Gara-gara Ayam, Dua Mahasiswa Dituding Lakukan Contempt of Court
Fokus

Gara-gara Ayam, Dua Mahasiswa Dituding Lakukan Contempt of Court

Oleh:
Nay/Awi/APr
Bacaan 2 Menit
Gara-gara Ayam, Dua Mahasiswa Dituding Lakukan <I>Contempt of Court</I>
Hukumonline

Masih segar dalam ingatan kita ketika dua mahasiswa melepaskan ayam di ruang sidang Mahkamah Agung (MA) dalam perkara gugatan terhadap Golkar. Segera saja tudingan contempt of court diarahkan pada mahasiswa itu. Apalagi tindakan mereka  dilakukan dalam sidang di MA, lembaga peradilan tertinggi di negeri ini. 

Dua mahasiswa itu pun dibawa ke Polda untuk diinterogasi lebih lanjut. Boleh jadi mahasiswa dari dua perguruan tinggi itu hanya sekadar iseng atau gemas melihat majelis hakim yang terlihat kurang tegas. Namun, ulah mahasiswa ini sempat membuat sidang menjadi gaduh. Repotnya, keduanya bisa dituding melakukan contempt of court.

Contempt of court yang dimaksudkan untuk menjaga kewibawaan pengadilan ini pertama kali di berlakukan di Inggris pada abad 6. Jika kita melihat definisi contempt of court dalam Blacks Law Dictionary, contempt of court adalah "segala tindakan yang dianggap mempermalukan, memperlambat, atau menghalangi peradilan atau mengurangi wewenang atau kewibawaannya".

Tindakan ini dilakukan oleh seseorang dengan sengaja untuk mengganggu kewenangan atau kewibawaan pengadilan. Atau dilakukan oleh salah satu pihak yang berada dalam kewenangan pengadilan tersebut dengan sengaja untuk tidak menaati perintah pengadilan atau gagal dalam memenuhi kewajiban yang diberikan."

Tidak memiliki acuan teknis
Dalam buku "Advokat Indonesia Mencari Legitimasi", yang merupakan hasil penelitian Pusat Studi hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) tentang tanggungjawab profesi hukum di Indonesia, disebutkan bahwa pada dasarnya contempt of court dapat dilakukan oleh siapa saja yang terkait dengan penyelengaraan peradilan.

Termasuk di dalamnya hakim, advokat, jaksa, panitera, polisi. Bahkan, wartawan dan para pengunjung yang hadir di ruang pengadilan pada saat sidang dilangsungkan pun dapat melakukan contempt of court.

Dalam buku itu juga disebutkan bahwa contempt of court pernah dijadikan topik pembahasan pada saat pembahasan RUU No 14 Tahun 1985 tentang MA. Namun akhirnya, pengaturan mengenai contempt of court hanya dimasukkan dalam penjelasan umum UU tersebut.

Di situ diamanatkan, suatu UU yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court.

Sebenarnya, pengaturan mengenai contempt of court sudah masuk ke beberapa peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Pasal 217 KUHP dan Pasal 218 KUHAP. Pasal 217 KUHP mengatur ketentuan bagi pihak yang menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan. Ancamannya, pidana paling lama tiga minggu.

Lalu, Pasal 218 KUHAP mewajibkan, siapapun dalam ruang sidang untuk menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. Ayat (2) Pasal 218 memberikan wewenang ketua sidang untuk mengeluarkan yang bersangkutan apabila tidak kunjung mentaati tata tertib setelah diperingatkan.

Selanjutnya, apabila pelanggaran tersebut bersifat suatu tindak pidana, ayat berikutnya menyatakan adanya kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya. Namun, pasal-pasal dalam KUHP dan KUHAP ini tidak memiliki acuan teknis dalam pelaksanaannya.

Dengan melihat peraturan yang ada tersebut, jika majelis hakim menganggap para mahasiswa itu telah berbuat gaduh dan tidak mau pergi setelah diperintahkan oleh hakim, mereka dapat dikenai Pasal 217 KUHP tersebut.

Begitu pula jika majelis hakim berpendapat mereka melanggar Pasal 218 KUHAP dan pelanggaran itu dianggap suatu tindak pidana, mereka dapat dituntut. Jadi, semuanya kembali pada keputusan sang hakim.

Nah, jika hakim serius mengusut tindakan kedua mahasiswa itu, bukan tidak mungkin keduanya akan dikenakan Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran dan Pasal 315 tentang penghinaan ringan. Begitu pula dengan Pasal 316 tentang penghinaan kepada pegawai negeri pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah.

Pengawai negeri yang dimaksud dalam Pasal 316 ini, termasuk juga jabatan seorang hakim seperti termuat pada penjelasan Pasal 414. Pasal 316 ini memang tidak merumuskan suatu kejahatan penghinaan tersendiri, melainkan hanya memperberat ancaman pidana dan menjadikan sebagai delik yang dapat dituntut karena jabatan dari kejahatan penghinaan tersebut.  

Jika sampai keduanya dihukum karena terbukti melakukan contempt of court, betapa apesnya nasib mereka. Mereka ikut menuntut pembubaran Partai Golkar, tetapi ternyata Golkar dimenangkan oleh majelis hakim. Sudah begitu, ancaman bui sudah di depan mata. Itu artinya, untuk sementara kuliah mereka terbengkalai.

Sanksi pencabutan ijin
Mereka tentu berharap tidak akan masuk 'hotel prodeo'. Sejauh ini  karena tidak ada acuan teknis dalam pelaksanaannya, tidak jelas juga sanksi terhadap para pelaku pelanggar contempt of court. Para pengacara yang dituding melakukan contempt of court paling diberikan sanksi pencabutan ijin prakteknya.

Selama ini telah terjadi beberapa kasus contempt of court. Yang fenomenal adalah ketika Adnan Buyung Nasution sedang bertindak sebagai pembela HR Darsono. Buyung dituduh melakukan contempt of court, sehingga Menteri Kehakiman Ismail Saleh mencabut ijinnya sebagai advokat selama satu tahun.

Bahkan, kasus ini memicu keluarnya SKB antara MA dan Departemen Kehakiman mengenai tatacara pengawasan, penindakan, dan pembelaan diri penasehat hukum yang bersifat karet. Dengan adanya SKB itu, sikap tindak advokat lebih dikontrol dibandingkan dengan pihak-pihak lain yang juga berpotensi melakukan contempt of court.

Sementara yang paling baru adalah ketika Ibrahim Senen dan Tony Budidjaja, pengacara dari law firm Demawan and co pada September 1999 dicabut sementara ijin pengacaranya. Mereka dituduh melakukan contempt of court oleh majelis hakim yang diketuai oleh JMT Simatupang dalam kasus Banker trust vs PT Mayora. 

Simatupang menuduh kedua pengacara itu sering meninggalkan ruang sidang tanpa persetujuan majelis dan pernah mengusulkan agar majelis hakim yang menyidangkan kasus itu diganti.

Selain itu, ada beberapa tuduhan contempt of court yang dilakukan oleh pengunjung sidang. Yang paling banyak mendapat sorotan adalah ketika Mimi Lidawati, saksi pelapor, melempar sepatu kepada majelis hakim Abdul Razak pada Agustus 1987. Mimi kesal karena ia sudah memberi uang pada hakim, tetapi hakim hanya menghukum ringan terdakwa.

Kasus lainnya, ketika pengunjung sidang yang merupakan nasabah BPR PT Surya mengipas-kipas uang sepuluh ribuan dalam sidang kasus itu di PN Surabaya pada Oktober 1993. Namun, dalam dua kasus terakhir memang tidak jelas apakah pelaku itu dihukum karena melakukan contempt of court.

UU Contempt of Court
Sebenarnya, kasus contempt of court itu bukanlah hal yang asing bagi hakim. Buktinya, lebih dari separuh hakim pernah mengalaminya. Dalam penelitian contempt of court yang dilakukan oleh MA terhadap 398 hakim di 15 propinsi, 52,3 % responden mengatakan pernah mengalami contempt of court, sedangkan 5,3 % mengaku sering mengalaminya.

Dari 398 hakim, 48,2 % dari para hakim itu berpendapat bahwa penyebab contempt of court adalah kesadaran hukum masyarakat yang menurun. Sementara 41,7 % lainnya berpendapat, penyebabnya adalah prosedur berperkara kurang mendukung peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan.

Hampir seluruh responden, yaitu 90,4 % responden, berpendapat bahwa contempt of court perlu diatur secara tegas melalui undang-undang tersendiri.  Penelitian ini dalam kesimpulannya memang menyarankan dibuatnya suatu UU contempt of court.

Jika dibuat penelitian contempt of court pada masyarakat, mungkin hasilnya berbeda. Mungkin sebagian besar responden akan berkata bahwa UU itu tidak terlalu penting.

Selama ini contempt of court muncul karena banyak putusan majelis hakim yang tidak tegas, sehingga menjengkelkan tersangka ataupun pengunjung. Dalam kasus Mimi Lidawati, ia kesal karena ternyata sang hakim ternyata juga 'main mata' dengan terdakwa. Tampaknya, hakim dalam kasus ini berprinsip: "kanan-kiri, OK".

Yang lebih penting sebenarnya, hakim berusaha keras mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap peradilan, sehingga contempt of court dapat diminimalisasi. Jika hakim profesional, tegas, dan tidak main mata, tidak ada lagi sepatu melayang atau ayam hitam yang ikut bikin kegaduhan di pengadilan.                                                      

Tags: