RUU tentang HaKI Bukan Prioritas DPR
Berita

RUU tentang HaKI Bukan Prioritas DPR

Jakarta, Hukumonline. Rencana Dirjen HaKI Zen Purba untuk mengegolkan tiga Rencana Undang-undang (RUU) berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) agaknya tidak berjalan mulus. Pasalnya masih banyak persepsi yang berbeda mengenai HaKI dan RUU-nya.

Oleh:
Tri/APr
Bacaan 2 Menit
RUU tentang HaKI  Bukan Prioritas DPR
Hukumonline
Jika Dirjen HaKI harus bekerja keras mengikuti agenda internasional untuk meloloskan tiga RUU, DPR dan pengamat hukum malah memandang RUU itu tidak terlalu penting. Bahkan, ada yang menganggapnya tidak perlu karena berbau kapitalis.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Hartono Mardjono, mengatakan bahwa RUU HaKI yang diajukan Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak masuk prioritas pembahasan Dewan. Pasalnya, menurut Hartono, RUU tersebut dinilai tidak penting untuk dibahas. UU tersebut hanya untuk negara-negara yang sudah maju, ujarnya di sela-sela sebuah seminar.

Menurut Hartono, RUU HaKI hanya merupakan rekomendasi dari IMF. Ia menyatakan, Dewan menambahkan bab tambahan ke dalam RUU Paten yang diajukan Pemerintah. Kalau murni seperti yang diajukan Pemerintah merupakan pemberlakuan riba' yang paling dahsyat. Karena semuanya monopolistik dan konsumen dirugikan, cetusnya.

Produk kapitalisme

Senada dengan Hartono Mardjono, Munir dari Kontras juga menilai bahwa RUU HaKI yang diajukan Pemerintah untuk menyempurnakan Undang-undang HaKI sebelumnya merupakan produk kapitalisme.

Munir mengambil contoh tempe yang telah dipatenkan oleh orang Jepang. Padahal tempe merupakan produk dagangan Indonesia, tetapi tidak didaftarkan. Namun siapa yang mendaftarkan dulu, dialah yang memiliki hak tersebut. Padahal mungkin produknya telah ada sejak dulu.

Kelihatannya, pemegang paten sangat dimanjakan. Orang yang memproduksi barang yang sudah dipatenkan harus membayar lisensi kepada pemegang paten. Sementara pemegang paten tidak perlu lagi bekerja dan cukup tinggal di rumah serta mendapatkan hasilnya.

Munir menyatakan tidak ada yang salah dalam peristiwa Glodok, Jakarta. Ia mencontohkan, penangkapan oleh polisi kepada pemalsu baterai Nokia hanyalah untuk kepentingan pabrik Nokia. Apakah rakyat bangkrut karena ada pembajakan baterai Nokia, saya kira tidak.

Mengejar teknologi

Menurut Munir, Thailand memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk membajak produk-produk luar sampai mereka mampu bersaing dengan produk asli dan akhirnya mampu membuat merek sendiri. Iran dan Taiwan juga banyak melakukan pembajakan ketika mereka merasa ketinggalan teknologi dan peradaban.

Dua negara tersebut adalah negara yang paling besar membajak buku-buku dari Eropa. Banyak buku-buku tersebut diterjemahkan dalam bahasa lokal agar semua orang dapat membaca. Buku-buku itu dicetak dan dijual secara massal dan murah. Mereka berpikir kalau hanya mengikuti sebagai alat kapital, mereka tidak mampu membeli dan membaca buku.

Itulah yang dilakukan di Iran di kota suci Qom yang dipimpin oleh seorang Mullah dan mereka berhasil membantah tesis bahwa itu bukanlah bajakan karena ilmu bukan untuk didominasi, tetapi untuk disebarkan. Kalau ilmu itu didominasi dan menjadi alat kapital itu akan berbahaya. ujar Munir

Kondisi di Taiwan tidak jauh berbeda dengan Taiwan. Buku-buku dicetak secara besar-besaran, sehingga perkembangan ilmu pengetahuannya pesat dan melahirkan penulis-penulis lokal. Dengan cara tersebut, buku-buku yang dihasilkan sangat bermutu, ujar Munir.

Namun kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia. Sejak mendapatkan tekanan internasional mengenai hak cipta dan paten, buku tidak boleh macam-macam dan kualitas buku yang dihasilkan sangat rendah dan semakin. Kita tidak memiliki penulis-penulis yang berkualitas baik, sehingga tidak muncul generasi intelektual yang bermutu, ujar Munir.

Munir berpendapat sangat susah kalau mengikuti dominasi modal terhadap HaKI. Misalnya, USAID yang memberikan dana kepada penerbit-penerbit yang mau menerbitkan buku penulis-penulis Amerika. Buku-buku yang akan diedarkan di Indonesia, telah ditentukan oleh orang lain. Saya mendukung agar DPR berjuang untuk menentang dominasi-dominasi modal yang menyebabkan proses pembodohan bangsa, tegasnya.

Jika dilihat dari satu sisi, pendapat Munir mungkin ada benarnya. Teknologi China berkembang pesat karena mencontek dan memodifikasi teknologi Barat. Masalahnya, cukup puaskah bangsa Indonesia dicap sebagai pembajak? Kalau itu pilihannya, dalam era perdagangan bebas, Indonesia akan dimusuhi oleh negara-negara Barat, khususnya AS sebagai ‘polisi' HaKI internasional.

Kalau mau benar-benar lepas, tentu saja Indonesia harus meninjau kembali keikutsertaanya dalam konvensi HaKI internasional. Untuk apa kita mempermasalahkan kesiapan kita saat Indonesia kembali meratifikasi berbagai konvensi HaKI internasional, jawab Dirjen HaKI dalam kesempatan lain..

Toh, perdebatan antara berbagai pejabat dan tokoh ini dapat membuka mata bahwa kita belum satu bahasa mengenai HaKI. Makin sering duduk bersama, tentu kesenjangan makin berkurang.
Tags: