Sugeng Riyono dan Empati pada Kasus-Kasus Lingkungan
Profil

Sugeng Riyono dan Empati pada Kasus-Kasus Lingkungan

Pesannya kepada sesama kolega jelas: saat menangani kasus-kasus lingkungan aparat penegak hukum hendaknya tidak merekayasa, dan harus jujur pada hati nurani. Lingkungan hidup diwariskan untuk anak dan cucu kita.

Oleh:
Sut/Mon
Bacaan 2 Menit
Sugeng Riyono dan Empati pada Kasus-Kasus Lingkungan
Hukumonline

 

Namun tahukah Anda, di balik kesehariannya menangani sebuah perkara, Sugeng adalah sosok peduli lingkungan? Pria humoris yang biasa disapa oleh koleganya dengan sebutan Mbah itu sejak lama mengaku peduli terhadap lingkungan. Lingkungan penting dipertahankan agar bisa dirasakan dan dimanfaatkan oleh anak cucu kita ke depan, ujar Sugeng membuka percakapan dengan hukumonline di sudut salah satu ruang hakim di lantai dua gedung tua, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tak lama sebelum gempa di Tasikmalaya ikut menggocang wilayah Jakarta, Rabu (02/9) lalu.

 

Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai hakim ini memang sangat antusias jika diajak bicara tentang lingkungan. Lantaran kepeduliaannya itu, Sugeng merasa senang jika mendapat limpahan perkara-perkara yang terkait isu lingkungan. Apalagi kalau disuruh mengikuti pelatihan-pelatihan di bidang hukum lingkungan. Tercatat, seabrek pengalaman mengikuti kursus maupun pelatihan di dalam maupun luar negeri sudah dia lakoni. Salah satunya belajar hukum lingkungan di Negeri Kangguru selama enam bulan. Dia juga telah mendapatkan sertikat hakim lingkungan dari Mahkamah Agung.

 

Sayang, dia mengaku tak banyak mendapat limpahan kasus yang langsung bersinggungan dengan UU Lingkungan Hidup. Kalau yang berkaitan dengan UU Kehutanan sudah banyak, akunya. Menurut Sugeng, kerusakan lingkungan yang disebabkan illegal loging, masih ‘kalah' berbahayanya dengan kerusakan yang disebabkan oleh illegal mining. Kalau illegal loging bisa dipulihkan, sementara illegal mining bisa merusak ekosistem dimana kerugiannya tidak bisa dihitung, paparnya.

 

Pria yang aktif memperjuangkan isu lingkungan bersama lembaga swadaya masyarakat sejak menjadi aktivis kampus pada 1980-an, menceritakan betapa ruwetnya menghadapi kasus lingkungan hidup. Mulai dari masalah pembuktian, kebijakan pemerintah daerah dalam hal perizinan, sampai ketidakpedulian masyarakat di sekitar lingkungan yang bermasalah.

 

Ketika menangani perkara gas bocor di pabrik Petrokimia Gresik tahun 1993, misalnya. Kejaksaan, ujar Sugeng, sempat kesulitan dalam membuktikan kasus yang sampai menyebabkan korban meninggal. Sulit dibuktikan kausalitas antara bocornya gas dengan pencemaran udara, karena setelah meledak, gasnya menguap. Hingga satu jam kemudian (udara) sudah clear, kata pria yang terinspirasi menjadi hakim sejak masih kanak-kanak lantaran rumahnya dekat dengan pengadilan.

 

Ada juga kasus perseteruan antara Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) dengan Dinas Kehutanan Daerah—tidak disebut daerah mana. Dalam kasus ini Sugeng justru mempersalahkan pemangku kebijakan yang terkadang asal memberikan izin eksploitasi terhadap suatu wilayah. Menurutnya, dalam kejahatan lingkungan yang harus pertama kali disidik adalah pemberi izin. Kalau ternyata pemberi izinnya salah, berarti kejahatan lingkungan dilakukan bersama-sama dengan si penerima izin.

 

Kasus lain yang pernah ditanganinya terjadi di Bengkulu. Waktu itu, ada penambangan emas di dekat sungai. Akibat penambangan itu, sungai yang tadinya bersih menjadi kotor. Sugeng lalu memerintahkan agar kegiatan penambangan dihentikan. Namun upaya itu tak membuahkan hasil lantaran ada tekanan dari perusahaan tambang.

 

Menurutnya, kasus-kasus lingkungan yang masuk ke pengadilan kurang didukung bukti ilmiah. Terkadang, bukti ilmiah yang diajukan bertentangan antara satu laboratorium dengan laboratorium lain. Makanya, untuk menyiasati pembuktian itu, Sugeng biasanya memilih pendapat yang paling logis. Hal itu bisa dilihat dari sample dan waktu pengambilan sample. Oleh sebab itu, lanjut dia, dalam menangani kasus lingkungan, yang paling penting adalah scientific evidence, bukan legal evidance. Meski demikian, scientific evidance bisa menjadi legal evidance bila didukung oleh bukti lain. 

 

Pengadilan Lingkungan

Sugeng juga menyarankan agar PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) diberikan kewenangan untuk melimpahkan perkara lingungan langsung ke pengadilan. Agar lebih maksimal, tuntutan pada tindak pidana lingkungan harus dibarengi dengan gugatan perdata meminta ganti rugi kerusakan, tuturnya.

 

Kini, Sugeng bersama dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup sedang membuat konsep pengadilan lingkungan. Menurutnya, ada beberapa model yang bisa digunakan untuk peradilan lingkungan. Di antaranya model detasering, artinya hakim yang mendapat sertifikasi lingkungan turun langsung ke daerah yang tercemar lingkungan untuk menggelar persidangan. Atau bisa juga hakim yang memiliki sertifikasi membantu kasus lingkungan yang berada dekat dengan yurisdiksinya.

 

Hakim yang mendapat sertifikasi lingkungan sendiri sudah banyak. Sayang, tidak banyak hakim yang sudah mengantongi sertifikasi lingkungan, bertugas di daerah yang kejahatan lingkungan cukup tinggi.

 

Model lain yang diusulkan adalah pembentukan pengadilan lingkungan seperti pengadilan niaga yang ada di beberapa kota, atau pun model pengadilan perikanan seperti yang ada di Departemen Kelautan dan Perikanan.

 

Semangat Sugeng yang peduli terhadap lingkungan hidup patut ditiru. Sayang, sosok hakim seperti Sugeng masih jarang ditemui di setiap pengadilan. Di akhir wawancara dia berpesan, Untuk kasus lingkungan, penegak hukum agar tidak melakukan rekayasa, jujur pada nurani, karena kita bekerja untuk anak cucu kita, jangan sampai haknya dizolimi".

Bagi para pencari keadilan, khususnya di Jakarta Pusat, sosok Sugeng Riyono tentu sudah tak asing lagi. Ya, dia adalah hakim sekaligus humas pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Beragam perkara sudah diputuskannya. Banyak perkara fenomenal yang pernah ditanganinya. Tiga yang teranyar adalah perkara PT Garuda Maintenance Facilities AeroAsia (GMF) melawan PT Metro Batavia (Batavia Air), PT Pertamina (Persero) melawan PT Lirik Petroleum, dan putusan Robert Tantular terkait kasus Bank Century yang sampai sekarang masih hangat di media massa.

Halaman Selanjutnya:
Tags: