Obligasi TPI Hanya Akal-akalan Mbak Tutut
Utama

Obligasi TPI Hanya Akal-akalan Mbak Tutut

Kuasa hukum TPI menyatakan penerbitan obligasi hanya untuk menutupi pencatutan uang oleh Mbak Tutut Soeharto. Mbak Tutut diduga menggunakan uang pinjaman TPI sebesar AS$50 juta dan bunga AS$3 juta.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Obligasi TPI Hanya Akal-akalan Mbak Tutut
Hukumonline

 

Meski sudah lunas, lembar asli obligasi berada di Shadik Wadono, orang yang diduga tanan kanan Tutut. Marx menyatakan Shadik diduga mencuri obligasi itu untuk menagih pada TPI melalui dua perusahaan, yakni Fillago Limited dan Crown Capital. Pada 27 Desember 2004, Crown dan Fillago Limited menandatangani Debt Sale and Purchase (perjanjian jual beli utang). Fillago bertindak sebagai pemilik Subordinated Bones yang diterbitkan oleh TPI pada Desember 1998. Obligasi itu jatuh tempo pada 24 Desember 2006.

 

Nah, ketika jatuh tempo, TPI tak jua melunasi utang obligasi. Makanya Crown Capital melalui kuasa hukumnya, Ibrahim Senen, mengajukan permohonan pailit. Namun, Marx berpendapat Crown Capital bukanlah kreditur karena hanya perusahaan fiktif.

 

Pembuktian Tidak Sederhana

Marx menyatakan Pengadilan Niaga tak berwenang mengadili perkara utang piutang TPI dan Crown Capital. Sebab pembuktiannya tidak sederhana. Tak seperti syarat dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Karena itu, majelis hakim diminta menolak permohonan pailit Crown Capital.

 

Menurut Marx, keabsahan surat obligasi itu harus dibuktikan lebih dulu. Kemarin, Senin (29/9), TPI telah mendaftarkan gugatan terhadap Tutut, Indra Rukmana, Shadik Wadono, masing-masing sebagai Tergugat I, II dan III. Crown Capital dan Fillago juga disasar sebagai Tergugat IV dan V. TPI juga mengadukan Shadik dan Tutut ke Polda Metro Jaya.

 

Selain itu, perlu pula dibuktikan kedudukan Fillago selaku limited sebagai pembeli obligasi. Sebab tak ada bukti pembayaran dari Fillago kepada pemegang obligasi terakhir yakni Peregrine Fixed.

 

Marx juga menolak kedudukan Asian Venture Finance Limited selaku kreditur lain seperti dalil Crown Capital. Itu bagian dari rekayasa, kata Marx.

 

Dalam permohonan disebutkan, TPI berutang pada Asian Venture sebesar AS$10,325 juta, belum termasuk denda dan bunga. Utang itu bersumber dari Loan Agreement (perjanjian kredit) yang ditandatangani pada 6 November 1998 dan dibuat di bawah tangan. Perjanjian kredit itu jatuh tempo 12 bulan sejak tanggal penarikan dilakukan oleh Asian Venture.

 

Usai bersidang, kuasa hukum Crown Capital, Ibrahim Senen menampik tudingan TPI. Ibrahim menyatakan tidak benar bila Crown Capital dinyatakan sebagai perusahaan fiktif. Pendirian perusahaannya jelas kok, kalau tidak mana bisa menggugat, katanya.

 

Menurut Ibrahim, obligasi TPI itu berjenis obligasi atas unjuk, sehingga siapapun pemegang obligasi bisa mengajukan tagihan pada penerbit obligasi. Meski demikian, ia tak akan mengajukan replik untuk menyanggah dalil TPI demi efisiensi waktu persidangan. Perkara ini harus diputus pada 19 Oktober 2008, katanya.

 

Persidangan perkara ini akan dilanjutkan, Rabu (07/10), dengan agenda pembuktian dari pihak Crown Capital dan TPI.

Untuk kedua kalinya, Crown Capital Global Limited mengajukan permohonan pailit terhadap PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Kali ini perkaranya teregister dalam nomor perkara No. 52/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST. Permohonan pailit kembali diajukan lantaran TPI belum melunasi utangnya sebesar AS$53 juta. Persidangan lanjutan perkara itu digelar majelis hakim yang diketuai Maryana, Rabu (30/9) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Agenda persidangan adalah pembacaan jawaban atas permohonan pailit.

 

Sebelumnya, Crown Capital perusahaan yang tercatat di British Islands itu melayangkan permohonan pailit yang teregister dalam No. 31/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST. Setelah dua kali bersidang, Crown Capital mencabut permohonan karena ada tawaran perdamaian dari TPI. Belakangan rencana perdamaian itu gagal. TPI tak melunasi utang atas 53 lembar Subordinated Bones Purrchase Agreement. Karena itulah permohonan pailit kembali digulirkan.

 

Kuasa hukum TPI, Marx Adryan menyatakan TPI tak berutang pada Crown Capital. Marx menyatakan obligasi Crown Capital tidak berlaku. Sebab obligasi dikeluarkan hanya untuk menutupi dugaan penggelapan uang TPI yang dilakukan oleh Siti Hardiyanti Rukmana. Ceritanya, pada 16  April 1993 TPI meminjam uang pada Brunei Investment Agency sebesar AS$50 juta dan bunga sebesar AS$3 juta. Namun pinjaman itu masuk ke rekening pribadi anak tertua mantan Presiden RI Soeharto itu.

 

Mbak Tutut�panggilan akrab Siti Hardiyanti�meminta kepada Brunei Investment agar meminta agar uang pinjaman itu dicairkan dan ditransfer ke rekening pribadinya di Chase Manhattan Bank, NA, Singapura. Transfer uang itu lalu dilakukan pada 4 Mei 1993. Mbak Tutut kemudian dua kali meminta Chase Manhattan Bank untuk mencairkan AS$25 juta ke rekening pribadinya di Standard Chartered Bank, New York. "Semuanya dipakai untuk membiayai kepentingan pribadi dan aktivitas politik, tak ada yang masuk ke TPI," kata Marx saat membacakan jawaban.

 

Untuk merekayasa pencatutan uang itu, kata Marx, dibuat rekayasa pinjaman baru dengan meminta bantuan Peregrine Fixed Income Ltd. Caranya, dengan menerbitkan obligasi sebanyak 53 lembar dengan nilai AS$1 juta per lembar. Peregrine bertindak selaku pembeli obligasi itu. Peregrine kemudian membayar pembelian obligasi itu sebesar AS$53 juta pada 26 Desember 1996. Sehari kemudian, TPI langsung melunasi utang obligasi itu, tepatnya 27 Desember 1996, melalui Bank BNI (dahulu BNI '46). Tapi dalam lembar obligasi tertulis seolah-olah jatuh tempo pada 24 Desember 2006, ujar Marx. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: