Refleksi Reformasi Hukum Tiga Pemerintahan, PR untuk Presiden Megawati
Fokus

Refleksi Reformasi Hukum Tiga Pemerintahan, PR untuk Presiden Megawati

Patut disyukuri bahwa saat ini sudah banyak sekali anggota masyarakat yang selalu menyebutkan bahwa perbaikan kondisi hukum di Indonesia harus dijadikan prioritas. Ketika membicarakan perbaikan hukum, masyarakat juga mengharapkan pembenahan upaya penegakan hukum dan keadilan. Masih banyak pekerjaan rumah (PR) dalam reformasi hukum pada tiga pemerintahan.

Oleh:
AFA/APr
Bacaan 2 Menit
Refleksi Reformasi Hukum Tiga Pemerintahan, PR untuk Presiden Megawati
Hukumonline

Hal ini sungguh merupakan perubahan sekaligus kemajuan yang signifikan dalam konteks tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pembenahan hukum. Lalu bagaimana potret reformasi hukum pada tiga pemerintahan yang lalu dan PR bagi Presiden Megawati.

Mungkin banyak yang masih mengingat masa-masa sebelum dan awal reformasi. Pada jaman Presiden Soeharto misalnya, hukum menjadi hal yang sangat sekunder. Karena itu, menjadi Sarjana Hukum sama sekali bukan merupakan pilihan profesi yang dihargai. Sampai-sampai berkembang lelucon bahwa kepanjangan dari SH adalah "susah hidup". Hal tersebut nampak remeh saja, tetapi itu  barometer yang sangat mudah dilihat sekaligus jitu tentang pandangan masyarakat terhadap hukum.

Soeharto pada tahun sembilan puluhan sudah mulai menyadari bahwa segala tindakannya harus memiliki landasan hukum yang memadai. Akan tetapi, perhatiannya kepada penegakan hukum dan produk-produk hukum lainnya yang berhubungan dengan  masyarakat sangatlah kurang.

Banyak pihak menganggap bahwa hal tersebut dilakukan dengan sengaja oleh Presiden Soeharto sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaannya serta bisnis dari keluarga dan pihak-pihak yang direstuinya. Akan tetapi, terdapat juga teori yang menganggap bahwa terbengkalainya pembangunan hukum disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari arsitek ekonomi Orde Baru terhadap masalah hukum.

Salah satu indikasinya adalah langkanya program beasiswa yang disponsori oleh pemerintah melalui kerjasama dengan donor asing untuk studi di atas S1 di bidang hukum (baik di dalam maupun luar negeri) apabila dibandingkan dengan program beasiswa untuk studi bidang ekonomi dan teknik. Indikasi lebih lanjut adalah langkanya tokoh birokrasi yang berpengaruh yang memiliki latar belakang hukum dan berkiprah dalam bidang hukum.

Apabila kita mencoba memahami alasan dari para aristek Orde Baru, hal itu cukup masuk akal. Bidang hukum dalam penglihatan mereka mungkin direpresentasikan dengan para tokoh-tokoh hukum (seperti Yap Tian Hiem, Buyung Nasution, Princen) yang umumnya bergerak dalam perjuangan hak asasi manusia. Para arsitek Orde Baru tersebut  mungkin beranggapan bahwa hukum adalah repsentasi oleh tokoh-tokoh hukum tersebut yang tidak dapat "dijual" kepada Presiden Soeharto.

Begitu lambatnya respons Pemerintahan Soeharto terhadap perkembangan hukum. Sampai-sampai, harapan masyarakat agar dilakukannya pembaharuan terhadap berbagai ketentuan perundangan serta dikeluarkannya undang-undang baru dalam berbagai bidang tidak direspons dengan baik.

Halaman Selanjutnya:
Tags: