Kasus Soeharto Diselesaikan Lewat Jalur Hukum Dulu
Berita

Kasus Soeharto Diselesaikan Lewat Jalur Hukum Dulu

Jakarta, Hukumonline. Mantan presiden Soeharto sedang ‘menghitung hari' untuk mengadiri pengadilan dirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang kasus Soeharto ini digelar sebelum 10 Agustus 2000 hampir berbarengan dengan Sidang Tahunan MPR. Mungkinkah kasus Soeharto dapat diselesaikan lewat jalur hukum?

Oleh:
Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Kasus Soeharto Diselesaikan Lewat Jalur Hukum Dulu
Hukumonline
Soeharto telah diperiksa oleh jaksa penyidik berdasarkan surat perintah penyidikan Jaksa Agung No.Print/096 A/J/JA/12/1996 pada 6 Desember 1999 dan No. Print-041/F/FPK.I/3/2000. Mantan Presiden RI ini menjadi tersangka karena perbuatannya pada 1978-1998 yang telah menggunakan kewenangannya dengan menerbitkan peraturan pemerintah, Keppres, keputusan menteri untuk menghimpun dana bagi yayasan yang dipimpinnya.

Atas perbuatannya menggunakan dana yayasan untuk kepentingannya, keluarga dan kroninya, Soeharto diduga melanggar Pasal 1 ayat 1 sub abc, UU No3/71 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 1 ayat 1 dan 2 KUHP.

Dalam bocoran BAP, Soeharto tidak banyak menjawab pertanyaan jaksa penyidik. Pertanyaan menyangkut posisinya sebagai ketua 7 yayasan pun hanya dijawab ya benar atau diam saja. Pada akhirnya Jaksa Agung sendiri menyatakan Soeharto diadili dalam kaitannya dengan kasus tujuh yayasan.

Jalur hukum

Rudy Satria, dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), optimistis kasus Soeharto dapat selesai lewat jalur hukum. Pasalnya, dakwaan yang diajukan oleh tim jaksa penuntut umum hanya terbatas dari pasal-pasal yang didakwakan dan tidak bisa meluas dari itu. Ini berkaitan dengan barang bukti yang sampai ke pengadilan, katanya. Bukti-bukti ini berkaitan dengan formal dan materil dari tindak pidana korupsi.

Rudy menambahkan ini jurus baru untuk menjerat orang-orang yang melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, tidak hanya yang tersurat dari UU tindak pidana korupsi, tetapi juga yang tersirat. Apakah secara kepatutan persiden dapat melakukan hal-hal demikian, seperti mengeluarkan Keppres yang menguntungkan kroninya, ujarnya

Rudy sangat optimis, Soeharto akan terjerat tindak pidana korupsi. Namun, ia mencurigai saksi-saksi yang disumpah olejh pihak kejaksaan. Hal itu patut dicurigai karena yang dicari dalam sidang pidana adalah kebenaran materil dan itu ada di persidangan, cetusnya.

Menurut Rudy, bukti-bukti tidak sekadar formal surat-surat biasa yang ada di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pasalnya, baik hakim, jaksa penuntut, maupun pembeli akan mengejar kebenaran darti kesaksian yang terdapat dalam BAP. Oleh karena Rudy mencurigai apa yang dilakukan pihak Kejaksaan Agung.

Rudy berpendapat, rencana Presiden Abdurrahman Wahid untuk menyelesaikan kasus Seharto dengan pendekatan politik sulit dicapai. Pasalnya untuk penyelesaian hukum sudah ada standar penyelesainnya seperti KUHP, KUHAP, mapun UU tindak pidana korusi. Apabila penyelesaian hukum sudah dilakukan, tidak ada masalah pendekatan politis, seperti pengampunan terhadap Soeharto, ujar Rudy.

Sangat rumit

Kolega Rudy di Fakultas Hukum-UI, Topo Santoso, pesimistis kasus ini akan sampai pada pemidanaan. Pasalnya yang akan diungkit-ungkit adalah masalah kesehatan. Selain itu, masalah pembuktian sangat rumit.

Topo menambahkan, banyak perkara yang keburu ditolak sebelum pada substansi perkara, misalnya karena ini masalah perdata. Saya khawatir akan terjadi pada perkara Soeharto, katanya. Ia melihat targetnya hanya mengejar Sidang Tahunan MPR agar kasus Soeharto ini sudah masuk diproses di pengadilan.

Topo berpendapat, para ahli hukum pidana sendiri melihat kasus Soeharto ini diarahkan ke Undang-Undang No. 3/1971 pasal 1 ayat 1 butir dan (b) menyangkut penyalagunaan wewenang dan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, keluarga, dan lainnya. Saya kira arahnya sudah tepat secara substansi, ujarnya.

Namun Topo menyatakan bahwa pembuktian kasus Soeharto tidak bisa dilakukan pembuktian terbalik. Pasalnya, tindak pidana tersebut terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.31/1999, sehingga masih menggunakan undang-undang No. 3/1971 di mana pembuktian terbaliknya tidak tegas.

Dakwaan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang No.3/1971 pasal 1 ayat 1 butir (a) dan (b) merupakan delik formil. Walaupun orang yang telah melakukan tindak pidana korupsi mengembalikan harta yang dikorupsinya tersebut, pidana terhadap yang bersangkutan tetap dikenakan, ujarnya. Ia mencontohkan seperti seorang pencuri ayam yang tertangkap. Walaupun ayamnya dikembalikan, maling ayam tetap dihukum melakukan tindak pidana pencurian).

Topo menduga penyelesaian kasus Soeharto akan ditempuh secara formil hukum yang telah dilaksanakan dengan adanya persidangan. Kemudian jalan kedua secara politis misalnya pengembalian harta. Akhirnya penyelesaian yang dilakukan adalah setengah-setengah (setengah jalur hukum dan setengahnya penyelesaian politis), kata Topo.

Jika setengah-setengah, dakwaan sebagai ketua yayasan jelas menguntungkan posisi Soeharto. Apalagi pengacara Soeharto telah menyatakan kasus Soeharto mudah dipatahkan di pengadilan. Lagi-lagi pengacara Soeharto juga mempunyai kartu truf: Soeharto tidak bisa diadili karena kesehatannya memburuk. Buntutnya, bisa-bisa kasus Soeharto diselesaikan secara politis.
Tags: