Hadapi Kejahatan Internet, KUHAP Perlu Disempurnakan
Berita

Hadapi Kejahatan Internet, KUHAP Perlu Disempurnakan

Jakarta, hukumonline. Masih ada kekosongan hukum dalam mengatasi kejahatan di internet. Pasalnya, bukti elektronik belum menjadi alat bukti yang sah. Alternatifnya, bisa dipakai kebiasaan dalam dunia internet dan menyempurnakan KUHAP.

Oleh:
Ram/APr
Bacaan 2 Menit
Hadapi Kejahatan Internet, KUHAP Perlu Disempurnakan
Hukumonline

Sampai saat ini, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tidak bisa menjadi rujukan jika terjadi sengketa elektronik. Pasalnya, dalam KUHAP tidak dikenal bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah.

Kesulitan selama ini, jika kasus sengketa elektronik mampir ke pengadilan, tetap saja terjadi kendala pada bagian pembuktian. Perbaikan KUHAP merupakan salah satu cara untuk menghadapi kejahatan internet (cybercrime), yaitu dengan menambahkan data elektronik dalam pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti sah.

Alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP adalah (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) bukti surat, (4) keterangan terdakwa, dan (5) petunjuk. Namun di dalamnya, tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai data elektronik sebagai alat bukti. Padahal data elektronik merupakan bagian yang penting dalam mengungkapkan kasus kejahatan internet (cybercrime).

Terbentur pada pembuktian

Kejahatan internet bukanlah barang baru, hanya modus operandinya yang berubah. Kasus pencurian atau penggunaan kartu kredit yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu lalu dapat dijerat dengan menggunakan KUHP. Sayangnya, UU belum mengakui data elektronik sebagai alat bukti yang sah.

Menurut Arianto Mukti Wibowo, pakar komputer dari  Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI), aktifitas internet pada akhirnya akan sampai ke pengadilan jika terjadi sengketa.

Masalahnya, sengkata ini terbentur pada tahap pembuktian. Pasalnya, UU kita tidak mengakui data elektronik sebagai alat bukti yang sah. Padahal data elektronik tersebut merupakan bagian esensil dari pembuktian kejahatan internet.

Selain perundang-undangan,  sumber daya manusia di bidang hukum yang mengerti  teknologi juga masih menjadi masalah. "Namun, hal itu bisa disiasati dengan peranan seorang ahli dalam memberikan keterangan menyangkut sengketa yang terjadi dari segi teknis," ujar Mukti pada hukumonline.

Tags: