Laode M. Kamaluddin: BI Jangan Dibubarkan
Berita

Laode M. Kamaluddin: BI Jangan Dibubarkan

Jakarta, Hukumonline. Tak salah bila banyak yang beranggapan Panitia Ad Hoc I (PAH) BP MPR sudah menjurus pada penyiapan draf pergantian. Bukan hanya sekadar draf perubahan UUD 1945. Badan-badan kenegaraan, seperti MPR dan DPR, dirombak total. Ketentuan-ketentuan yang tadinya tak termuat dalam batang tubuh UUD 1945 juga ikut dimasukkan. Salah satunya mengenai ketentuan bank sentral.

Oleh:
Rfl/APr
Bacaan 2 Menit
Laode M. Kamaluddin: BI Jangan Dibubarkan
Hukumonline

Sebelumnya, ketentuan mengenai bank sentral ini telah termuat dalam penjelasan UUD 1945 Pasal 23. Namun karena PAH I telah mencapai konsensus untuk meniadakan penjelasan, materi-materi yang penting sedapat mungkin masuk dalam batang tubuh. Jadilah tentang bank sentral ikut pula diatur dalam UUD 1945.

Celakanya, pengaturan itu justru akan membuat riwayat Bank Indonesia sebagai bank sentral akan segera tamat. Pasalnya, Panitia Ad Hoc I (PAH) Badan Pekerja (BP) MPR telah memberi peluang bagi terbentuknya lembaga otoritas keuangan lain di luar Bank Indonesia (BI).

Sejauh mengenai bank sentral, PAH I BP MPR telah menggelar dua alternatif. Pertama, (1) Negara Republik Indonesia memiliki satu Bank Sentral, yakni Bank Indonesia yang berwenang mengeluarkan dan mengedarkan mata uang. (2) Susunan, kedudukan dan wewenang lainnya akan diatur dengan undang-undang.

Kedua, Negara Republik Indonesia memiliki Bank Sentral atau lembaga otoritas keuangan lainnya yang independen dan berwenang mengeluarkan dan mengedarkan mata uang, yang susunan, kedudukan dan wewenangnya diatur dengan undang-undang.

Motif tertentu

Menurut Laode M. Kamaluddin, alternatif pertama tak menimbulkan persoalan karena mengikuti saja mekanisme yang sudah ada. Tapi, alternatif kedua, terutama berkait dengan kalimat "...atau lembaga otoritas keuangan lainnya..." akan membuat Bank Indonesia habis riwayatnya. Sebab, fungsinya akan diganti oleh lembaga baru itu yang bisa betul-betul baru atau sekadar metamorfosis BI.

Laode menengarai, ada motif-motif tertentu mengapa muncul alternatif kedua itu. Antara lain, pemerintah atau eksekutif ingin tetap campur tangan dalam urusan bank sentral. Berikut wawancara dengan Laode Kamaluddin, ekonom yang juga anggota DPR dari Utusan Daerah.

Menurut Anda, mengapa muncul alternatif kedua itu?

 Pertama, ada kekhawatiran kalau BI independen dan menjalankan fungsi finansial sesungguhnya, eksekutif akan mengalami kesulitan. Jadi, perhitungan praktis. Sebenarnya, tidak boleh dikorbankan kepentingan bangsa di jangka panjang. Kedua, ada kelompok-kelompok di PAH I yang anti terhadap peranan BI yang independen dalam me-manage dan mendistribusikan mata uang. Kelompok itu memang menjadi terlalu liberal.

Bagaimana penilaian Anda terhadap munculnya alternatif kedua itu?

Tampaknya teman-teman di PAH I tidak mempunyai pemahaman mendalam terhadap fungsi-fungsi keuangan. Orang Indonesia itu begini, kalau A tidak, B tidak, ya C. Jadi, kompromi-kompromi begitu. Cara berpikir kompromistis begitu kan tidak selalu tepat. Kalau tidak setuju orang-orangnya, jangan sistemnya yang dikadali.

Menurut Anda, sistem yang sekarang sudah benar?

Ya. Bahwa aparatnya banyak yang korupsi seperti yang dituduhkan, ya, mereka itu saja yang diganti. Penghayatan teman-teman di PAH I terhadap peranan bank sentral tidak mendalam.

Anda mengatakan eksekutif masih ingin berperanan dalam soal keuangan. Bisa dijelaskan?

Begini, kalau pemerintah tidak setuju dengan kebijakan BI, bisa diambil langkah alternatif itu, yaitu membentuk otoritas keuangan lainnya. Misalnya, soal CBS (Current Board System) yang dulu pernah diributkan. Kalau pemerintah ingin menerapkan CBS, ya dengan lembaga baru itu, bukan BI. Kalau lembaga lain yang berperanan, BI jadi impoten. Habis.

Berarti bila lembaga baru itu dimunculkan BI tidak ada lagi?

Tidak ada. Bubar. Siapa yan mencetak dan mengedarkan uang, serta menjaga stabilitas moneter, kan itu persoalannya. Begitu yang lain dimunculkan, otomatis BI bubar. Tidak ada lagi karena alternatif kedua itu memakai kata "atau".

Kalau dibentuk otoritas baru, bukankah tak ada bedanya dengan BI?

Betul. Tapi BI yang sekarang menganut faham liberal. Dengan BI yang sekarang, mata uang Indonesia itu adalah mata uang global, boleh diperdagangkan. Nilai tukar uang kita itu global. Jika dengan lembaga baru ini bisa saja nilai tukarnya ditentukan.

Menurut Anda, baiknya bagaimana?

Sistem sekarang saja yang dipertahankan. BI yang sekarang sudah baik. Orangnya saja yang diganti kalau dicurigai (melakukan korupsi). Peranan yang sekarang sudah betul, tapi belum dioptimalkan. Masalah di BI terletak pada orangnya, bukan sistem.

Tags: