Dr Saharjo, Menolak Dewi Keadilan Demi Pohon Beringin
Edisi Khusus:

Dr Saharjo, Menolak Dewi Keadilan Demi Pohon Beringin

Saharjo dikenal sebagai tokoh hukum yang sederhana, walaupun menjabat Menteri Kehakiman, ia sempat menolak ketika diberikan rumah dinas.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
Dr Saharjo, Menolak Dewi Keadilan Demi Pohon Beringin
Hukumonline

Alkisah, dalam mitologi Yunani, jagat Bumi ini dikuasai oleh 12 Titan. Dipimpin oleh Cronus, ke-12 Titan itu adalah anak dari Uranus (Dewa Langit) dan Gaia (Dewa Bumi). Salah satu dari mereka adalah Themis atau dikenal juga Justitia, Titan wanita yang digambarkan berpipi indah. Kata Themis berarti  hukum alam, ia adalah tubuh dari aturan, hukum, dan adat. Sejumlah sekte menganggap Themis sebagai Dewi yang berperan dalam menentukan kehidupan setelah mati. Dengan membawa seperangkat timbangan, ia akan menimbang kebaikan dan keburukan seseorang.

 

Berabad-abad lamanya, kisah Themis sebagai bagian dari mitologi Yunani tidak lekang dimakan oleh waktu. Selain para sejarahwan serta pemercaya mitologi, masyarakat hukum juga memiliki andil ‘melestarikan' nama Themis. Ia yang selalu diilustrasikan memegang timbangan dan pedang dengan mata tertutup, diidentikkan sebagai simbol keadilan. Terkadang Themis dijadikan logo lembaga atau organisasi hukum di sejumlah negara. Demikian halnya juga di Indonesia.

 

Namun, sejarah hukum Indonesia mencatat bahwa Themis pernah ditentang oleh seorang tokoh hukum. Tokoh itu, Dr Saharjo SH, menolak Dewi Keadilan dijadikan lambang hukum (keadilan) di Indonesia. Alasannya singkat, Themis tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Namun, Pria kelahiran kota Solo, 26 Juni 1909 ini tidak sekedar mengkritik. Ia juga mengusulkan lambang penggantinya yakni pohon beringin.

 

Pohon beringin dipilih karena memiliki ‘multifungsi'. Daun pohon beringin yang lebat, misalnya, bisa dijadikan tempat berlindung dari hujan dan panas. Lalu, batangnya yang kokoh bisa menjadi tempat berlindung dari badai dan topan. Atas dasar itulah, menurut Saharjo, pohon beringin dapat memberikan perlindungan (pengayoman) kepada seseorang yang membutuhkannya tanpa meminta balas jasa. Filosofi pohon beringin dinilai sejalan dengan hukum (keadilan) sebagai tempat berlindung seseorang dari tindakan sewenang-wenang dan ketidakadilan.

 

Ide Saharjo tentang pohon beringin akhirnya diterima dalam Seminar Hukum Nasional tahun 1963. Dilukis oleh pelukis Derachman, Lambang Pengayoman berupa pohon beringin resmi ditetapkan sebagai lambang Kehakiman dan Kejaksaan.

 

Pohon beringin bukan satu-satunya ide original Saharjo. Anak seorang Abdi Dalam Kraton Susuhunan Solo ini juga mengusulkan agar istilah penjara diganti dengan pemasyarakatan, dan orang hukuman menjadi narapidana. Menurutnya, hukuman yang diberikan kepada orang yang bersalah bukan dimaksudkan untuk balas dendam, tetapi mereka dianggap telah menjadi orang yang sesat. Makanya, orang-orang yang bersalah harus dikembalikan ke masyarakat untuk menyadarkan mereka bahwa perbuatannya salah. Filosofi pengayoman, menurut Saharjo, adalah tempat pendidikan, bukan penghukuman. Sekali lagi, ide Saharjo diterima yang kali ini melalui Konferensi Kepenjaraan pada 27 April 1964, di Bandung.

 

Karir di Depkeh

Pohon beringin, pemasyarakatan, dan narapidana adalah tiga torehan cemerlang dari seorang Saharjo semasa mengabdi di Departemen Kehakiman (Depkeh) –sekarang bernama Departemen Hukum dan HAM. Karir Saharjo di Depkeh dimulai ketika Saharjo baru saja tamat dari Rechts Hooge School dengan gelar Meester in de rechten. Ia bekerja di Departement Van Justicia Pemerintah Hindia Belanda.

 

Pada waktu pendudukan Jepang, Saharjo juga pernah memegang jabatan wakil Hooki Kyokoyu atau Kepala Kantor Kehakiman. Ketika itu, atasan Saharjo adalah Prof Supomo SH. Kedekatan Saharjo dengan Supomo sebenarnya telah dirintis sejak masa kuliah. Saharjo dipercaya menjadi Asisten Supomo untuk mata kuliah hukum adat.  Masih di era penjajahan Jepang, Saharjo sempat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Purwakarta, tetapi hanya bertahan delapan bulan karena ia kembali ditarik ke Kantor Kehakiman di Jakarta.

 

Setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, keahlian Saharjo semakin diakui. Ia menjadi bagian dari Gabungan Ahli Hukum Indonesia yang dipimpin oleh Supomo. Para ahli hukum itu diberi tugas menyusun perencanaan organisasi departemen-departemen Pemerintah Republik Indonesia. Bersama Supomo, Saharjo juga dipercaya duduk dalam Panitia Perencana yang bertugas merumuskan pasal demi pasal UUD 1945.

 

Sementara, karir Saharjo di Depkeh pun terus menanjak. Sekitar tahun 1948, Saharjo dipercaya menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Tata Negara. Selama sepuluh tahun, Saharjo memangku jabatan ini dengan beberapa hasil kerja yang fenomenal seperti dua UU Kewarganegaraan (1947 dan 1958) dan UU Pemilihan Umum (1953).

 

Setelah Kepala Bagian Hukum Tata Negara, pos jabatan berikutnya yang diduduki Saharjo adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Depkeh yang sebelumnya dijabat oleh M Besar Martokusumo. Sebelum resmi menjabat Sekjen Depkeh, Saharjo sempat beberapa kali menjadi pelaksana tugas jika Sekjen berhalangan atau pergi ke luar negeri. Puncak karir Saharjo di Depkeh adalah ketika ia dipercaya memimpin departemen itu pada periode Kabinet Kerja I, atau tidak lama setelah Dekrit Presiden 1959.

 

Jabatan Menteri Kehakiman berlanjut disandang Saharjo pada periode Kabinet Kerja II. Periode berikutnya, negara memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada Saharjo. Ia didapuk sebagai Wakil Menteri Pertama Bidang Dalam Negeri yang mengkoordinir Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Mahkamah Agung dan Depkeh.

 

Dokter ‘gagal'

Saharjo yang wafat pada tanggal 13 November 1963, menghabiskan hampir separuh usianya di dunia hukum. Namun begitu, cita-cita awal Saharjo sebenarnya bukan menjadi seorang Mesteer in de rechten ataupun ahli hukum. Begitu lulus dari Europese Lagere School –sekolah dasar khusus anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia dari kalangan bangsawan dan pegawai pemerintahan- di Solo, cita-cita yang terbesit pertama kali adalah menjadi seorang dokter.

 

Memfasilitasi keinginan anaknya, sang Ayah, R Ngabei Sastroprayitno, mengantar Saharjo ke Batavia (Jakarta) untuk sekolah di School tot opleiding voor inlandse artsen (Stovia) atau sekolah kedokteran. Selama sekolah di Stovia, prestasi akademik Saharjo pun baik. Namun, sayang, cita-cita tidak sejalan dengan bakat. Saharjo ternyata tidak suka memotong-motong daging dan tidak tahan melihat darah. Studi di Stovia akhirnya hanya bertahan satu tahun. Saharjo memutuskan keluar dan pindah ke Algemene Middelbare School (AMS) –setingkat sekolah menengah atas-.

 

Setamat dari AMS tahun 1927, Saharjo memilih untuk bekerja sebagai guru di AMS dan Kweekschool Perguruan Rakyat di gang Kenari Jakarta. Memasuki tahun kelima menjadi guru, Saharjo bertemu dengan seorang gadis bernama Siti Nuraini yang kelak menjadi istrinya. Tahun 1933, Saharjo memutuskan untuk melanjutkan studi ke Rechts Hooge School (RHS) atau Fakultas Hukum. Dengan segala keterbatasan yang dialaminya, di RHS lah Saharjo mulai merintis menjadi seorang ahli hukum.

 

Ketika wafat pada usia 54 tahun akibat penyakit pendarahan otak, Saharjo telah dikenal sebagai seorang ahli hukum. Tidak semata karena berbagai torehannya di bidang hukum, Saharjo juga dikenal karena prinsip hidupnya yang sederhana. Hal itu, misalnya tergambar ketika Saharjo yang walaupun memegang jabatan tinggi di Depkeh sempat menolak diberi rumah dinas. Pada akhirnya, rumah dinas itu memang diterima Saharjo dengan pertimbangan keluarga.

 

Kiprah Saharjo di bidang hukum serta bidang kenegaraan lainnya menuai sejumlah penghargaan. Pada tanggal 5 Juli 1963, ketika masih hidup, Saharjo dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu hukum oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dari negara, Saharjo dianugerahi Satya Lencana Kemerdekaan. Lalu, berdasarkan Surat Keputusan Presiden No 245 Tahun 1963 tanggal 29 November 1963, Saharjo ditetapkan sebagai Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

 

Tidak hanya itu, nama Saharjo juga diabadikan sebagai nama jalan yang membentang dan menghubungkan wilayah Manggarai, Jakarta Selatan dengan Pancoran, Jakarta Selatan. Sayang, seperti kebanyakan nama tokoh/pahlawan yang diabadikan sebagai nama jalan, tidak banyak masyarakat yang mengetahui kisah perjalanan Saharjo. Bahkan, kalangan hukum sekalipun.

 

Coba simak perbincangan singkat hukumonline dengan Rio –bukan nama sebenarnya- seorang advokat yang selama kurang lebih tiga tahun ini berkantor di jalan Dr Saharjo:

 

Hukumonline: Anda tahu siapa itu Dr Saharjo

Rio: Dia pasti tokoh kedokteran nasional yang terkenal

 

Referensi:

  • Djalal, Zaidir. 1978. DR. Saharjo SH. Jakarta: Penerbit Mutiara Jakarta.
  • Panyarikan, Ktut Sudiri. 1983. Dr. Saharjo SH. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Saharjo. 5 Juli 1963. Pohon Beringin Pengayoman. Pidato pada upacara penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia.   
Tags: