Bank IFI Vs. Bank Danamon
Pakar HTN Jadi Saksi Ahli Kasus Kepailitan
Berita

Bank IFI Vs. Bank Danamon
Pakar HTN Jadi Saksi Ahli Kasus Kepailitan

Pengadilan Niaga telah kedatangan tamu-tamu istimewa. Ismail Sunny, pakar hukum tata negara (HTN) dan Fred Tumbuan, pakar hukum kepailitan, hadir di Pengadilan Niaga dalam kapasitasnya sebagai saksi ahli pada perkara kepailitan antara Bank IFI versus Bank Danamon. Kenapa pakar hukum ketatanegaraan diminta menjadi saksi ahli untuk kasus kepailitan?

Oleh:
Leo/APr
Bacaan 2 Menit
<font size='1' color='#FF0000'><b>Bank IFI Vs. Bank Danamon</b></font><BR> Pakar HTN Jadi Saksi Ahli Kasus Kepailitan
Hukumonline

Giliran dua saksi ahli ditambah satu saksi fakta memberikan penjelasan ke majelis hakim pada lanjutan perkara kepailitam antara Bank IFI versus Bank Danamon pada 29 Mei 2001. Saksi ahli yang pertama memberikan kepada majelis Pengadilan Niaga adalah Prof. Ismail Sunny.

Ismail diajukan menjadi saksi ahli oleh Bank IFI untuk memberikan penjelasan mengenai penafsiran suatu perundang-undangan. Khususnya,  mengenai penafsiran pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No.14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Isinya, menyatakan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Awalnya, kapasitas Ismail Sunny sempat dipertanyakan oleh Amir Syamsudin selaku kuasa hukum Bank Danamon. Penyebabnya, Ismail Sunny pernah menjadi klien langsung dari kuasa hukum Bank IFI, Hotman Paris Hutapea, pada perkara PT Kadi Internasional melawan PT Wisma Calindra. Ismail Sunny saat itu menjabat sebagai Komisaris Utama di PT Wisma Calindra.

Keberatan Amir Syamsudin tersebut langsung dibantah oleh Hotman Paris. Alasannya, dalam aturan mengenai saksi yang dilarang menjadi saksi ahli adalah yang memiliki hubungan darah, hubungan keluarga, dan hubungan pekerjaan dengan para pihak, bukan dengan kuasa hukumnya. "Jadi keberatannya tidak sesuai dengan UU. Lagi pula Ismail Sunny tidak pernah menjadi klien kami secara pribadi, tapi hanya badan hukumnya," kata Hotman.

Terobosan UUK

Dalam kesaksiannya Ismail Sunny menyatakan sependapat dengan kuasa hukum Bank IFI untuk membuat terobosan pasal 1 ayat(3) Undang-Undang Kepailitan (UUK).

Terobosan itu perlu lantaran di pasal tersebut tidak ada penjelasan atau belum diatur sikap Bank Indonesia (BI) apakah boleh menolak atau harus meneruskan permohonan pailit yang diajukan terhadap suatu bank melalui BI. Di pasal 1ayat (3) UUK disebutkan bahwa dalam hal debitur suatu bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh BI.

Menanggapi jawaban BI atas permohonan pailit Bank IFI yang disampaikan ke BI, Ismail Sunny berpendapat kalau isi jawaban BI tidak relevan. Penyebabnya, BI menjawab masalah kepailitan dengan UU Perbankan. "Itu jawaban yang irrelevan, harusnya BI menjawab permohonan pailit tersebut berdasarkan UUK," ujar Ismail.

Tags: