Kepmenhubtel yang Menuai Badai Protes
Fokus

Kepmenhubtel yang Menuai Badai Protes

"Siapa menebar angin, akan menunai badai." Kenaikan tarif telepon yang "tidak wajar" ternyata menunai badai protes masyarakat. Repotnya, Kepmenhubtel No. 19/2001 yang ditandatangani oleh mantan Menhub Agum Gumelar ternyata substansi tidak dipahami oleh pihak Telkom dan pemerintah. Karena itu Kepmen ini bisa "batal demi hukum".

Oleh:
Ram/APr
Bacaan 2 Menit
Kepmenhubtel yang Menuai Badai Protes
Hukumonline

Telkom dalam dengar pendapat dengan DPR pada 6 Juni 2001 mencoba memberikan keterangan. Namun, penjelasan yang diberikan Telkom tidak memberikan jawaban atas keresahan yang dialami oleh masyarakat. Tidak transparannya pemerintah dan Telkom dalam memberikan informasi kepada publik merupakan kesalahan yang harus dibayar mahal.

Telekomunikasi merupakan milik publik, demikian pula informasi yang berkaitan dengannya. Dalam penentuan kebijakan kenaikan tarif, sudah selayaknya pemerintah melibatkan masyarakat. Hal ini harus dilakukan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD '45 jelas memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi.

Kesenjangan informasi

Dalam Kepmenhubtel No. 19/2001 tentang Tarif Jasa Telepon Tetap Dalam Negeri dan Birofax Dalam Negeri, pemerintah bersama Telkom tidak menjelaskan secara rinci kenaikan yang terjadi. Pemerintah dan Telkom agaknya tidak memperkirakan bahwa reaksi masyarakat terhadap kenaikan tarif telpon sangat keras.

Ada tiga komponen kenaikan, tetapi hanya satu yang disampaikan oleh pemerintah melalui Kepmenhubtel, yaitu perubahan tarif saja. Dua komponen lainnya tidak disampaikan, berupa perubahan durasi (lama pembicaraan) dan pembagian jarak satuan sambungan telepon, yang sebenarnya akan menentukan besarnya tarif yang harus dibayarkan.

Bila ditilik lebih jauh, seharusnya ketiga komponen tersebut diinformasikan kepada publik, dan tidak perlu menunggu bekerjanya "detektif swasta" sekelas R.M Roy Suryo yang tidak punya pengalaman dalam mengungkap kejahatan. Roy adalah pengamat multimedia yang pertama kali mengemukakan ketidakwajaran tarif telepon yang rencananya akan berlaku pada 10 Juni 2001 ini.

Adanya kesenjangan informasi antara pemerintah dengan masyarakat ini merupakan kejahatan moral yang tidak ada pidananya. Namun, akan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Mungkin tidak hanya pemilik fasilitas telepon saja yang akan dirugikan, tapi juga  masyarakat pemanfaat warung telekomunikasi (wartel).

Siapa yang dapat menghitung secara pasti, berapa tarif sebenarnya yang harus dibayarkan. Mungkin tidak ada, termasuk pemerintah, Telkom, atau bahkan Roy Suryo sendiri. Asumsi yang muncul mungkin bisa puluhan cara penghitungan. Siapa yang dapat dijadikan acuan, Telkom yang dibentengi oleh pemerintah atau pengamat seperti Roy Suryo.

Halaman Selanjutnya:
Tags: