Hak Asasi Pengguna Narkoba Kerap Dilanggar
Berita

Hak Asasi Pengguna Narkoba Kerap Dilanggar

Salah satu alasannya karena peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih menempatkan para pengguna narkoba sebagai pelaku kriminal. Bukan sebagai korban.

Oleh:
M-8
Bacaan 2 Menit
Hak Asasi Pengguna Narkoba Kerap Dilanggar
Hukumonline

Hendaknya pengguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) diterapkan dengan sistem layanan kesehatan. Bukan pemenjaraan. Ini harapan kita. Harapan ini disampaikan oleh HM Aminullah, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI dalam diskusi publik 'Mencari format Ideal Kebijakan Narkotika Indonesia yang Berperspektif Hak Asasi Manusia‘ di Jakarta, Kamis (30/7).

 

Aminullah menyatakan selama ini masih terdapat dualisme penanganan pecandu narkotika antara Depkes dan kepolisian. Polisi mengatakan menjalankan undang-undang, Menteri Kesehatan juga menjalankan undang-undang. Kalau ketemu polisi ya masuk penjara, Kalau ketemu sama (petugas) kesehatan ya masuk rumah sakit. Jadi masalahnya kucing-kucingan. Kita bikin pelayanan kesehatan juga, kalau masuk RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) nanti keluarnya takut ditangkap aparat di depan.

 

Padahal menurut Aminullah, kecanduan narkoba adalah penyakit, dimana ada kerusakan dalam otak sehingga pecandunya harus menjalani terapi kesehatan karena sewaktu-waktu bisa kambuh. Kalau pun harus dipenjarakan, Aminullah meminta adanya pelayanan kesehatan di lembaga pemasyarakatan. Ia juga mengungkapkan fakta bahwa ketika pecandu dibina di dalam komunitas akan lebih mudah sembuh ketimbang di dalam lapas.

 

Vigrarose Nurmaya dari Yayasan Stigma –Yayasan yang anggotanya terdiri dari pecandu dan mantan pecandu- mengungkapkan fakta termasuk pengalamannya sendiri. Dari tahun 1995 sampai sekarang, proses penangkapan dan penahanan tidak pernah sesuai dengan prosedur. Tidak ada suratnya. Banyak sekali terjadi pelanggaran HAM. Teman NAPZA yang laki-laki dipukuli. Temen NAPZA perempuan mengalami kekerasan seksual sampai berujung ke pemerkosaan. Juga perampasan harta benda.

 

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Taufik Basari, mengamini pernyataan Vigrarose. Menurutnya pendekatan kebijakan yang dibuat pemerintah untuk masalah pecandu narkotika ini justru tidak memenuhi HAM. Kebijakan publik yang bernapaskan HAM seperti yang paling penting mengakui manusia sebagai pemegang kekusaan tertinggi atas Hak Asasinya. Jadi sentralnya manusia bukan negara.

 

Taufik menambahkan bahwa negara wajib membuat hukum untuk melindungi kebebasan dan kesetaraan manusia bukan malah untuk melindungi kepentingan negara itu sendiri. Oleh Karena itu peran serta negara dalam kebijakan publik harus melindungi HAM. Masalah kesetaraan ini sudah tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Universal HAM dan masalah nondiskriminasi tercantum dalam Pasal 2 (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta  pasal 2 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya.

 

Selain itu Taufik, juga meminta kebijakan UU Narkotika harus memberi ruang seluas-luasnya bagi kontrol masyarakat. Selain itu harus mengakomodir semua pihak termasuk pengguna NAPZA. Selama ini pengguna NAPZA jadi objek. Jadi mereka tidak didengarkan.

 

Masalah lain adalah pengaturan batas waktu dalam UU Narkotika yang  merupakan lex spesialis dari KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan dilakukan 1x24 jam dan bisa diperpanjang 2x24 jam. Sementara KUHAP hanya memperbolehkan 1x24 jam. Menurut Taufik hal ini bisa memberikan celah bagi pihak yang tidak bertanggung jawab. Ini menjadi satu celah adanya tindak sewenang-wenang, penyiksaan, perampasan barang tanpa prosedur hukum. Ini yang menjadi krusial.

 

Revisi UU Narkotika

Di kesempatan yang sama, pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta yang juga Tim revisi UU Narkotika, Samuel Hutabarat, memberikan cacatan mengenai RUU yang sudah ada. Menurutnya hal pertama yang harus diubah adalah konsep penahanan tentang pemakai dan pengguna narkotika. Di dalam UU Narkotika, pengguna ditempatkan sebagai pelaku kriminal. Kami sarankan, pemakai atau pengguna adalah korban. Korban dari proses peredaran narkotika itu tadi.

 

Menurut Samuel, seorang pecandu baru bisa dikriminalisasi untuk kegiatan kriminal lain yang mereka lakukan. Misalnya kalau mereka mencuri barang untuk membeli narkoba.

 

Hal lain yang dia sarankan untuk diubah adalah kewajiban orang tua melaporkan anak mereka yang masih di bawah umur dan pemakai narkoba kepada pemerintah. Bagi orang tua yang tidak melapor, maka akan dikenai sanksi. Samuel sadar bahwa ketentuan ini bakal terbentur dengan budaya timur dimana pemakai narkoba dianggap aib keluarga. Kalau orang tua diwajibkan melapor sama saja dipaksa membuka aib keluarga. Samuel lebih sependapat bila orang tua diwajibkan membawa anaknya yang menjadi pencandu narkoba ke panti rehabilitasi.

 

Selain itu Samuel juga mengkritisi pasal 41 UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang merumuskan, ‘Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/ atau perawatan.'

 

Samuel mengkritik bahwa ketentuan pasal itu hanya memberikan pilihan kepada hakim untuk memberikan pengobatan dan atau perawatan terhadap pengguna psikotropika. Harusnya kata ‘dapat' diganti menjadi sebuah kewajiban.

 

Sejauh ini, kata Samuel, revisi UU Narkotika ini baru mencapai tahap diskusi di beberapa daerah dan pihak terkait seperti beberapa fraksi DPR, BNN dan Depkes. Rangkaian diskusi itu dilakukan untuk mematangkan naskah akademik dan draf RUU.
 
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran bernomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Dalam SEMA yang ditandatangani pada 17 Maret 2009 itu, terdapat petunjuk bagi setiap hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam menangani perkara narkoba. Hakim diminta sedapat mungkin tidak buru-buru memvonis terpidana pemakai narkoba untuk dijebloskan ke penjara. Melainkan bisa dikirim ke Panti Terapi atau Rehabilitasi.
Tags: