Hibah, Antara Pemberian dan Penyuapan
Fokus

Hibah, Antara Pemberian dan Penyuapan

Ada fenomena yang cukup menarik dari laporan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) baru-baru ini. Fenomena itu bernama Hibah. Ia menjadi cukup menarik karena kata "hibah" ini banyak bermunculan di daftar kekayaan para pejabat negara kita, termasuk anggota MPR/DPR. Dan lebih menarik lagi, hibah ini berkaitan dengan asal muasal harta kekayaan para pemimpin di negeri ini.

Oleh:
Leo/AWi/APr
Bacaan 2 Menit
Hibah, Antara Pemberian dan Penyuapan
Hukumonline

Dari laporan KPKPN terungkap bahwa ada bagian dari harta kekayaan mereka yang diperoleh dari hibah. Contohnya, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang setengah dari total harta kekayaannya sebanyak Rp3.495.720.043 yang dilaporkan ke KPKPN berasal dari hibah yang diperoleh dari kurun waktu 1999-2000. Benarkah yang diterima Gus Dur ini, sebagai salah satu contohnya, bisa dikategorikan sebagai hibah. Bagaimana dengan suap?

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), hibah diatur dalam buku ke tiga tentang perikatan pada bab kesepuluh, mulai dari pasal 1666-1693. Pasal 1666 KUH Perdata mendefinisikan hibah sebagai suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Dari isi pasal 1666 KUH Perdata tersebut dapat diambil rumusan bahwa hibah adalah suatu perjanjian, yang dilakukan sewaktu pemberi hibah masih hidup, diberikan cuma-cuma kepada penerima hibah, dan pemberian tersebut tidak dapat ditarik kembali. Perjanjian hibah digolongkan sebagai perjanjian sepihak karena si penerima hibah tidak dibebankan atau disyaratkan untuk melakukan kontra prestasi sebagai imbalan untuk pemberi hibah.

Penekanan bahwa hibah harus dilakukan selama pemberi hibah masih hidup adalah untuk membedakan hibah dengan testament (surat wasiat) yang baru akan berlaku setelah si pemberi wasiat meninggal dunia. Selain itu, yang membedakan wasiat dengan hibah, isi wasiat bisa ditarik sewaktu-waktu. Sedangkan hibah isinya tidak dapat ditarik lagi, kecuali setelah memperoleh persetujuan dari penerima hibah.

Perjanjian hibah bersifat obligatoir di mana perjanjiannya sudah sah sepanjang syarat-syarat untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur pasal 1320 KUH Perdata telah terpenuhi. Hak miliknya sendiri baru berpindah setelah dilakukan penyerahan (levering). Dapat disimpulkan kalau hibah merupakan suatu alas hak bagi pemindahan hak milik dari pemberi hibah ke penerima hibah.

Sahnya perbuatan hibah

Yahya Harahap dalam salah satu bukunya menjelaskan bahwa hibah harus dimaksudkan untuk menguntungkan atau menambah kekayaan pihak penerima hibah. Artinya, pemberi hibah menyerahkan sesuatu kekayaan secara sukarela dan cuma-cuma untuk dipindahkan menjadi keuntungan dan menambah harta kekayaan penerima hibah.

Apabila barang yang akan dihibahkan merupakan benda tak bergerak seperti sebidang tanah, bangunan, maka perjanjian hibahnya harus dibuat dalam akta notaris. Hal tersebut diatur dalam pasal 1682 KUH Perdata. Fungsi akta notaris dalam hibah merupakan suatu syarat yang esensial di mana hibah benda tak bergerak yang dibuat tidak dengan akta notaris mengakibatkan hibahnya batal.

Tags: