Para tergugat yaitu tergugat I PT Paiton Energy, tergugat II PT PLN, tergugat II Mentamben, dan tergugat IV Kuntoro Mangkusubroto dalam sidang pada 28 Mei 2001 mengajukan eksepsi terhadap gugatan DPP Serikat pekerja PLN terhadap kepada keempat tergugat.
PT Paiton Energy, melalui kuasa hukumnya Frans Hendra Winata, mengajukan eksepsi mengenai kewenangan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk mengadili perkara tersebut. Menurut Frans, sengketa mengenai power purchase agreement (PPA) atau pembelian tenaga listrik tunduk pada ketentuan perjanjian arbitrase.
Menurut Paiton dalam eksepsinya, penggugat bukan merupakan pihak dalam PPA. Namun karena penggugat meminta PPA dibatalkan, jiwa dari PPA tersebut tunduk pada ketentuan bahwa segala sengketa yang timbul dari atau sehubungan dengan PPA tersebut, termasuk sengketa mengenai keabsahan PPA harus dibuktikan melalui forum arbitrase.
Apalagi jika penggugat menyatakan dirinya sebagai bagian integral dari PLN sebagaimana dinyatakan dalam gugatannya, maka klausul tentang arbitrase ini berlaku bagi pengugat.
Klausula arbitrase
Hukum Indonesia, khususnya pasal 10 huruf h UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan penyelesaian sengketa secara jelas menentukan bahwa perjanjian untuk menyelesaiakan sengketa melalui arbitrase atau klausula arbitrase dapat dilaksanakan sekalipun jika perjanjian pokok batal.
Selain itu, pasal 3 jo pasal 11 UU Arbitrase secara jelas menyatakan bahwa perjanjian arbitrase meniadakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengadili perkara di mana para pihak telah secara tegas memilih arbitrase.
Menurut Paiton, dalam pasal 18.1 dan pasal 18.3.1 PPA, para pihak secara tegas telah sepakat bahwa jika sengketa tidak dapat dilaksanakan dalam waktu tiga puluh hari melalui perundingan bersama, satu-satunya cara untuk menyelesaikan sengketa adalah melalui arbitrase menurut peraturan Arbitrase UNCITRAL di Stockholm, Swedia.