Perkara Cybercrime Butuh Prinsip Ubikuitas
Berita

Perkara Cybercrime Butuh Prinsip Ubikuitas

Guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro, Barda Nawawi Arief, mengusulkan untuk memberlakukan prinsip ubikuitas (the principle of ubiquity) atas tindak pidana mayantara (cybercrime). Alasannya, saat ini semakin marak terjadi cybercrime seiring dengan pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia.

Oleh:
Muk/Ram/Apr
Bacaan 2 Menit
Perkara <I>Cybercrime</I> Butuh Prinsip Ubikuitas
Hukumonline

Hal ini penting mengingat RUU Teknologi Informasi sedang didraf oleh Pusat Kajian Cyberlaw Unpad memiliki konsep pengaturan umbrella provision. Artinya, UU ini akan mencjadi acuan bagi peraturan lainnya agar terjadi sinkronisasi.

Barda berpendapat mayantara (cyberspace) merupakan bagian atau perluasan lingkungan (environment) dan lingkungan hidup yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya. Jadi, ada  kepentingan hukum  yang harus dilindungi. Ia melihat, dalam tindak pidana lingkungan, prinsip ubikuitas telah diberlakukan.

Yang dimaksud dengan prinsip atau azas ubikuitas adalah prinsip yang mengatakan bahwa delik-delik yang dilakukan atau terjadi di sebagian wilayah teritorial negara dan sebagian di luar wilayah teritorial suatu negara (ekstrateritorial) harus dapat dibawa ke dalam yurisdiksi setiap negara yang terkait. Hal ini diakuinya, memang masih baru dan tentunya memerlukan kajian-kajian yang lebih mendalam.

Barda mengusulkan penerapan prinsip ini  karena menangkap kesan dalam draf konvensi cybercrime yang diajukan oleh Dewan Eropa tetap memberlakukan berbagai prinsip-prinsip atau azas hukum pidana yang tradisional,  seperti prinsip teritorial, prinsip teritorial yang diperluas, dan nasionalitas aktif. Ia heran, kenapa prinsip universal dan ubikuitas ini tidak dipergunakan dalam draf konvensi tersebut.

Internet tidak lepas dari yurisdiksi negara

Barda berpendapat bahwa yurisdiksi personal terhadap pengguna internet dapat diterapkan dalam kasus-kasus kejahatan mayantara. Ia mengutip pendapat Masaki Hamano yang bicara tentang  Comparative Study in the Approach to Jurisdiction in Cyberspace.

Dalam bukunya, Masaki menjelaskan, ada tiga yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam cyberspace. Pertama, yurisdiksi legislatif di bidang pengaturan. Kedua, yurisdiksi  judisial, yakni kewenangan negara untuk mengadili atau menerapkan kewenangan hukumnya. Ketiga, yurisdiksi eksekutif untuk melaksanakan aturan yang dibuatnya.

Barda sependapat dengan Masaki bahwa sistem hukum dan yurisdiksi nasional/tertorial memang mempunyai keterbatasan. Cyberspace sama sekali tidak terbebas dari peraturan negara, meskipun negara memiliki keterbatasan dalam mengatasi problem.

Halaman Selanjutnya:
Tags: