Jimly Asshiddiqie: Lebih Baik UUD 1945 Diganti UUD 2000
Berita

Jimly Asshiddiqie: Lebih Baik UUD 1945 Diganti UUD 2000

Jakarta, Hukumonline. Amandemen Undang-undang Dasar (UUD) menjadi salah satu agenda utama Sidang Tahunan MPR. Namun di tengah perdebatan amandemen itu muncul gagasan baru: mengganti UUD 1945 dengan UUD 2000. Alasanya sederhana: dari pada repot-repot mengganti pasal demi pasal, mengapa tidak diubah sekaligus.

Oleh:
Inay/APr
Bacaan 2 Menit
Jimly Asshiddiqie: Lebih Baik UUD 1945 Diganti UUD 2000
Hukumonline
Adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH yang melontarkan gagasan melawan arus tersebut. Lama tidak terdengar beritanya, pakar hukum tata negara ini mengajukan ‘ide segar' yang berbeda dengan pemikiran pakar lain.

Jimly yang kini aktif di Habibie Centre itu mengusulkan agar rencana perubahan UUD ditetapkan menjadi UUD baru saja. Tidak perlu amandemen, tetapi diganti menjadi UUD 2000, cetusnya. Hal ini karena ada kontroversi yang dinyatakan oleh pakar hukum tata negara Prof. Dr. Harun Alrasid, SH bahwa secara historis UUD 45 tidak pernah disahkan, sehingga itu merupakan UUD yang bersifat sementara.

Jimly menyatakan bahwa memang UUD 45 belum pernah disahkan, tapi sudah berlaku selama 50 tahun, sehingga dapat diberlakukan sebagai konvensi. Namun untuk menyelesaikan kontroversi tersebut, sebaiknya disahkan saja UUD 2000 yang baru.

Alasan lain yang lebih penting adalah dari segi substansi, banyak sekali masalah yang diamandemen. Padahal seharusnya amandemen itu hanya mengganti satu isu saja. Sekarang kan banyak sekali, amandemen pertama saja sudah berapa? Belum amandemen kedua, dan bukan hanya amandemen sederhana, melainkan sangat substantif. Akibatnya sama saja dengan UUD baru, katanya.

Menurut Jimly, apa salahnya menetapkan UUD baru, UUD 2000, yang isinya terdiri dari materi UUD 45, amandemen satu, dan amandemen kedua. Selanjutnya jika akan ada amandemen adalah amandemen kecil-kecil. Ia melihat sekarang lampirannya (mengenai yang diamandemen) lebih tebal dari isinya. Saya rasa selama ini hanya karena ada ketakutan secara psikologis untuk mengganti, sehingga disebut amandemen, ujarnya.

Reposisi lembaga

Dalam diskusi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI) dengan pers mengenai reposisi lembaga tingi negara, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa ada dua mainstream saling bertentangan yang sekarang ini berkembang, yaitu di satu sisi ada keinginan untuk lebih memberdayakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sementara di sisi lain, ada keinginan untuk melakukan pemilihan presiden langsung.

Jimly berpendapat bahwa dengan pemilihan presiden langsung berarti mengubah dari sistem quasi presidensil yang berlaku sekarang menjadi sistem presidensil murni, sehingga peran MPR berkurang, MPR sebagai lembaga tertinggi tidak ada lagi, ujarnya.

Menurut Jimly, kalau masih ingin memperkuat MPR, maka usul pemilihan presiden langsung sebaiknya dilupakan. Ia melihat, sekarang ini cenderung terjadi penambahan-penambahan terhadap kewenangan MPR.

Jimly memberi contoh, kewenangan presiden sesuai dengan UUD 1945 adalah menetapkan UUD dan GBHN serta memilih presiden dan wakil presiden. Namun sekarang PAH II mengusulkan agar MPR dapat mendengarkan laporan presiden dan membahas laporan tersebut.

Jimly menambahkan, sistem yang akan digunakan apakah quasi presidensil ataukah presidensil murni akan berpengaruh pada isu impeachment. Saya setuju impeachment harus masuk dalam UUD, tapi diperjelas dulu sistem apa yang akan kita gunakan, katanya.

Menurut Jimly, MPR tidak bisa menjatuhkan presiden hanya berdasarkan pasal 8 UUD 45 karena harus diatur dulu mengenai impeachment. Pasalnya, sekarang ada kecenderungan MPR mengusulkan Sidang Istimewa (SI). Kita harus hati-hati. SI mana yang dimaksud, apakah SI yang biasa atau SI impeachment. Ini harus dibedakan.

Selain itu, Jimly juga menyatakan bahwa sistem yang sekarang dianut sebenarnya unikameral, tetapi kenyataannya bisa disebut satu setengah kamar. Jika akan menggunakan sistem bikameral, kedua badan yaitu Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), harus diberi hak yang sama, yaitu mempunyai fungsi legislasi.

Biviti Susanti, peneliti dari PSHKI melihat konsep Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ada dalam konsep Panitia Ad Hoc (PAH) I kurang ideal karena bersifat legislasi terbatas. DPD hanya memberi pandangan dan pertimbangan terbatas pada Undang-Undang yang menyangkut daerah. PSHK menginginkan agar Dewan Utusan Daerah (DUD) mempunyai fungsi legislasi.
Tags: