Ketentuan Sertifikasi Produk Halal Tetap Tercantum dalam RUU JPH
Utama

Ketentuan Sertifikasi Produk Halal Tetap Tercantum dalam RUU JPH

DPR berdalih penerapan sertifikasi produk halal merupakan anjuran agama yang dijamin oleh Undang-Undang.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Ketentuan Sertifikasi Produk Halal Tetap Tercantum dalam RUU JPH
Hukumonline

 

Hasrul menegaskan pengusaha tidak perlu takut akan dipersulit dalam pembuatan sertifikasi. Secara teknis pembuatannya gampang, dan akan dibuat semudah-mudahnya, ujarnya. Nanti, akan ada hubungan kerja antara auditor halal yang disiapkan perusahaan dengan tim peneliti. Jadi mana mungkin ada sertifikat palsu, tambahnya.

 

Hazrul mengakui bahwa dalam pembahasan RUU JPH, DPR tidak pernah mengundang Kadin untuk berembuk bersama. Akan tetapi secara spesifik, katanya, ada beberapa pihak yang mewakili pengusaha diundang dalam pembahasan RUU JPH, seperti Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, Gabungan Pengusaha Farmasi, Gabungan Pengusaha Kosmetik, Gabungan Pengusaha Air Kemasan, dan sebagainya. Kedatangan para pengusaha tersebut untuk memberikan masukan bagi RUU JPH. Pendapat mereka beragam, ada yang menginginkan sertifikasi dilakukan secara sukarela atau wajib.

Meski sebelumnya mendapat kritikan dari kalangan pengusaha, penerapan sertifikasi produk halal tetap diberlakukan dalam RUU Jaminan Produk Halal (JPH). DPR menganggap sertifikasi produk halal bagi perusahaan sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Karena dengan demikian, keselamatan konsumen dapat terlindungi. Saat ini, RUU JPH tengah memasuki pembahasan sejumlah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Jika tidak aral melintang, pembahasan RUU ini selesai September 2009.

 

Ketua Komisi VIII DPR Hasrul Azwar menjelaskan, secara filosofi kehalalan sebuah produk yang dikonsumsi, baik itu makanan minuman, farmasi, kosmetik dan hasil rekayasa genetik, dari hulu ke hilir, harus halal dalam proses pembuatannya. Soalnya, saat ini halal sudah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Apalagi, hal itu merupakan anjuran agama yang dijamin oleh undang-undang. Masa setiap waktu kita harus diperoalkan dengan kasus dendeng sapi dicampur dengan babi, katanya kepada hukumonline, Rabu, (26/08).

 

Menurut Hasrul, saat ini semua negara telah memberlakukan sertifikasi produk halal. Seperti di Amerika Serikat (AS), misalnya. Di sana, kata Hasrul, produk buatan Yahudi ditandai dengan sebuah lambang bintang yang menunjukkan produk tersebut halal dikonsumsi. Begitu juga di Inggris, ada yang namanya Halal Food Authority. Jadi kita kenapa harus menyatakan tidak setuju, ucapnya.

 

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik, Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/8) mengatakan, jika jadi disahkan, RUU JPH akan memberikan konsekuesi buruk bagi pengusaha, termasuk masalah-masalah seperti adanya biaya tambahan dari sisi proses sertifikasi. Selain itu, pengusaha juga akan mengalami kesulitan teknis dalam pembuktian sertifikasi yang akan memakan waktu yang panjang.

 

Bukan itu saja. Menurut Haryadi, nantinya, akan banyak produk yang belum bersertifikat halal mengantri menunggu proses sertifikasi. Hal ini akan memicu munculnya sertifikasi halal palsu. Ini rawan penyimpangan di lapangan, katanya. Belum lagi hal-hal klasik yang selama ini dialami pengusaha, yakni proses pembuatan sertifikasi yang bisa dibilang bertele-tele dan berujung pada biaya. Oleh karena itu, ia berpendapat agar soal sertifikasi produk halal oleh perusahaan hanya bersifat voluntary (sukarela) bukan mandatory (wajib).

 

Kekhawatiran Hariyadi ditanggapi Hasrul. Menurutnya, biaya tambahan untuk membuat sertifikasi produk halal merupakan konsekuensi dari sebuah perusahaan. Namun perlu diingat, kata Hasrul, pengusaha akan mendapatkan keuntungan dari label halal tersebut. Pasalnya, konsumen tidak akan ragu untuk membeli produk perusahaan tersebut. Jadi ada take and give di sini, ujarnya.

Tags: