Fuel Surcharge Diindikasikan Melabrak UU Anti Monopoli
Utama

Fuel Surcharge Diindikasikan Melabrak UU Anti Monopoli

Kenaikan harga minyak dunia mendorong maskapai penerbangan mengenakan biaya tambahan berupa fuel surcharge kepada konsumennya. Pengenaan biaya ini berpotensi menyebabkan kartel di industri penerbangan.

Oleh:
M-7
Bacaan 2 Menit
<i>Fuel Surcharge</i> Diindikasikan Melabrak UU Anti Monopoli
Hukumonline

 

KPPU pun berinisiatif memonitoring tindakan INACA tersebut. Sebab ada kekhawatiran timbulnya kartel di industri penerbangan. Dari hasil monitoring KPPU, INACA akhirnya membatalkan penetapan penetapan besaran fuel surcharge dan menyerahkannya komponen biaya itu kepada maskapai penerbangan. Dan kini, penetapan harga avtur dilakukan melalui mekanisme pasar.

 

Masalahnya, biaya fuel surcharge justru makin naik. Parahnya lagi, persentase kenaikannya tidak sebanding dengan persentasi kenaikan harga avtur. Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Ahmad Taufik mengungkapkan dari data yang diperoleh KPPU, pada Mei 2006 harga avtur sebesar Rp2,700 perliter. Ketika avtur naik menjadi Rp5.600 - Rp5.900 perliternya, maka ditetapkan komponen baru, dimana selisih harga dibebankan kepada konsumen dengan fuel surcharge sebesar Rp20.000 setiap penumpang.

 

Pada Desember 2008, ditemukan fakta yang sangat mengejutkan, ketika harga avtur sebesar Rp8.200 per liter, harga fuel surcharge yang dibebankan kepada konsumen sebesar Rp160.000 - Rp480.000 per penumpang. Artinya ada kenaikan fuel surcharge 8 – 24 kali lipat. Menurut Ahmad, kenaikan ini tidak sebanding dengan persentasi kenaikan harga avtur. Dia menilai maskapai telah menetapkan sendiri besaran fuel surcharge dengan perhitungan yang tidak akurat. Apalagi, terdapat kejanggalan, ketika harga avtur turun, ternyata fuel surcharge masih saja diberlakukan dengan besaran yang cukup tinggi. Padahal, lanjut Ahmad, kenaikan atau penurunan fuel surcharge seharusnya sama dengan besaran atau penurunan selisih harga avtur.

 

Eksploitasi Konsumen

Lantaran fuel surcharge terus beranjak naik, KPPU mengindikasikan bahwa fuel surcharge memiliki fungsi lain, selain untuk menutupi kenaikan harga avtur. Kemungkinan juga untuk meningkatkan pendapatan maskapai melalui eksploitasi konsumen, ujar Ahmad.

 

Ada tiga hasil analisis yang dilakukan KPPU terhadap dugaan kenaikan fuel surcharge tersebut. Pertama, penggunaan fuel surcharge bukan untuk peruntukannya, artinya melenceng dari tujuan utamanya yakni menutup beban maskapai penerbangan akibat kenaikan harga avtur yang disebabkan kenaikan minyak dunia. Kedua, besaran fuel surcharge yang terus naik, mengakibatkan kerugian bagi konsumen dan agen perjalanan yang menjual tiket. Kerugian ini berupa menurunnya komisi dari agen penjualan tiket.

 

Untuk mengatasi masalah, KPPU sebenarnya telah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah. Pertama, pemerintah harus terlibat dalam pengaturan fuel surcharge, supaya komponen biaya ini sesuai peruntukannya. Kedua, pemerintah diminta untuk menghitung ulang fuel surcharge di setiap maskapai.

 

Lalu ketiga, melakukan hitung ulang tarif pesawat, artinya dalam menetapkan tarif baru harus didasarkan perhitungan harga avtur sekarang, sehingga fuel surcharge tidak menjadi komponen tarif baru. Keempat, untuk mengantisipasi kenaikan harga avtur, maka fuel surcharge dapat diberlakukan, namun pemerintah harus melakukan pengawasan dengan tujuan melindungi konsumen dan agen perjalanan yang menjual tiket pesawat.

 

Di hubungi terpisah, Sekretaris Jenderal INACA Tengku Burhanuddin mempertanyakan hasil analisis KPPU. Sebab, menurutnya, masalah fuel surcharge sudah berulangkali dibicarakan dengan pemerintah. Kita sudah bosan, kata Tengku Burhanuddin yang mengaku INACA juga punya dasar dan hitung-hitungan mengenai biaya fuel surcharge.

 

Dia juga mempertanyakan temuan KPPU dimana ketika harga avtur turun justru maskapai menaikan tarif fuel surcharge. Biar KPPU buktikan, ujarnya. Tengku Burhanuddin menambahkan, KPPU seharusnya memahami lebih dulu struktur di industri penerbangan. Kalau tidak ada bukti nyata, kita ngomong sama yang nggak jelas. Kalau dia (KPPU) nggak setuju bisa disengketakan secara hukum, tantangnya.

Fuel surcharge mungkin menjadi momok bagi pengguna jasa pesawat terbang komersial tiga tahun belakangan. Betapa tidak, konsumen harus mengeluarkan kocek lebih jika ingin naik pesawat. Apalagi biaya fuel surcharge terbilang tidak kecil. Fuel surcharge adalah komponen biaya baru dalam industri penerbangan yang dibebankan kepada konsumen akibat dari kenaikan harga avtur, bahan bakar pesawat. Besaran biaya fuel surcharge setiap maskapai berlainan, tergantung volume avtur yang digunakan dan kapasitas penumpang yang dimiliki.

 

Pengenaan biaya fuel surcharge bermula pada awal 2006. Ketika itu terjadi kenaikan harga minyak dunia. Maskapai penerbangan di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia, mengalami kesulitan dana akibat kenaikan harga avtur.  Di tahun itu juga, maskapai penerbangan mulai mewacanakan perlunya biaya kompensasi terhadap kenaikan avtur. Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengusulkan kepada pemerintah agar fuel surcharge menjadi komponen tarif maskapai penerbangan. Namun, pada akhirnya INACA menetapkan sendiri biaya fuel surcharge. Di sinilah masalahnya. Biaya tambahan itu dianggap tidak tepat dikenakan kepada konsumen. Sebab, kenaikan harga avtur merupakan tanggung jawab pihak maskapai, bukan malah dibebankan kepada konsumen.

 

Masalah ini pun mengundang perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat itu mengindikasikan adanya pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli). Ketua KPPU A. Junaidi mengatakan dalam konteks relasi perjanjian pengangkutan, seorang konsumen tidak perlu menanggung biaya lain-lain yang ditanggung oleh pelaku usaha.

Tags: