Mereka, di Balik Bank IFI vs Bank Danamon
Fokus

Mereka, di Balik Bank IFI vs Bank Danamon

Di tangan mereka lah nasib perkara Bank IFI versus Bank Danamon di Pengadilan Niaga akan ditentukan. Hukumonline mencoba merangkum 'hasil kerja' mereka dengan sedikit catatan mengenai track record mereka selama ini di Pengadilan Niaga.

Oleh:
Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Mereka, di Balik Bank IFI vs Bank Danamon
Hukumonline

Siapa saja mereka, dan bagaimana kontribusi mereka terhadap putusan kasus ini yang sedianya akan dijatuhkan pada Rabu (6/6)? Siapa yang akan menang?

 

Bank IFI

(Pemohon Pailit)

Didirikan pada 1995 sebagai suatu Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dengan nama PT Indonesian Finance and Investment Company. Berubah status menjadi Bank Umum pada  Februari 1993. Bank yang dinakhodai oleh Harry Rachmadi ini saham-sahamnya dimiliki oleh Bank Bapindo, Bank BTN dan Grup Ramako. Motto-nya: Ramah-Mudah-Terpercaya. Utang Bank Danamon sebenarnya timbul dari Bank Nusa Nasional (BNN) yang memberikan pinjaman ke PT Riau Prima Energy (RPE). Bank IFI ikut dalam perjanjian sub partisipasi dengan BNN. Bank IFI meng-klaim Bank Danamon memiliki total utang AS$12.199.015 akibat utang pokok senilai AS$5 juta yang tak kunjung dibayar.

Bank Danamon

(Termohon Pailit)

Didirikan pada 16 Juli 1956 dengan nama PT Bank Kopra Indonesia. Berubah nama menjadi Bank Danamon Indonesia pada 1976. Memperoleh status perusahaan publik sejak 1989. Pada 2000 menerima merger 8 bank nasional, sehingga total sekarang memiliki 500 cabang plus 12.838 karyawan. Utangnya ke Bank IFI justru timbul akibat merger tadi lantaran BNN, salah satu Bank yang ikut merger, belum melaksanakan kewajibannya ke Bank IFI. Dari seluruh asset Bank Danamon, tiga perempatnya merupakan obligasi pemerintah.

Subardi

(Ketua Majelis Hakim)

Sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merangkap Ketua Pengadilan Niaga, inilah kali pertamanya ia menangani perkara kepailitan. Ia menolak bila disebutkan pertimbangan utamanya memeriksa kasus ini karena sorotan publik yang demikian besar. Ia menangani kasus ini semata-mata perkara yang ditanganinya mulai berkurang. Sebelum menjadi Ketua PN Jakpus, pernah menjabat sebagai Ketua PN Semarang. Pernah menangani kasus yang melibatkan Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum Bank IFI,  pada perkara BLBI yang melibatkan Kejaksaan melawan Bank Pelita dan Bank Istimarat di PN Jakpus. Belum ada putusan menyangkut perkara tersebut. Vonisnya yang kontroversial ketika menghukum Bob Hasan 'hanya' dengan penjara dua tahun.

Ch. Kristi Purnamiwulan

(Anggota Majelis Hakim)

Ingat dugaan kreditur fiktif di Pengadilan Niaga ingat Davomas. Ingat Davomas, pasti ingat Ch. Kristi Purnamiwulan. Dialah sang hakim ketua yang memutus kasus Davomas. Indikasi adanya kreditur fiktif yang demikian kuat, termasuk ketika saksi korban akan memberikan kesaksian, dikesampingkan olehnya. Hotman Paris menjadi kuasa hukum Davomas ketika itu.

Mahdi Soroinda Nasution

(Anggota Majelis Hakim)

Dikenal sebagai hakim yang jarang mempailitkan debitur. Prinsipnya, kepailitan justru akan lebih merugikan kreditur. Mahdi biasanya akan mengupayakan mekanisme PKPU ketimbang memailitkan debitur. Namun, sempat "kebablasan" ketika memberikan PKPU ke PT Tirtamas Comexindo. Ia memberikan tambahan 30 hari ketika memberikan PKPU kepada Tirtamas. Padahal waktu PKPU yang diberikan sudah maksimal, yaitu 270 hari. Lucunya, PKPU Tirtamas berakhir tanpa kepailitan atau homologasi (pengesahan perdamaian). Kuasa hukum Tirtamas saat itu: Hotman Paris Hutapea.

Hotman Paris Hutapea

(Kuasa Hukum Bank IFI)

Julukannya "Si Jago Pailit". Bukannya jago mempailitkan orang, tapi lebih tepat jago menghindari orang dari pailit. Kelihaiannya berperkara dan beracara di Pengadilan memang mengagumkan. BPPN dan lawan-lawannya seringkali frustrasi kalau menghadapinya di Pengadilan Niaga. Reputasinya di situ sangat "harum", baik di mata kliennya maupun lawan-lawannya. Termasuk di mata hakim-hakim? Kasus-kasus yang ditanganinya selalu kontroversial, mulai dari Davomas Abadi, Tirtamas Majutama, Tirtamas Comexindo,dll. Ketika mewakili Bank IFI beberapa bulan lalu, Hotman sukses mempailitkan pengusaha Fadel Muhammad.

Amir Syamsudin

(Kuasa Hukum Bank Danamon)

Menurut catatan hukumonline, sangat jarang berperkara di Pengadilan Niaga. Sempat menjadi kuasa hukum Modern Land Realty pada perkara Hussein Sani vs. Modern Land Realty. Selain itu pernah menjadi kuasa hukum PT Citra Marga Satria Persada (CMSP), perusahaan milik Mbak Tutut, yang berhasil dipailitkan oleh Bank IFI dua bulan lalu. Yang 'memperburuk' track-record-nya, di saat akhir, pihaknya mundur sebagai kuasa CMSP tanpa alasan yang jelas. Sempat mengeluarkan pernyataan kalau Pengadilan Niaga bukanlah kampung halamannya. Dirinya merasa hanya menjadi pendatang dari pribumi yang ada di sana.

Ismail Sunny

(Saksi Ahli)

Kredibilitas dan integritasnya memang jadi pertanyaan ketika ia diminta menjadi saksi ahli oleh kuasa hukum Bank IFI. Pasalnya, ketika sebuah perusahaannya (PT Wisma Calindra) dipailitkan oleh Pengadilan Niaga, ia menyewa Hotman Paris sebagai kuasa hukum. Faktanya, di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali Wisma Calindra terhindar dari pailit. Dalam kesaksiannya, mantan Dubes Indonesia di Arab Saudi ini banyak memberikan penafsiran UUK walaupun dikenal sebagai pakar HTN.

Fred Tumbuan

(Saksi Ahli)

Hotman Paris secara spontan menyebutkan kalau Fred Tumbuan adalah saksi yang paling jujur saat didengar keterangannya. Partner di kantor konsultan hukum Tumbuan Pane ini menegaskan pasal 1 ayat(3) fungsinya adalah sebagai pagar untuk menghindari agar bank tidak dengan mudah dipailitkan oleh krediturnya. Namun, Fred menyerahkan ke majelis hakim untuk memutuskan seandainya pasal 1 ayat(3) UUK tidak digunakan oleh BI

Yunus Husein

(Saksi Fakta)

Mantan Senior Hotman Paris di Bank Indonesia. Dialah salah satu tokoh kunci kasus ini. Dalam surat tertanggal 11 Mei, yang ditandatangani Yunus Husein, BI menyatakan tidak dapat menerima permintaan bank IFI untuk mempailitkan bank Danamon. Alasannya, BI tidak mengenal mekanisme kepailitan. Majelis harusnya serius menilai surat dari BI untuk menilai apakah BI telah tidak menggunakan kewenangannya di pasal 1 ayat (3) UUK sebagaimana disampaikan Hotman Paris.

 

 

Tags: