengan kualitas minimal seperti kualitas hukum perburuhan heteronom.

 

Apabila hukum perburuhan otonom dibuat dengan kualitas lebih tinggi dari pada hukum perburuhan heteronom maka yang berlaku adalah hukum perburuhan otonom. Doktrin ini didasarkan atas  pemikiran bahwa fungsi dari hukum perburuhan otonom selain mengisi kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom juga memiliki fungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja.
 

-----

*) Penulis adalah Staf pengajar Hukum Perburuhan FH Universitas Trisakti dan Sekretaris Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan FH Universitas Trisakti. 

Tags: