Soepomo, Tokoh Hukum Penjunjung Kolektivisme Adat
Edisi Khusus:

Soepomo, Tokoh Hukum Penjunjung Kolektivisme Adat

Dalam sidang BPUPKI, Soepomo menolak dimasukkannya konsep HAM lantaran dianggap sebagai produk negara yang mengusung individualisme. Berhasil meraih gelar doktor dalam usia 24 tahun.

Oleh:
IHW/Rzk/Mys
Bacaan 2 Menit
Soepomo, Tokoh Hukum Penjunjung Kolektivisme Adat
Hukumonline

Bagi Anda yang kerap melewati patung Pancoran di bilangan Jakarta Selatan menuju arah Manggarai, tentu melewati jalan Prof Dr. Soepomo. Untuk sampai ke Manggarai, di ujung jalan Soepomo Anda masih harus melalui jalan Dr. Saharjo. Semula jalan Soepomo dan jalan Sahardjo itu berada dalam satu ruas nama jalan, yaitu jalan D.I Panjaitan. Namun sejak 9 November 1966, jalan D.I  Panjaitan itu dipecah.

 

Untuk mahasiswa hukum atau Anda yang menggeluti profesi di bidang hukum, nama Soepomo mungkin tak asing di kuping Anda. Nama Soepomo acapkali terdengar ketika kita belajar mata kuliah ilmu negara, hukum tata negara dan hukum adat. Tapi siapakah sebenarnya Soepomo? Boleh jadi tak semua orang tahu latar belakangnya.

 

Berasal dari keluarga aristokrat Jawa, Soepomo dilahirkan di Sukoharjo, 22 Januari 1903. Kedua kakek Soepomo –dari pihak ayah dan ibu- adalah bupati pada jaman pemerintahan kolonial. Sebagai keluarga terpandang, Soepomo mendapatkan pendidikan untuk orang-orang Eropa sejak tingkat dasar. Ia mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali pada tahun 1917, kemudian MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo pada tahun 1920, dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Bataviasche Rechtshoogeschool di Batavia pada tahun 1923.

 

Pada tahun 1924 Soepomo melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden di Belanda. Dibimbing salah satu profesor hukum adat Indonesia dari Belanda, Van Vollenhoven, Soepomo beroleh gelar doktor pada tahun 1927 dengan disertasi berjudul De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta. Menggondol gelar doktor pada usia 24 tahun menjadikan Soepomo sebagai pemegang rekor doktor termuda di Indonesia.

 

Ada cerita unik ketika Soepomo bersidang mempertahankan disertasinya pada 3 Oktober 1927. A. Rivai, seorang mahasiswa Indonesia yang hadir di sana menggambarkan kondisi itu. Menurut dia, Soepomo dan kedua paranima –orang yang mendampingi promovendus selama ujian—berpakaian adat Jawa: pakaian setagen, kain dan keris. Bahkan sesudah proses promosi di Wasstraat No. 1 diadakan dejeune dinatoir (makan siang) yang mencerminkan ciri nasional. Makanannya bukan pizza, pasta, burger, hotdog atau makanan Barat lain. Melainkan sate ayam, soto, ayam panggang, dan nasi goreng.

 

Sebagai ahli hukum generasi pertama, kontribusi Soepomo sangat besar dalam pembentukkan dasar negara dan konstitusi bangsa ini. Di hadapan sidang resmi pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945 misalnya, Soepomo mengusulkan lima asas negara yaitu, persatuan, mufakat dan demokrasi, keadilan sosial, kekeluargaan dan musyawarah.

 

Tak hanya tentang asas negara, pada 31 Mei 1945 Soepomo juga didapuk untuk menuturkan beberapa teori tentang negara. Menurut dia, setidaknya ada tiga teori. Pertama, teori negara individualistik yang dikembangkan Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau dan Herbert Spencer yang berlaku di Eropa Barat dan Amerika. Di sini negara harus melakukan kontrak sosial dengan warganya dan konstitusinya amat sarat dengan kepentingan individualisme.

 

Kedua, teori pertentangan kelas ala Marx, Engel dan Lenin yang menyebutkan kaum buruh harus menguasai negara –diktator proletariat-, agar negara tak lagi dijadikan kaum borjuis sebagai mesin penindas. Sementara teori ketiga adalah teori integralistik yang diajarkan Spinoza, Hegel dan Adam Muller yang mengedepankan kesatuan (integralistik) negara dengan masyarakat sehingga negara tak diperkenankan memihak golongan warga tertentu.

 

Dari ketiga teori itu, Soepomo cenderung memilih teori integralistik. Di dalam buku Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara, Soepomo menggambarkan dua negara yang saat itu menerapkan paham integralistik, yaitu Jerman Nazi dengan persatuan antara pemimpin dan rakyatnya serta kekaisaran Dai Nippon dengan hubungan lahir batin di bawah keluarga Kaisar Tenno Heika. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, kata Soepomo kala itu.

 

Pada bagian lain dalam sidang BPUPKI itu pula Soepomo sempat menolak masuknya Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam konstitusi. Ia beranggapan konsep HAM adalah produk negara individualistik dimana HAM adalah pemberian alam dan negara. ..menurut pikiran saya aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan declaration of rights, ujar Soepomo.

 

Sikap Soepomo yang menentang habis paham individualistik dan produk turunannya seperti HAM dalam sidang BPUPKI sebenarnya tak bisa dilepaskan dari keahlian Soepomo pada bidang hukum adat. Dalam bukunya berjudul Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Soepomo menegaskan bahwa individu adalah anggota dari masyarakat.

 

Yang primer, menurut Soepomo, bukan individu. Melainkan masyarakat yang berdiri di tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat. Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan.

 

Lantaran mengedepankan paham integralistik ini, Soepomo dicap sebagai penganut negara totaliter dan anti HAM. Di dalam sidang BPUPKI, Soepomo –dan belakangan Soekarno- harus berdebat dengan M. Yamin dan M Hatta tentang konsep HAM dan paham integralistik itu.

 

Setelah meninggal di Jakarta pada 12 September 1958 karena serangan jantung, pro kontra pemikiran Soepomo pun terus berlangsung. Advokat senior Adnan Buyung Nasution misalnya hingga kini masih mengkritik habis pemikiran Soepomo. Di bidang Hukum Tata Negara, yang paling fenomenal adalah Soepomo. Terlepas dari pandangannya yang absurd, mengada-ada dan terlalu berorientasi pada hukum adat, kata pria yang akrab disapa Abang kepada hukumonline lewat telepon.

 

Salah satu pemikiran Soepomo yang absurd terlihat dalam bukunya Bab-bab tentang Hukum Adat. Ia menyebutkan apabila rakyat menderita, misalnya karena wabah penyakit tertentu, panen tidak berhasil, atau ada berbagai peristiwa yang menyedihkan, dianggap sebagai tanda bahwa persekutuan terlantar dan kepala rakyat telah kehilangan kesaktiannya. Ia juga meyakini tiap-tiap masyarakat Indonesia diliputi kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap bahagia.

 

Khusus mengenai gagasan integralistik, Buyung menuturkan, hal itu sangat berpengaruh pada mindset para pemimpin bangsa, terutama Soekarno. Ide Soekarno tentang demokrasi terpimpin, sebagai pemimpin besar revolusi, presiden, panglima tinggi ABRI, sekaligus mandataris MPR, semua itu berangkat dari pemikiran sentralistik Soepomo, kata Buyung yang menggali pikiran dan kiprah Hatta dalam penelitian disertasinya.

 

Pada bagian lain, Buyung menyatakan Soepomo terlalu naif ketika membandingkan konsep integralistik sebagai paham manunggaling kawulo lan gusti –ungkapan yang kental dengan tradisi kejawen- yakni menyatunya pemimpin dan rakyat, sehingga tak dibutuhkan jaminan perlindungan HAM. Itu lah naifnya Soepomo. Karena menganggap persatuan pemimpin negara dengan rakyatnya seperti kesatuan tubuh manusia. Jadi (kata Soepomo) tidak mungkin negara menyakiti rakyatnya.

 

Banyak kalangan beranggapan adanya kesepahaman ide membuat Soekarno mengangkat Soepomo sebagai Menteri Kehakiman selama dua periode. Yaitu pada Kabinet Presidensial (19 Agustus 1945 – 14 November 1945) dan kabinet Republik Indonesia Serikat (20 Desember 1949 - 6 September 1950).

 

Meski mengkritik Soepomo sebagai tokoh yang anti HAM, Buyung dalam sebuah makalah pada sebuah seminar tentang HAM 2006 lalu mengakui bahwa Soepomo tak menyalahgunakan kewenangannya sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945. Buktinya, adalah keberadaan beberapa hak warga negara (Pasal 27, Pasal 30 dan 31) dan hak penduduk (yang bukan warga negara seperti dicantumkan dalam Pasal 28, 29 dan 34) yang dicantumkan dalam UUD 1945.

 

Entah melunak atau kalah berdebat, Buyung menyebutkan bahwa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dirancang Soepomo bersama Yamin justru mengadopsi Deklarasi Universal HAM 1948 secara utuh. Konstitusi RIS itu tak berlaku lama lantaran Negara Indonesia Serikat hanya bertahan selama 10 bulan.

 

Negara Kesatuan Republik Indonesia model 1950 kemudian lahir menggantikan Negara Indonesia Serikat. Konstitusi yang dipakai adalah UUD Sementara 1950. Soepomo dan Yamin lagi-lagi menjadi konseptor UUDS 1950 itu. Bahkan Buyung mengatakan bahwa dalam bukunya tentang UUDS 1950, Soepomo dengan bangganya menambahkan dua buah hak asasi yang belum tercantum dalam DUHAM yaitu hak berdemonstrasi dan hak mogok kerja.

 

Selepas menjabat Menteri Kehakiman, Soepomo dipercaya menjadi Presiden (kini Rektor) Universitas Indonesia periode 1951-1954. Pada 14 Agustus 1999, Presiden BJ Habibie memberikan bintang kehormatan kepada Soepomo.

Tags: