Anggota DPR yang tergabung dalam Komisi II merasa puas terhadap Jaksa Agung yang baru, Baharuddin Lopa, yang menggantikan Marzuki Darusman pada 1 Juni 2001. DPR sempat khawatir bahwa Lopa hanyalah kepanjangan tangan dari Presiden Abdurrahman Wahid untuk "menghajar" DPR. Namun, Lopa menjawab keraguan itu dengan pernyataannya yang tanpa basa-basi hingga mengundang tepuk tangan anggota dewan.
Dalam rapat kerja yang berlangsung pada 18 Juni 2001 selama 5,5 jam, Lopa dicecar oleh anggota Komisi II dengan pertanyaan seputar rencana pemeriksaan Kejagung terhadap Akbar Tandjung dan Arifin Panigoro.
Selain itu, Lopa juga ditanya soal penanganan kasus-kasus lain, seperti kasus Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu, kasus HM. Soeharto, Kasus-kasus BLBI, dan rencana Lopa untuk memburu Tommy Soeharto.
Sebelum menjawab pertanyaan anggota Komisi II seputar penanganan kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan masyarakat, Lopa kelihatannya sangat antusias terhadap pertanyaan seorang anggota DPR yang berasal dari F-PDIP. Lopa ditanya seputar penanganan kasus di daerah-daerah konflik Aceh dan Ambon.
Menjawab pertanyaan tersebut, Lopa yang didampingi jajaran teras Kejagung menjelaskan penanganan pelanggaran hukum di daerah konflik. Ia mengakui penanganan pelanggaran hukum tidak berjalan. Hal ini karena memang ketiadaan aparat penegak hukum (seperti hakim dan jaksa), sedangkan untuk polisi sendiri cukup.
Permasalahan kekurangan tenaga aparat penegak hukum tersebut sudah diketahuinya sejak masih menjabat menteri kehakiman dan HAM. Dan untuk menyiasatinya, dirinya sudah meminta kepada Dirjen Anggaran untuk mengirimkan 100 orang hakim.
Alasan Lopa, banyak pengadilan negeri di Maluku tidak ada hakimnya. "Yang ada paling cuma ada satu hakim. Dan itu pun masih tetap tidak jalan juga karena syarat jalannya persidangan minimal ada tiga orang hakim," ujar Lopa.