Ketika Putusan Hakim Menjadi 'Karya Sastra'
Jeda

Ketika Putusan Hakim Menjadi 'Karya Sastra'

Advokat senior Todung Mulya Lubis sempat 'bermimpi' kapan putusan hakim di Indonesia tak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga masuk kategori karya sastra. Todung sepertinya perlu menyimak pertimbangan hukum Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ketika Putusan Hakim Menjadi 'Karya Sastra'
Hukumonline

 

Siapa dia dan mengapa begitu? tanya Tuhan.

 

Jawab anak muda ini, Mereka itu orang yang diberi amanah dan mempunyai kekuasaan tetapi mereka tidak mau sedikitpun menggunakan kekuasaannya untuk mencegah adanya barang berbahaya yang menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan generasi saya, Tuhan, sehingga generasi saya hilang tak berdaya. Atas permintaan remaja ini, Tuhan menyatakan pikir-pikir.

 

Mayoritas hakim konstitusi yang hadir dalam sidang pun hanya tersenyum kecut usai Sodiki membacakan bagian akhir pendapat berbedanya ini. Wakil dari Pemerintah pun terlihat tertawa kecil mendengar pertimbangan hakim yang 'tidak lazim' ini. Biasanya, pertimbangan hakim di Indonesia memang berisi istilah-istilah hukum yang njilemet.

 

Advokat senior Todung Mulya Lubis, dalam sebuah kesempatan, memang pernah melontarkan sebuah mimpi. Ia memimpikan putusan para hakim di Indonesia bisa menjadi dokumen hukum dan akademik layaknya putusan di luar negeri. Di Afrika Selatan, putusan bahkan mirip seperti karya sastra, ujarnya. Ia mengharapkan para hakim bisa memadukan ketiganya, yakni putusan sebagai dokumen hukum, akademik, dan karya sastra. Di samping itu, ia juga meminta agar pertimbangan hukum dalam putusan harus kuat.

 

Todung memang belum menetapkan apakah dissenting opinion Sodiki ini masuk kategori karya sastra yang dimaksudnya. Namun, minimal pendapat berbeda Sodiki tersebut telah memperkaya putusan yang tak melulu diisi oleh argumentasi hukum yang ruwet.

 

Lain Sodiki, lain Muhammad Alim. Hakim Konstitusi satu ini justru menggunakan putusannya sebagai sarana 'dakwah'. Masih dalam putusan perkara yang sama, Alim menyitir beberapa ayat Al Quran. Posisi Alim memang sama dengan Sodiki, yakni menolak iklan rokok ditayangkan di media penyiaran.

 

Ketentuan Pasal 28F UUD 1945 tersebut di atas yang menghendaki informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al Quran surah Al Ashr/103: 1-3 yang memperingatkan agar manusia tidak merugi, harus beriman dan beramal salih serta menyampaikan informasi atau pesan kebenaran dan pesan kesabaran, tulis Hakim Konstitusi yang kerap disapa 'ustadz' ini.

Syahdan pada akhir nanti di Padang Mahsyar, manusia dikumpulkan oleh Tuhan untuk ditimbang kebaikan dan dosanya. Malaikat diperintahkan Tuhan memasukkan seorang anak remaja ke neraka karena banyak dosanya. Berkatalah si remaja, Ya Tuhan memang saya banyak dosa, saya membunuh pacar saya setelah saya minum minuman keras, Sekalipun minuman keras telah dilarang dipromosikan.

 

Semula saya tidak merokok tetapi karena pergaulan dan iklan rokok saya terpikat lalu saya merokok. Kalau kehabisan uang untuk membeli rokok saya mencuri uang bapak dan ibu saya. Kalau sudah mabuk dan merokok saya lupa kepada-Mu Tuhan, lalu saya jatuh sakit kanker karena rokok sehingga saya meninggal. Ribuan dan jutaan orang di negeri saya nasibnya seperti saya ini Tuhan! Saya menyesal mengapa iklan rokok masih diperbolehkan.

 

Cerita di atas bukan sembarang cerita pendek. Cerita yang berasal dari negeri antah berantah itu hanya bisa ditemukan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Tepatnya, di dalam bagian dissenting opinion atau pendapat berbeda yang dibuat oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki. Setelah menguraikan berlembar-lembar pandangan hukumnya, Sodiki menutupnya dengan cerita tersebut.      

 

Sodiki beserta tiga koleganya sesama hakim konstitusi –Maruarar Siahaan, Harjono dan Muhammad Alim- memang tak sependapat dengan mayoritas hakim konstitusi yang membolehkan rokok diiklankan di sejumlah media penyiaran seperti televisi dan radio.  Sodiki berpendapat seharusnya rokok disamakan dengan minuman keras yang sama-sama bersifat adiktif. Sekedar mengingatkan, UU Penyiaran memang melarang iklan minuman keras di media penyiaran karena barangnya bersifat adiktif. 

 

Cerita tersebut belum berakhir. Sodiki melanjutkan ceritanya. Dengan wajah memelas anak muda itu melanjutkan kata-katanya, Saya tidak terima sendirian Tuhan dipersalahkan masuk neraka, Tuhan tolong mereka yang berdiri di belakang saya ini ikut bertanggung jawab dan bersalah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: