Mana Yang Lebih Diperlukan: Hukum E-Commerce atau Hukum Commerce
Fokus

Mana Yang Lebih Diperlukan: Hukum E-Commerce atau Hukum Commerce

Pertumbuhan industri berbasis internet di Indonesia masih dalam tahap yang sangat infant. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa parameter. Pertama, jumlah pengguna internet yang jumlahnya masih di bawah 3 juta orang. Jumlah tersebut sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia dan juga dibandingkan dengan jumlah pengguna internet di negara lain.

Oleh:
AH
Bacaan 2 Menit
Mana Yang Lebih Diperlukan: Hukum <i>E-Commerce</i> atau Hukum <i>Commerce </i>
Hukumonline
Kedua, jumlah partisipan dalam bisnis yang berhubungan dengan internet yang dalam hal ini seperti penyedia jasa melalui internet, perdagangan melalui internet, perantara transaksi antara pelaku bisnis lewat internet dan sebagainya. Jumlah pelaku usaha melalui internet yang sedikit itu, menunjukkan korelasi yang positif dengan jumlah pengguna internet, yang merupakan pasar dari usaha melalui internet.

Ketiga, infrastruktur pendukung akses ke internet yang masih sangat terbatas baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Keempat, lemahnya infrastruktur finansial dan distribusi yang menunjang transaksi melalui internet. Kelima, lemahnya infrastruktur hukum yang mendukung tumbuhnya usaha melalui internet dan keamanan bertransaksi melalui internet.

Berdasarkan gambaran di atas, prioritas upaya pengembangan transaksi melalui internet harus dilakukan melalui tahapan-tahapan sesuai dengan logika perkembangan yang tepat.

Pertanyaannya sekarang, dalam melihat aspek hukum e-commerce di Indonesia, pada sektor mana prioritas perlu diberikan? Apakah dalam menjamin keamanan transaksi melalui internet melalui pengaturan mengenai tanda tangan digital dan lainnya? Apakah pemberian keamanan transaksi tersebut dapat memberikan perlindungan bagi pengguna internet sebagai medium transaksi untuk memperoleh haknya.


Prioritas Kebijakan Hukum e-commerce

Pertanyaan dasar yang harus kita ajukan adalah, apakah perlindungan hukum bagi transaksi melalui internet dapat menjawab kebutuhan para pelaku bisnis melalui internet?

Kita harus sangat realistis dalam menentukan prioritas kebijakan hukum e-commerce. Ketika kita berbicara tentang petingnya ketentuan mengenai tanda tangan digital misalnya, apakah keberadaannya akan menciptakan suatu perlindungan yang berarti bagi pihak yang bertransaksi melalui internet.

Pertanyaan lainnya, apakah bisnis dan transaksi yang berbasis internet sudah mencapai suatu jumlah yang signifikan, sehingga kita harus segera melakukan sesuatu untuk menciptakan sistim kontrol dan verifikasi transaksi yang solid untuk melindungi mereka. Ataukah seharusnya kita lebih baik memprioritaskan energi kita untuk lebih menciptakan kondisi yang baik untuk menumbuhkan pengusaha dan pengguna internet.

Perbaikan Hukum Menyangkut Perdagangan

Perdagangan melalui medium internet adalah perdagangan biasa. Perbedaan medium tersebut tidak menjadikan transaksi perdagangan menjadi makhluk yang tidak berada dalam rezim hukum yang mengatur masalah perdagangan.

Kondisi hukum kita dalam bidang perdagangan dan transaksi lainnya dalam dunia nyata (tidak melalui medium internet) masih sangat primitif. Sedemikian minimnya perlindungan terhadap transaksi tersebut, sehingga medium pembayaran yang dapat digunakan sangat terbatas. Umumnya, transaksi bisnis (khususnya dalam bidang perdagangan) dilakukan dengan dasar uang tunai atau transfer (yang harus dilakukan sebelum pengiriman dilakukan).

Transaksi yang dilakukan dengan medium lain seperti cek, bilyet giro, ataupun secara deffered payment hanya dapat digunakan dalam konteks komunitas bisnis yang sangat kecil dan saling mengenal. Dasar dari transaksi tersebut adalah kepercayaan dan sanksi sosial (antara lain tindakan boikot oleh komunitas usaha tersebut).

Keterbelakangan tersebut merupakan kontribusi dari dua hal. Pertama perangkat hukum yang menyangkut perdagangan sendiri. Kedua, kondisi perangkat hukum dan perangkat enforcement yang sangat buruk.

Tidak menyelesaikan masalah

Apabila kita berbicara tentang tanda tangan digital, lembaga verifikasi dan perlengkapan lainnya yang dapat menunjang keamanan bertransaksi melalui interet, berarti kita baru berbicara tentang : (1) bagaimana pihak yang melakukan transaksi dapat meyakini bahwa pihak lawan transaksinya memang pihak yang dikehendaki, (2) bagaimana pihak yang bertransaksi dapat membuktikan bahwa lawan transaksinya memang telah menyetujui transaksi tersebut dan tidak dapat membantah bahwa dia belum menyetujui transaksi tersebut.

Apabila kita melakukan analogi dengan dunia nyata, hal itu dilakukan dengan adanya sistim dan proses yang solid atas verifikasi identitas dan persetujuan pihak-pihak yang bertransaksi. Ini sama dengan kondisi di mana pihak yang bertransaksi menandatangani dokumen secara nyata dan dengan disaksikan oleh pihak lainnya.

Lalu apa yang dapat diperoleh oleh masyarakat setelah kita memiliki sistim verifikasi yang baik untuk transaksi melalui internet. Apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang seharusnya dibayar apabila lawan transaksinya tidak membayar? Apakah pihak tersebut dapat pergi ke pengadilan dan dapat memperoleh pembayaran dalam waktu dekat? Jawabannya tentu saja tidak. Bukan saja karena proses pengadilan kita lama, tetapi juga karena pengadilan kita korup.

Fokus penyelesaian masalah

Yang harus menjadi titik sentral adalah bagaimana kita dapat memiliki suatu aturan yang baik mengenai transaksi perdagangan dan pembenahan pada sistim penegakan hukum kita. Dengan demikian timbul kepercayaan pelaku bisnis terhadap medium transaksi bisnis selain uang tunai, termasuk melalui internet.

Argumen di atas sama sekali bukan dilandasi oleh suatu sikap skeptis mengenai manfaat dan prospek dari e-commerce. Akan tetapi, lebih sebagai upaya untuk mengajak kalangan hukum dan bisnis untuk terlebih dulu memperhatikan dan memecahkan masalah yang akan menjadi dasar bagi pertumbuhan selanjutnya dari transaksi melalui internet.

Langkah awal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah dengan mengeluarkan suatu undang-undang untuk menggantikan ketentuan-ketentuan menyangkut perdagangan dan instrumen perdagangan dalam KUHD. Tindakan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah apabila tidak dibarengi dengan pembenahan yang nyata pada institusi peradilan, kepolisian dan kejaksaan dengan tujuan menciptakan pengadilan.

Dalam undang-undang yang baru tersebut, kita dapat mengakomodasi ketentuan-ketentuan yang bersifat fleksibel guna mengantisipasi perkembangan teknologi internet. Seperti pengakuan terhadap data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan (termasuk tanda tangan digital) sepanjang data tersebut dibuat sesuai dengan standar industri yang berlaku dan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pihak, tempat, dan waktu transaksi.

Ketentuan yang bersifat kerangka dasar ini memang harus diikuti dengan ketentuan-ketentuan lainnya seperti pembentukan badan independen yang akan menentukan standar industri yang berlaku dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan teknologi dan pengaturan lainnya yang bersifat teknis.

Pendekatan semacam itulah yang diciptakan oleh UNCITRAL dalam Model Law On Electronic Commerce pada 1996 dengan sedikit perubahan pada 1998. Pendekatan tersebut akan jauh lebih berguna apabila dibandingkan dengan pendekatan yang menekankan pada pegadopsian teknologi tertentu. Tentu saja pendekatan yang terakhir tersebut akan menimbulkan masalah baru setelah teknologi baru ditemukan.
Tags: